Saatnya
BUMN Bangkit
Edy Purwo Saputro ; Dosen
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo
|
JAWA
POS, 28
April 2017
Dalam
peringatan ulang tahun ke-19 Kementerian BUMN di Jogja belum lama ini,
Menteri BUMN Rini Soemarno menegaskan bahwa tantangan ke depan semakin berat,
terutama dikaitkan target peningkatan aset dari Rp 7.200 triliun saat ini
menjadi Rp 10.000 triliun pada akhir pemerintahan Jokowi. Terkait dengan itu,
Ketua PDIP Megawati saat Rakernas PDIP beberapa waktu lalu juga sempat
mengkritik kinerja BUMN.
Karena itu,
komitmen Menteri BUMN Rini Soemarno untuk memacu profesionalisme kinerja BUMN
menarik dikaji. Meski, di sisi lain, orientasinya sempat memicu kritik pada
awal 2015, terutama terkait dengan rencana merekrut pekerja asing guna menduduki
jabatan tertinggi di sejumlah BUMN.
Hal itu tidak
saja mengacu pada dualisme antara komitmen profesionalisme dan nasionalisme,
tetapi juga esensi Permenakertrans No 42/2012 yang melarang jabatan CEO dan
direktur personalia dikuasai tenaga asing. Terlepas dari kritik dan
kontroversi yang muncul, tuntutan atas profesionalisme BUMN memang tidak bisa
ditawar.
Faktor lain
yang juga menarik dicermati adalah tuntutan kesejahteraan dari peran BUMN
terhadap perekonomian nasional. Padahal, amanat negara menegaskan peran
penting tiga pelaku ekonomi, yaitu BUMN, koperasi, dan swasta. Karena itu,
persepsi yang menegaskan bahwa BUMN merugi memang tidak bisa lagi
ditoleransi. Apalagi rumor menyudutkan BUMN sebagai sapi perah politik.
Selain itu,
dengan total target aset Rp 10.000 triliun, tentu tuntutan profesionalisme
menjadi mutlak tidak hanya agar aset tersebut memberikan manfaat terbesar
bagi negara, tetapi juga kontribusi BUMN terhadap perekonomian nasional.
Proses Kepentingan
Mengacu peran
tersebut dan problem kompleks profesionalisme BUMN, sebenarnya mantan Menteri
Negara Pemberdayaan BUMN Tanri Abeng dalam bukunya yang berjudul Dari Meja
Tanri Abeng: Managing atau Chaos (Pustaka Sinar Harapan, 2000) sudah
mendeskripsikan secara riil permasalahan yang dialami BUMN dan alternatif
penanganannya agar bisa lebih sehat dan profit.
Bahkan,
sejumlah ekonom dan pebisnis mengakui, penetapan Tanri saat itu dalam
kapasitasnya sebagai menteri sudah bisa meletakkan fondasi yang benar agar
BUMN menjadi lembaga bisnis yang tangguh, efisien, serta kompetitif pada era
pasar global. Bahkan, Tanri menitikberatkan perlunya management of change.
Karena itu, pemetaan persoalan BUMN yang telah dilakukan Tanri menjadi modal
bagi menteri-menteri lainnya untuk me-manage BUMN menjadi lebih sehat,
tangguh, profesional, dan tentu profit.
Di sisi lain,
berbagai terobosan yang dilakukan jangan sampai menjadi bumerang yang
akhirnya menjadi jerat hukum seperti yang dialami Dahlan Iskan karena dalih
kesalahan persepsi tentang regulasi.
Dalam sejarah
ekonomi Indonesia, BUMN telah mengalami beberapa kali restrukturisasi. Yang
pertama terjadi pada awal pemerintahan Orde Baru 1966–1968. Yang kedua dan
ketiga masing-masing terjadi di bawah pemerintahan yang sama pada periode
1986–990 dan akhir pemerintahan rezim pada 1998 (Agustino, 2006).
Restrukturisasi BUMN juga terjadi pada era Presiden Habibie, Gus Dur,
Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Pada era Presiden Jokowi, Menteri
BUMN Rini Soemarno juga kembali bertekad memacu profesionalisme BUMN.
Meski berbeda
masa saat restrukturisasi dilakukan, isu sentral yang menjadi fokus tetap
sama. Yakni, di satu sisi, realitas kinerja BUMN belum maksimal. Di sisi
lain, ada berbagai tekanan perekonomian negara yang menuntut perubahan atau
penyesuaian dengan iklim global, termasuk pemberlakuan Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA).
Dengan peran
yang begitu besar, kinerja BUMN akan sangat berpengaruh terhadap
perekonomian. Karena itu, tidak mengherankan jika restrukturisasi BUMN,
termasuk komitmen terhadap profesionalisme, merupakan paket yang tidak
terpisahkan dari penataan kebijakan ekonomi. Itu pun harus dipahami oleh
orang-orang yang berkepentingan dengan BUMN agar ekspektasi pasar tidak
semakin minor, terutama dikaitkan dengan peliknya tantangan ekonomi global.
Persoalan
mendasar dari komitmen profesionalisme BUMN sebenarnya tidak bisa lepas dari
ancaman birokrasi dan politisasi kepentingan. Hal itu terutama mengacu pada
sejarah era Orde Baru yang menjadikan BUMN mesin uang parpol tertentu.
Ironisnya, hal tersebut masih terus berlanjut pada era reformasi. Karena itu,
keberanian memotong siklus menjadi penting. Diharapkan, era Jokowi bisa
merealisasikan komitmen terhadap profesionalisme.
Di sisi lain,
penempatan orang asing juga dipikirkan, terutama mengacu pada Permenakertrans
No 40/2012 dan aspek kesempatan bagi pribumi untuk berkiprah di level
tertinggi kepemimpinan di BUMN. Komitmen profesionalisme harus mengacu pada
visi BUMN yang telah dituangkan dalam UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Artinya, peringatan ulang tahun ke-19 Kementerian BUMN belum lama ini menjadi
stimulus untuk lebih memacu kinerja BUMN, terutama peran pentingnya bagi
peningkatan kesejahteraan.
Acuan itu pada
dasarnya tidaklah bisa dipisahkan dari komitmen untuk menerapkan good corporate
governance (GCG). Jadi, pembenahan dan penyehatan BUMN tidak bisa terlepas
dari komitmen implementasi GCG. Sejak reformasi bergulir, good governance
telah menjadi isu pokok. Namun, implementasinya tidak mudah, baik di sektor
publik maupun korporasi.
Dalam policy document versi UNDP mengenai
Governance for Sustainable Human Development, istilah governance
didefinisikan sebagai: the exercise of
economic, political and administrative authority to manage a country’s
affairs at all levels.
Terkait dengan
upaya implementasi corporate governance, hal itu mensyaratkan pembenahan
public governance. Banyak kalangan bisnis yang mengeluhkan adanya hambatan
usaha setiap berurusan dengan birokrasi. Hambatan itu berbentuk korupsi oleh
aparat pusat-daerah, ketidakpastian di bidang hukum, serta pungutan tidak
resmi.
Karena itu,
komitmen profesionalisme BUMN harus bersinergi dengan akuntabilitas dan
transparansi sehingga kegaduhan politik yang menghambat kinerja BUMN harus
direduksi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar