Presiden
Jokowi dan TGPF Kasus Novel Baswedan
Maneger Nasution ; Komisioner Komnas HAM RI
|
KORAN
SINDO, 28
April 2017
Dua pekan
sudah Novel Baswedan, penyidik senior KPK, mengalami penyiraman air keras
oleh orang ”tidak dikenal”. Penyiraman itu mengakibatkan yang bersangkutan
terancam mengalami kerusakan mata, bahkan kebutaan permanen. Dunia
kemanusiaan mengutuk keras peristiwa biadab itu. Bahkan Presiden Jokowi
sendiri sudah menyatakan pengutukannya. Dunia kemanusiaan berdoa semoga Allah
menyehatkan Novel Baswedan seperti sedia kala.
Tetapi publik
memandang bahwa pernyataan Presiden Jokowi itu belumlah memadai untuk mengekspresikan
bahwa kasus ini bukan pidana biasa, kasus besar, dan masa depan pemberantasan
korupsi tengah terancam. Busyro Muqaddas, mantan pimpinan KPK, serta Wadah
Pegawai KPK dan masyarakat sipil antikorupsi lain, misalnya, meminta Presiden
Jokowi membentuk semacam tim gabungan pencari fakta (TGPF) yang independen
untuk mengusut penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK Novel
Baswedan.
Bahkan, Dahnil
Anzar Simanjuntak, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah yang juga pendiri
Madrasah Anti-Korupsi (MAK), mewanti-wanti pemerintah untuk menuntaskan kasus
kekerasan terhadap Novel Baswedan tersebut dalam waktu paling lambat satu
pekan.
Saya setuju
dengan usulan pembentukan TGPF tersebut. Persetujuan itu bukan berarti kita
meragukan lembaga kepolisian negara. TGPF justru memperkuat kepolisian
negara. TGPF itu berisi akademisi, tokoh masyarakat sipil, dan kepolisian
negara yang berintegritas dan akuntabel. TGPF itu diharapkan dapat mengungkap
dan mengusut tuntas kasus itu dari hulu, tengah, dan hilir.
Ada setidaknya
tujuh alasan tentang pentingnya Presiden Jokowi membentuk TGPF tersebut.
Pertama, sudah dua pekan lebih peristiwa biadab itu berlalu, tetapi negara
melalui kepolisian negara belum bisa menuntaskan, setidaknya publik mendapat
informasi tentang progres investigasi. Artinya, negara, khususnya Kepolisian
RI, belum berhasil menunaikan kewajiban konstitusionalnya berupa pemenuhan
hak warga negara, dalam hal ini pihak Novel Baswedan dan keluarganya, untuk
tahu (right to know).
Kedua,
peristiwa yang tidak berperikemanusiaan itu telah menebar syiar ketakutan
publik. Ini adalah lonceng kematian bagi penggiat HAM, khususnya aktivis
antikorupsi. Dengan demikian, negara kurang hadir menunaikan kewajiban
konstitusionalnya menjamin keterpenuhan hak-hak dasar warga negara, dalam
konteks ini hak atas rasa aman (the right to security ).
Ketiga,
peristiwa yang bernuansa barbar itu ternyata bukan yang pertama kali dialami
Novel Baswedan, juga oleh beberapa penggiat HAM, penggiat antikorupsi, tapi
sudah berkali-kali. Artinya negara, terutama pemerintah, tidak hadir menjamin
bahwa peristiwa yang sama tidak terulang kembali (guarantees of
nonrecurrence).
Keempat, sulit
untuk membantah persepsi publik bahwa semua teror itu datang setelah Novel
Baswedan memimpin penyidikan berbagai kasus besar, di antaranya kasus korupsi
simulator SIM di Kepolisian RI. Terpidana kasus ini adalah Inspektur Jenderal
Djoko Susilo. Terbaru, Novel Baswedan sedang menyidik perkara megakorupsi
kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP. Itu artinya, negara belum
berhasil hadir menjamin keamanan aparat penegak hukumnya sendiri dalam
melaksanakan tugas negara (the right to security duties ).
Kelima,
peristiwa yang memalukan itu jika [kembali] tidak dituntaskan akan menjadi
isyarat terang benderang di hadapan publik bahwa premanisme dan pilihan cara
kekerasan dalam mencapai tujuan adalah sesuatu yang ”terbiasa” dan ”wajar” di
negeri ini. Pesannya sungguh sangat mengerikan. Artinya, negara belum hadir
menjamin hak publik untuk bebas dari premanisme, perlakuan kekerasan, dan
penganiayaan/penyiksaan (right not to be abused and tortured ).
Keenam,
negara, terutama pemerintah, tidak boleh ”mengambangkan” kasus yang mendapat
perhatian khalayak ini. Pemerintah harus memberikan kepastian terhadap kasus
tersebut. Publik, khususnya Novel Baswedan dan keluarganya, berhak atas
kepastian dan keadilan hukum terhadap kekerasan yang dialaminya (right to
legal certainty and justice).
Ketujuh,
Presiden Jokowi, sebagai pemimpin tertinggi sistem presidensial dalam
ketatanegaraan NKRI, sebaiknya hadir mengambil inisiatif dan tanggung jawab
untuk menunjukkan bahwa rezim ini prokemanusiaan, pro pemberantasan korupsi.
Kebijakan membentuk TGPF itu, antara lain, menjadi sinyal terang bahwa
Presiden Jokowi sedang menjahit ulang modalitas sosial yang masih tersisa.
Dengan demikian, semoga publik masih bisa menghadirkan keyakinan
bahwa negara, terutama pemerintah, kembali hadir menunaikan kewajiban
konstitusionalnya menghormati (to respect), melindungi (to protect), memajukan
(to promote), dan memenuhi (to fulfill) hak-hak konstitusional warga negara
(Pasal 28I UUD 1945 dan Pasal 8 UU Nomor 39/1999 tentang HAM). Semoga
Presiden Jokowi berkenan mengambil tanggung jawab sejarahnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar