Perubahan
Geopolitik Timur Tengah
Dian Wirengjurit ; Diplomat Utama
|
KOMPAS, 10 Juni 2017
Geopolitik Timur Tengah sedang atau sudah bergeser, bahkan
berubah sama sekali, dengan segala ramifikasi dan komplikasinya. Hal ini
dapat dilihat dalam dua periode. Pertama, dalam kurun waktu 1948-1979 ketika
isu Arab-Israel dan kemudian Palestina-Israel mendominasi hubungan antarnegara
di kawasan dan antarnegara besar. Periode ini dimulai sesudah berdirinya
Israel pada 1948 (yang terinspirasi Deklarasi Balfour 1917) sampai Perjanjian
Damai (Camp David) Mesir-Israel pada 1979.
Akibat perjanjian Mesir dengan negara Yahudi itu,
negara-negara Arab memutuskan hubungan diplomatik dengan Mesir. Namun,
sejumlah negara Arab justru mengikuti jejak Mesir dan kini lebih dari
setengah negara Organisasi Kerja Sama Islam menjalin hubungan dengan Israel.
Kedua, periode 1979 hingga saat ini, ketika isu AS-Iran
dan kemudian Arab (Saudi)-Iran mulai mengemuka. Revolusi Iran yang ditandai
pemutusan hubungan diplomatik AS dan negara ”Mullah” itu pada 1980, diakui
menimbulkan kekhawatiran di kalangan negara Arab, di Teluk Persia khususnya
dan di dunia Islam umumnya.
Pemutusan hubungan diplomatik Arab Saudi terhadap Iran
pada 1916 dan kini Qatar—yang diikuti Bahrain, Uni Emirat Arab, Mesir, Libya,
Yaman, Maladewa, dan Mauritius—hanya menegaskan pergeseran/perubahan
geopolitik ini.
Paradigma geopolitik
Yang menarik, dalam dua periode itu terlihat fenomena
perubahan paradigma geopolitik Timteng atas isu utamanya. Dalam periode
pertama, sejumlah negara Arab justru akhirnya mengusir warga Palestina dari
negaranya yang notabene mereka perjuangkan dengan berbagai alasan.
Pertengahan 1950-an Arab Saudi dan Irak mengusir warga Palestina yang
berdemo.
Pada 1970, Jordania mengusir 20.000 warga Palestina dan
menghancurkan kamp-kamp mereka. Hal yang sama dilakukan Libya (1994), Irak
(2003), dan Lebanon (2007) juga mengusir pengungsi Palestina yang kian
menunjukkan melemahnya isu Palestina di Timteng.
Dalam periode kedua, tampak indikasi tak solidnya negara
Arab (khususnya Teluk) dalam menghadapi musuh bersama, yaitu Iran seperti
ditunjukkan oleh sikap Qatar yang berbuntut pemutusan hubungan diplomatik
itu. Sementara Kuwait dan Oman bersikap netral, Irak hampir pasti akan tetap
menjaga hubungan baik dengan Iran. Pada periode ini juga dapat dilihat
perkembangan signifikan, yaitu dicabutnya sanksi unilateral AS dan Uni Eropa
terhadap Iran, meskipun pemerintahan Presiden Donald Trump akan meninjaunya
kembali.
Iran sejauh ini ”tenang-tenang” saja, tetapi senantiasa
membuat pusing Arab Saudi mengingat pengaruhnya yang kuat di Irak, Suriah,
Bahrain, Yaman, dan Lebanon. Dewasa ini praktis setiap kejadian dalam
hubungan antarnegaradi Timteng, langsung atau tidak langsung,mesti dilihat
dalam kerangka rivalitas Arab Saudi-Iran.
Meski demikian, bergesernya fokus perhatian di Timteng
dari konflik Arab-Israel ke Arab Saudi-Iran tampaknya tidak akan lepas dari mindset
yang berlaku. Dalam hal konflik Arab Israel dalam konteks Palestina, sesuai
semangat masanya, isunya bersifat lebih ideologi-politis, dalam arti
perjuangan kemerdekaan dari penjajahan. Sementara dalam konflik Arab
Saudi-Iran, isunya memiliki ramifikasi dan kompleksitas yang lebih intens.
Pertama, dikaitkan dengan isu keyakinan, kedua negara
merupakan kiblat dari dua paham yang berbeda, meski berasal dari akar yang
sama. Kedua, dari aspek ekonomi, tidak disangkal dengan sumber daya migasnya
kawasan Teluk merupakan pusat cadangan hidrokarbon dunia yang masih akan
menjadienergi utama dunia hingga 50 tahun ke depan. Ketiga, konflik ini
semakin pabalieut (kusut, bahasa Sunda) karena berkembangnya isu terorisme,
imigran, dan konflik internal.
Runyamnya, negara-negara besarsenantiasa menganggap
penting ketiga alasan tersebut bagi kepentingan nasionalnya, termasuk
militer. Di Suriah, misalnya, Rusia mendukung Pemerintah Suriah dan AS
mendukung kelompok oposisi, sementara di Yaman yang terjadi sebaliknya.
Arab Saudi dan Iran juga berada di kubu yang berbeda dan
konflik menjadi semakin sulit dikontrol karena proxy war, ketika negara-negara besar itu bukan hanya membantu
secara politis dan keuangan, tetapi juga militer, bahkan personel. AS dan
Rusia adalah dua negara utama penyuplai perlengkapan militer di Timteng.
Oleh karena itu, tak heran kalau Jenderal Wesley Clark
bilang, ”The truth is, about the Middle
East is, had there been no oil there, it would be like Africa. Nobody is
threatening to intervene in Africa”. Di lain pihak, menurut aktivis
Michael Weiss ”It’s when the
’international community’ expresses ’concern’ about your ’situation’ that
your situation is well and truly (maaf) f….d”.
Industri militer
Kenyataan ini, tidak dapat dipungkiri didorong oleh adanya
sindroma military industrial complex
di negara-negara besar itu. Artinya, belanja militer yang luar biasa besar
sehingga menjadikannya urat nadi perekonomian mereka. Industri militer
menyerap jutaan tenaga kerja, memanfaatkan teknologi canggih dan menghasilkan
devisa sehingga harus terus dipertahankan dan ditingkatkan kapasitasnya.
Sebagai ilustrasi, anggaran belanja militer AS (2016)
berjumlah 611 miliar dollar AS, China sekitar 215 miliar dollar AS, dan Rusia
69,2 miliar dollar AS. Sementara negara-negara Timteng dikenal sebagai good customer yang harus dijaga,
seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, masing-masing membelanjakan 63,7
miliar dollar AS dan 23,8 miliar dollar AS.
Senjata dan perlengkapan militer itu ”tentunya” harus
dipakai atau akan mubazir begitu saja, sementara peralatan yang baru yang
canggih dan inovatifakan terus diproduksi. Karena itu, tidak heran kalau di
Timteng kita menyaksikan keputusan politik untuk menggelar dan melakukan
”demonstrasi” penggunaan persenjataan itu dalam berbagai peristiwa, seperti
Perang Teluk (1991) untuk membebaskan Kuwait dan Invasi Irak (2003) untuk
mengenyahkan Saddam Hussein. Karena itu, tidak heran kalau musisi dan aktivis
Frank Zappa mengatakan, ”Politics is
the entertainment division of the military industrial complex”.
Mengingat Timteng adalah salah satu dari dua titik
terpanas (hottest spot) dalam geopolitik dunia saat ini, selain Semenanjung
Korea, maka semua pihak mengakui bahwa apa pun yang terjadi akan membawa
dampak yang luas, seperti kata Jenderal David Petraeus, ”The Middle East is
not part of the world that plays by Las Vegas rules: What happens in the
Middle East is not going to stay in the Middle East”.
Dalam konteks perkembangan terkini, khususnya perseteruan
Arab Saudi dan Iran, sebenarnya Indonesia memiliki leverage dan peluang bagus
untuk berperan. Sayangnya peluang tak dikaji sungguh-sungguh dan dimanfaatkan
sehingga ”diambil” pihak lain. Presiden China Xi Jinping menyempatkan diri secara
khusus terbang ke Riyadh dan Teheran. Indonesia hanya mengutus Menlu Retno
Marsudi.
Padahal, kalau saja Presiden Jokowi yang pergi, hasilnya
mungkin akan berbeda. Dalam kerangka ini, dalam penyelesaian masalah Qatar,
yang diperlukan adalah pendekatan pada level tertinggi terhadap pemimpin
kedua negara utama di percaturan geopolitik Timteng dan karena itu peluang
bagi Indonesia sebenarnya masih tetap terbuka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar