Siklus
dan Kompromi RUU Pemilu
Aditya Perdana ; Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP
Universitas Indonesia
|
KOMPAS, 10 Juni 2017
Pembahasan RUU Pemilu belum tuntas. Padahal, pembahasan
yang dimulai Desember 2016 ditargetkan selesai akhir April 2017.
Pada waktu itu, para anggota Pansus RUU Pemilu menyatakan
kesiapannya menyelesaikan poin-poin krusial sebelum KPU dan Bawaslu baru
terbentuk April. Pansus pun juga sudah melakukan studi banding ke beberapa
negara. Namun, hingga hari ini RUU Pemilu masih dibahas intensif dan serius,
sementara Pemilu 2019 semakin dekat.
Dari sejak pembahasan pertama pada tahun 1999, isu-isu
penting dan krusial bagi partai politik, politisi, ataupun publik terkait RUU
Pemilu adalah menyangkut perubahan sistem pemilu, besar daerah pemilihan dan
jumlah kursi tiap daerah. Namun, sejak Pemilu 2004, pembahasan mulai bergeser
dan makin kompleks seperti ambang batas partai yang mendapatkan kursi di DPR,
ambang batas pencalonan presiden dan persyaratan pengusung calon presiden.
Bagi parpol, ini penting karena menyangkut kalkulasi dan
peluang memenangi kursi di DPR. Bagi publik, hal yang menarik adalah dengan
sistem seperti apa kita dapat memilih partai dan politisi yang diinginkan.
Setiap lima tahunan menjelang pemilu (2003, 2007, 2013,
2017), isu-isu tersebut rutin dan selalu dibahas dalam satu naskah RUU Pemilu
dan kerap kali juga dikaitkan dengan RUU Partai Politik. Periode pembahasan,
seperti yang dilakukan sebelumnya, akan dimulai sekitar dua atau tiga tahun
sebelum pemilu dilaksanakan.
Seperti pembahasan RUU Pemilu yang disahkan pada 2003,
prosesnya sudah dimulai sejak 2002 untuk menghadapi Pemilu 2004. Namun, kala
itu, DPR memang menyelesaikan dua UU terkait pemilu legislatif dan pemilu
eksekutif. Pembahasan untuk Pemilu 2014 pun juga diselesaikan pada 2013. Lalu
kenapa pembahasan RUU itu selalu berulang?
Isu-isu kompromi
Jawaban sederhananya adalah DPR memiliki sikap pragmatis
yang berujung kompromi. Proses pembahasan sebuah RUU di DPR memang tak ada
yang baku dan cenderung tak berubah seperti yang diharapkan publik. DPR
tampaknya belum membangun mekanisme periode pembentukan sebuah RUU yang
efektif dalam kurun waktu tertentu.
Oleh karena itu, pembahasan sebuah RUU dapat diselesaikan
dalam kurun waktu singkat ataupun lama dengan pertimbangan-pertimbangan
politik yang mereka sepakati. Dalam konteks RUU Pemilu, pembahasan naskah
berlangsung lama karena DPR membahas segala hal dan isu yang berkaitan dengan
diri mereka sendiri sebagai peserta pemilu.
Sebaliknya, RUU Pengampunan Pajak pada 2016, yang tidak
berdampak langsung kepada para politisi, dapat diselesaikan dalam kurun waktu
tiga bulan. Artinya, DPR mudah menentukan cepat atau lambatnya sebuah RUU
berdasarkan kompromi politik di antara mereka dengan pertimbangan yang
pragmatis saja.
Sebagai contoh, dalam pembahasan RUU pemilu saat ini,
paling tidak ada tiga isu krusial yang belum menemukan kata sepakat di antara
parpol, yaitu ambang batas parlemen, ambang batas pencalonan presiden, dan
sistem pemilu terbuka/tertutup. Perdebatan ambang batas menjadi rumit di
kalangan politisi karena menyangkut posisi strategis setiap partai dalam
pencalonan mereka pada Pemilu 2019 yang berlangsung serentak (pemilu
legislatif dan eksekutif).
Dalam perdebatan sistem pemilu hal tersebut tidak jauh
berbeda. Sayangnya, dalam perdebatan ini DPR tak konsisten dalam menetapkan
sebuah sistem pemilu yang ajek karena selalu berganti di setiap waktu pemilu.
Namun, saya menduga ketiga isu krusial ini pun akan dapat dinegosiasikan
apabila tawaran setiap partai dapat diakomodasi setelah partai telah
menghitung kalkulasi menang dan kalah pada Pemilu 2019.
Contoh lain, isu kompromi yang relatif mudah diselesaikan
dan tidak memerlukan debat serius adalah terkait penambahan jumlah kursi DPR
dari 560 menjadi 575.
Potong siklus
Saya mengamini ide dari Ketua Pansus Lukman Eddy yang
mengatakan, proses pembahasan RUU Pemilu harus diubah. Namun, sebelum diubah
polanya, satu hal yang paling penting adalah melakukan pembentukan mekanisme
pembuatan UU yang cepat, efektif, dan tak bertele-tele untuk mereduksi
”perilaku kompromi” dalam isu-isu yang tidak krusial. Untuk itu, fungsi
pemberdayaan tenaga ahli DPR harus dimaksimalkan agar kompromi politik yang
penting dan menyangkut hajat orang banyak dapat dilakukan. Kalau seandainya
ini dapat dilakukan oleh Pansus DPR, saya meyakini proses pembahasan RUU
Pemilu hanya akan berlangsung singkat dan efektif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar