Bung
Karno di Kampung Akuarium
JJ Rizal ; Sejarawan
|
KORAN
SINDO, 06
Juni 2017
Seberapa bersungguh-sungguh Jakarta dengan
sejarah? Mungkin bisa dimulai jawabannya dengan arti Kampung Akuarium bagi
Bang Ali yang disebut Susan Blackburn— penulis Jakarta: A History— sebagai kado terakhir Soekarno yang terbaik
bagi Jakarta.
Sebagai gubernur, dia ingin memenuhi
panggilan tugas yang oleh Soekarno “disuplant” ke dalam dirinya, salah
satunya tentang konsep Jakarta yang melaut. Laut adalah aspek yang
mengutuhkan Jakarta karena memberi unsur air dari konsep Soekarno bahwa ibu
kota harus menjadi wajah muka Indonesia yang disebut tanah air.
Inilah alasan mengapa Bang Ali mengarahkan
pandangan ke Teluk Jakarta. Ia menstimulus dengan membentuk otorita
pembangunan Samudra Jaya Ancol sebagai wajah bahari modern. Bersamaan ia
memberi keseimbangan ke masa lalu Jakarta sebagai kota bandar dengan
merevitalisasi kawasan kota tua Jakarta, Oud Batavia maupun Sunda Kelapa.
Selain bekas stadhuis dijadikan Museum
Fethullah, Raad van Justitie dipugar untuk Museum Seni Rupa. Di pengujung
masanya, ia memugar bekas gudang rempah kompeni untuk Museum Bahari.
Sekaligus direhabnya pelelangan Pasar Ikan dan terutama Kampung Akuarium.
Pemugaran yang diikuti penerbitan banyak perda perlindungan bangunan tua di
Teluk Jakarta dan di tengah kotanya seraya membuat Jakarta menjadi pemilik museum
terbanyak di Asia Tenggara.
Terlebih penting dengan proyek itu Bang Ali
memutus sikap mendua masyarakat terhadap arsitektur warisan kolonial:
menerima dan merawat atau menghancurkan. Ia mewariskan contoh membangun
Jakarta di atas ibu kota kolonial tanpa dibebani sentimen nasionalisme sempit
yang memusuhi ingatan tentang masa kolonial yang maujud di ruang kota.
Bang Ali justru memilih mengambil alih
arsitektural dan ruang warisan kolonial serta ia “suplant” dengan cita-cita
kota republik Soekarno. Bukan hanya dalam artian bangunan, bahkan fungsi
kelembagaan yang diperankan di masa lalu pun dilanjutkan. Kampung Akuarium
contohnya. Ia pulihkan cita-cita Dr. Sunier yang ditunjuk Departemen van
Landbouw, Nijverheid en Handel sebagai direktur pertama dan menyatakan
Kampung Akuarium adalah Laboratorium voor Onderzoek der Zee atau lembaga
penelitian laut pemerintah Hindia Belanda, tetapi yang juga dibuka untuk
umum. Sebab itu di Kampung Akuarium selain pengunjung, juga berseliweran para
siswa sekolah kelautan dan peneliti mancanegara.
Mereka tinggal di kamar-kamar yang
menghadap pelabuhan Sunda Kelapa. Atmosfer pengetahuan marine biology terasa
lebih kuat dengan adanya perpustakaan kelautan yang menjadi “pintu gerbang”
aneka buku dan jurnal sebagai medium dialog para penelitinya dengan komunitas
ilmiah laut dunia.
Saking bangga dengan Kampung Akuarium dalam
Gita Jaya, memoar serah-terima jabatannya yang terbit pada 1977, Bang Ali
menyebutnya sebagai salah satu tanda keberhasilan pembangunan sektor pariwisata
rakyat Jakarta (public recreation).
Kebanggaan itu sebenarnya sudah diperlihatkan dalam Jakarta Membangun yang
terbit 1972 dengan menyebut Kampung Akuarium sebagai “tujuan pariwisata kebun
binatang laut satu-satunya di Indonesia”.
Kualitas kebun binatang laut itu memang
bukan isapan jempol. Kronikus Jakarta, Firman Lubis, mencatat, “Terutama hari
Minggu, banyak yang berkunjung ke Kampung Akuarium yang mempertontonkan
berbagai macam ikan hias laut dengan terumbu karang yang indah. Bagus dan
artistik sehingga senang melihatnya. Pada akhir 1970-an, akuarium ini
ditutup.
Entah kenapa, mungkin sudah tidak terurus
lagi.” Dalam buku Kunjungan ke Jakarta Ibukota-RI yang terbit 1983 karya SW
Siswoyo yang berisi informasi kawasan wisata kota Jakarta dan diberi
pengantar Gubernur R Soeprapto tidak ada lagi Kampung Akuarium. Muncul
pembahasan panjang Samudra Jaya Ancol yang memiliki dua jenis akuarium: air
tawar dan air laut.
Dipaparkan juga para peneliti bekerja,
salah satunya membuat pesut bisa beranak dalam kolam buatan manusia, sehingga
menjadi bagian dari “pertunjukan pesut di dalam akuarium besar”. Ada masa
Kampung Akuarium pernah mengalami bencana yang hampir melenyapkan
keberadaannya saat kaca-kaca setebal 2 cm yang panjang dan lebar diturunkan
di Pelabuhan Tanjung Priok pada 1921 ternyata sudah menjadi bubuk.
Begitu juga ketika kaca-kaca yang dipesan
lagi tiba pada 1923 setahun kemudian pecah berantakan. Tetapi bencana
berturut-turut itu tidak membuat Kampung Akuarium lenyap. Lain halnya dengan
bencana yang datang setelah Bang Ali purnatugas. Sekali ini tidak selamat.
Kampung Akuarium sebagai penanda aspek melaut Jakarta yang merepresentasikan
tanah air pudar dengan cepat.
Dalam gambar besar Jakarta, memudarnya
Kampung Akuarium dapat dibaca sebagai bagian dari gelombang “commersial thinking“ antara kaum modal dan
pemerintah yang setelah Bang Ali selesai menjabat tak terkendali. Kejatuhan
Kampung Akuarium disusul dengan lenyapnya pantai publik di Jakarta.
Laut, pantai yang semula dalam konsep kota
Soekarno bagian dari modernisme sosialis, bergeser ke modernisme pasar di
bawah asuhan bisnis dan property market. Dalam konteks modernisme pasar
itulah, kampung-kampung di tengah kota dan di pesisir Jakarta distigmatisasi
sebagai “sarang keburukan”. Tak terkecuali Kampung Akuarium.
Penggusuran kampung itu pada 11 April 2016
dapat dilihat dalam konteks itu. Sejarahnya semakin terkubur, sedang
stigmatisasinya kian meninggi. Dikatakan bahwa alasan penggusuran untuk
menata kawasan sejarah bahari Jakarta, tetapi suara Gubernur Ahok yang santer
justru soal kampung itu sarang penyakit TBC dan maling tanah negara.
Bukan sejarawan atau arkeolog, melainkan
polisi dan tentara yang pertama diajaknya bicara dan direstui membuka posko
di Kampung Akuarium. Selang setahun kemudian— saat Kampung Akuarium mengenang
peristiwa penggusuran yang merendahkan martabat kemanusiaan mereka—sejarah
tak juga dapat kesempatan bicara menyusul kekalahan Ahok untuk menjabat lagi
sebagai gubernur.
Ia menyatakan akan menggusur warga yang
masih bertahan di reruntuhannya. Tak ada perubahan sampai kemudian Ahok masuk
bui dan menulis surat pengunduran dirinya. Kini sudah ada gubernur baru dan
mungkin saatnya mendengar Kampung Akuarium dari atas reruntuhannya
mengungkapkan sejarah.
Agar dapat kembali menaruh pembangunan
Kampung Akuarium dalam satu kawasan wisata terpadu Teluk Jakarta berbasis
aspirasi dan inspirasi Bung Karno, lalu Bang Ali
tentang betapa pentingnya Ibu Kota memiliki penanda aspek laut
mengingat bentuknya sebagai archipelagic
state atau negara laut yang utama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar