Membumikan
Ajaran Langit
Biyanto ; Dosen
UIN Sunan Ampel Surabaya;
Wakil Sekretaris PW Muhammadiyah
Jatim
|
JAWA
POS, 24
April 2017
SENIN (24
April) bertepatan dengan 27 Rajab, umat Islam memperingati Isra dan Mikraj
Nabi Muhammad. Peristiwa itu merupakan rangkaian perjalanan Rasulullah dari
Masjid Al Haram di Makkah ke Masjid Al Aqsa di Jerusalem (Isra). Dari Masjid
Al Aqsa, Rasulullah meneruskan perjalanan ke Sidrat Al Munthaha untuk
menerima wahyu (Mikraj). Dalam rangkaian perjalanan suci itulah, Rasulullah
akhirnya menerima perintah ibadah salat lima waktu.
Dalam sistem
peribadatan, salat memiliki posisi yang sangat penting. Dalam sebuah hadis,
Nabi bersabda bahwa salat merupakan tiang agama. Barang siapa menjalankan
salat, berarti mendirikan tiang agama. Sebaliknya, orang yang tidak
mendirikan salat dianggap merobohkan tiang agama. Begitu penting ibadah salat
sehingga sangat menentukan nasib seseorang di hadapan Allah SWT.
Pertanyaannya,
adakah kaitan ibadah salat dengan amal sosial seseorang. Pertanyaan itu
penting karena tujuan akhir beribadah adalah memperbaiki akhlak atau amal
sosial seseorang. Dengan kata lain, jika seseorang rajin beribadah ritual,
seharusnya baik pula amal sosialnya. Karena itu, ajaran Islam menekankan
pentingnya keselarasan ibadah ritual dan amal sosial. Tegasnya, harus
terwujud kesalehan individual dan kesalehan sosial.
Salah satu
ajaran yang menunjukkan keterkaitan ibadah ritual dan amal sosial adalah
salat. Salat sejatinya merupakan peribadatan yang bersifat sangat pribadi
pada Allah. Dalam sabda Nabi ditegaskan, salat merupakan mikraj seorang
mukmin kepada Tuhan-nya ( as shalatu mi’raj al mu’min). Selama menunaikan
salat, seorang hamba hanya boleh menjalin hubungan dengan Allah.
Ajaran
takbiratulihram (takbir yang mengharamkan) bermakna larangan hamba melakukan
apa pun yang tidak berhubungan dengan salat. Tatkala mengangkat tangan seraya
membaca Allahuakbar (Allah Mahabesar), seluruh pikiran harus fokus hanya pada
Allah. Tetapi harus diingat, meski dimulai dengan takbiratulihram, salat
diakhiri dengan salam. Ajaran salam dalam salat merupakan simbol hubungan
baik pada sesama. Dengan begitu, ajaran salam meniscayakan seorang hamba
berakhlak baik kepada sesama.
Selain membaca
salam, orang yang mendirikan salat dianjurkan untuk menengok ke sebelah kanan
dan kiri. Secara simbolis, ajaran salam berarti perintah memperhatikan
orang-orang di sekitar seraya bertanya adakah di antara mereka yang
membutuhkan pertolongan? Begitulah makna intrinsik dan ekstrinsik ibadah
salat. Jika seluruh bacaan dan gerakan salat dicermati, ada banyak pesan yang
bisa dipetik.
Substansi
pesan yang diajarkan dalam salat adalah setiap hamba menjalin hubungan baik
dengan Allah ( hablun minallah) dan sesama ( hablun minannas). Jika ada orang
rajin beribadah, sedangkan amal sosialnya buruk, sesungguhnya dia gagal
memahami substansi ajaran agama. Orang itu pasti tidak memahami makna ibadah
ritual yang dijalankan.
Dimensi sosial
dari ajaran agama penting dipahami dengan baik. Sebab, terkadang ada orang
rajin beribadah haji dan umrah, tetapi sepulang dari Tanah Suci, dia tidak
menjadi lebih baik. Bahkan, ada orang berangkat haji dan umrah dengan biaya
hasil korupsi. Harapannya, melalui ibadah haji dan umrah, dosa-dosanya
terhapus. Dalam sebuah riwayat, Nabi Muhammad memang menjanjikan bahwa orang
yang berhaji dan umrah akan diampuni dosanya. Saat pulang ke Tanah Air, para
tamu Allah dikatakan bersih dari dosa layaknya bayi yang baru lahir (HR
Bukhari, Muslim, dan Nasa’i).
Janji
Rasulullah itu pasti tidak berlaku bagi mereka yang beribadah haji dan umrah
dengan menggunakan uang haram. Sebab, tidak mungkin mencuci baju dengan air
najis. Dalam sudut pandang psikologi, orang yang melaksanakan amalan baik dan
buruk sekaligus berarti mengalami kepribadian terbelah (split of
personality). Orang seperti itu bisa dikatakan sakit mental (mental illness).
Agama apa pun
pasti tidak mengajari pemeluknya berkepribadian ganda. Ajaran agama pasti
memerintah pemeluknya menjadi orang yang terbaik dalam pandangan Tuhan dan sesama.
Bahkan, dalam kaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan, agama mengajarkan bahwa
sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Karena itu,
Alquran mengutuk orang yang salat tetapi lalai dengan salatnya. Mereka yang
dikatakan lalai adalah yang tidak tulus (riya) dan tidak mau menolong orang
lain (QS Al Ma’un: 5–7).
Peringatan itu
penting direnungkan agar seseorang terhindar dari label pendusta agama.
Pendusta agama adalah mereka yang tidak mampu menerjemahkan ajaran salat
dalam kehidupan sehari-hari. Itu berarti, setiap pribadi harus bisa
membumikan makna ibadah salat yang merupakan hasil dari perjalan suci Nabi
Muhammad dalam peristiwa Isra dan Mikraj. Setiap pribadi dituntut untuk
membumikan makna bacaan dan gerakan salat dalam kehidupan. Jika pesan salat
bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, berarti sebagai pribadi kita
sukses membumikan ajaran langit. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar