Fundamentalisme
Pancasila
Yonky Karman ; Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi
|
KOMPAS, 10 Juni 2017
Hari lahir Pancasila dikaitkan dengan pidato bersejarah
Bung Karno di depan sidang resmi pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Sang Proklamator adalah salah satu dari 62 anggota badan
baru bentukan penguasa kolonial Jepang. Badan itu terdiri dari profesional,
akademisi, politisi, ningrat, yang berbeda kepercayaan religius dan suku
bangsa (termasuk empat Tionghoa, satu Jepang, satu peranakan Belanda). Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mendapat
tugas menyusun gagasan-gagasan fundamental yang di atasnya, menurut Bung
Karno, ”didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi”.
Gagasan-gagasan itu yang membedakan Indonesia dengan
kekaisaran Jepang atau Kerajaan Belanda atau negara lain. Karena itu, Bung
Karno menegaskan bahwa dasar negara itu haruslah suatu kesepakatan bersama
para pendiri bangsa, bukan suatu kompromi politik semata.
Ideologi Pancasila terbukti berhasil menjadi fundamen
gedung Indonesia Merdeka. Yang menjadi soal, konstruksi bangunan berbangsanya
miring membahayakan penghuninya. Padahal, secara filosofis, Pancasila bisa
berperan sebagai ideologi tengah untuk keluar dari jebakan fundamentalisme
agama dan fundamentalisme pasar. Agama dan ekonomi dengan cara masing-masing
berperan penting untuk kehidupan suatu bangsa, tetapi radikalisasi agama dan pasar
bebas (laissez-faire) hanya membuat
bangsa tercerabut dari akar kehidupan.
Bangsa Pancasilais
Indonesia seharusnya bangsa Pancasialis dalam karakter
religiusnya yang modern sebagaimana formulasi Ketuhanan Yang Maha Esa (sila
pertama). Identitas bangsa kuno di Timur Tengah, misalnya, identik dengan
agama. Meski berlatar politeisme, ada sembahan yang menonjol untuk tiap
bangsa dan biasanya itu yang dianggap paling berjasa dalam kemenangan perang.
Marduk bagi bangsa Babilonia, Kamos bagi bangsa Moab, Amun-Ra bersama Osiris
bagi bangsa Mesir. Sembahan itu berciri nasionalistis-teritorial.
Agama-agama samawi (abrahamik) yang monoteistis membuat
perbedaan mendasar dengan karakter lintas nasionalistis-teritorial. Namun,
agama Yahudi dalam praktiknya tidak berhasil sehingga kebangsaan berdasarkan
ras dan agama tak dipisahkan. Orang asing yang menganut agama Yahudi
dibedakan dengan sebutan proselit, yang masih dibedakan lagi dengan separuh
proselit (hanya melakukan sebagian hukum agama Yahudi) dan proselit penuh
(juga melakukan ritualnya).
Sebutan diskriminatif seperti itu tak ditemui di dalam
agama abrahamik lainnya, yang sejak awal perkembangannya telah lintas
nasionalistis-teritorial. Tak dikenal, misalnya, sebutan ”bangsa Nasrani”.
Kalaupun kemudian bangsa-bangsa jajahan Barat mengidentifikasi penjajah
mereka sebagai Nasrani, itu hanya persepsi. De facto, hanya sedikit negara
Barat yang kita kenal dewasa ini mencantumkan agama Nasrani di dalam
konstitusi (Inggris, Yunani, Norwegia, Denmark), itu pun tanpa klaim sebagai
negara atau bangsa Nasrani.
Agama Nasrani pada awalnya juga berkembang di antara
bangsa-bangsa Arab, termasuk kemudian menjadi bagian dari Arab-Palestina.
Kata Indonesia ”Allah”, misalnya, diserap dari kosakata Arab dan sudah
dipakai kaum Nasrani-Arab sebagai padanan untuk kata ’Elohim (Ibrani), Theos
(Yunani), atau Deus (Latin).
Agama-agama besar lain, Islam, Hindu, dan Buddha, melintas
zaman karena melepaskan ciri nasionalistis-teritorialnya sehingga sampai ke
Indonesia. Karakter religius bangsa Indonesia pun tak didefinisikan
berdasarkan satu agama sebab realitas kebangsaannya adalah kebinekaan.
Kesatuan dalam kebinekaan itu diikat Pancasila. Dalam pidatonya, Bung Karno
menegaskan kebangsaan sebagai dasar yang pertama-tama untuk Indonesia
Merdeka, ”Yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di
dalam beberapa hari di dalam sidang ... tetapi sejak tahun 1918 ... ialah
dasar kebangsaan. Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia.” Itulah
suatu negara ”bukan buat satu golongan ... tetapi semua buat semua”.
Negara Pancasilais
Indonesia seharusnya negara Pancasilais dengan sila
Ketuhanan sebagai ”dasar metafisis” untuk keempat sila lainnya (Nurcholish
Madjid, Indonesia Kita, 109). Semua aktivitas bernegara terkait demokrasi
sosial (sila keempat) dan demokrasi ekonomi (sila kelima) dilakukan dengan
sikap bertanggung jawab di hadapan Tuhan yang telah menganugerahkan
kemerdekaan bangsa. Semua agama dan kepercayaan diundang untuk berpartisipasi
dalam pembangunan.
Indonesia pun berbeda dari banyak negara yang melakukan
privatisasi agama. Bahkan, ada negara yang tak berdaya melindungi pelecehan
simbol-simbol agama di ruang publik. Di Indonesia, wajah kultural agama tak
ditampik. Sebagian produk perundang-undangan tak lepas dari spirit keagamaan.
Suasana kebatinan berbangsa dan bernegara sulit dipisahkan dari agama. Dengan
sila Ketuhanan, Bung Karno memaksudkan negara Indonesia ”yang tiap-tiap
orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa ... bertuhan secara
kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama”.
Sebagai negara Pancasilais mestinya kita lebih maju
daripada Singapura. Negara sekuler itu tak pernah memberi izin operasional
waralaba Buddha Bar, tetapi kita baru bersikap tegas ketika keberadaan tempat
hiburan itu sudah menuai kontroversi publik. Sebagian bangsa Indonesia pun
heran mengapa begitu sulit memperoleh izin pendirian rumah ibadah.
Negara tak bisa membiarkan agama berjalan sendiri tanpa
pengawasan, sebab dalam setiap agama terkandung unsur eksklusif sekaligus
inklusifnya. Negara harus hadir ketika cara beragama melanggar keadaban
publik dan melemahkan Persatuan Indonesia (sila ketiga). Negara seharusnya
tak hanya bersimpati pada jatuhnya korban teror bom, tetapi juga pelaku bom
bunuh diri yang notabene orang kecil yang termakan paham radikal. Terlalu
lama negara abai dengan penyebaran virus radikalisme di lingkungan
pendidikan, birokrasi, dan lembaga keagamaan.
Negara Pancasilais bertanggung jawab untuk mempromosikan
kemaslahatan agama. Untuk itu, wajib hukumnya untuk menjauhkan agama dari
politisasi. Agama lahir tidak dalam rangka kontestasi politik, melainkan
melawan kejahatan dan jahiliah yang merajalela. Namun, pragmatisme politik
memakai agama sebagai jalan untuk menjatuhkan lawan politik dan jalan untuk berkuasa.
Suara rakyat dimanipulasi sebagai suara Tuhan.
Negara tidak bisa tinggal diam ketika isu komunisme secara
liar beredar di ruang publik untuk mendulang simpati agama dan alat negara.
Negara harus menindak tegas politik intoleran di ruang publik. Para agamawan
pun tak boleh membiarkan agama terseret ke dalam kubangan politik praktis.
Penyelenggara negara dan agamawan harus menjaga marwah agama, agar suara
profetik dapat mengoreksi penyimpangan administrasi kekuasaan dan
kemaslahatan agama bagi semua orang tanpa kecuali. Secara ideologis,
Pancasila adalah titik temu final antara agama dan nasionalisme. Namun,
Pancasila tidak boleh berhenti hanya efektif pada tingkat ideologi negara,
tetapi juga harus menjadi identitas bangsa, menjadi ideologi berbangsa.
Namun, membumikan Pancasila menuntut sikap radikal.
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia (sila
terakhir) adalah muara tujuan bernegara. Penyelenggara negara harus berperan
sebagai administrator keadilan dengan memperkecil kesenjangan sosial. Orang
miskin juga merasakan negara pro-aktif menghadirkan keadilan dengan
intervensi proses hukum yang tidak adil.
Didin, penjual jagung bakar, yang kebetulan mencari cacing
sonari seorang diri di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Cianjur.
Namun, ia dijerat pasal perusakan kawasan puluhan hektar dengan ancaman
hukuman maksimal 10 tahun dan karena itu ditahan sementara menunggu proses
pengadilan. Karena ia tulang punggung keluarga, penahahan membuat istrinya
pontang-panting mencari makan. Orang kecil juga mau mengerti dan taat hukum,
tetapi jangan sampai negara menyakiti hatinya dengan penahanan sementara
orang kaya dan berkuasa dapat tidak ditahan.
Selama fundamentalisme Pancasila bukan alat memukul lawan
politik atau mempertahankan kekuasaan, pemimpin negara harus mengedukasi
rakyat menjadi bangsa Pancasialis dan menjadikan Indonesia negara Pancasilais
dalam praktik. Rakyat harus melihat nilai-nilai Pancasila nyata dalam
keseharian. Rakyat harus melihat kelima sila itu sebagai panduan gerak maju
kehidupan berbangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar