NU
Suka Gergeran, Bukan Gegeran
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum
Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK (2008-2013)
|
KORAN
SINDO, 29
April 2017
JUMAT pekan
lalu, 21 April 2017, saya berkesempatan makan siang dengan Nadirsyah Hosen,
guru besar hukum konstitusi di Monash University, Melbourne (Australia) yang
juga Ketua Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) Cabang Istimewa Australia-New
Zealand.
Nadirsyah adalah
sahabat lama saya. Kalau saya ke Australia, biasanya dia mengumpulkan
anak-anak NU dan membuka forum diskusi. Tahun 2012 saya diundang dan
berdiskusi lesehan di rumah sewaannya di Wollongong dan tahun 2016 saya
didapuk untuk memberi ceramah dalam rangka memperingati Hari Santri di
Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Melbourne.
Pertemuan
pekan lalu itu lebih terbatas, tidak digelar sebagai forum yang ramai. Hal
ini karena waktu saya sangat terbatas dengan acara yang padat, sehingga saya
hanya meminta dia bertemu sambil lunch di sebuah restoran, tepatnya di Best
Waterfront Seafood Restaurant yang terletak di tepi Yarra River, Southbank,
Melbourne. Seperti biasanya, kalau orang-orang NU bertemu banyak muncul
guyonan (kelakar) yang menyegarkan.
Menyitir
almarhum KH Hasyim Muzadi, NU itu sejatinya merupakan tempat orang gergeran
(tertawa-tawa riang), bukan tempat orang gegeran (ribut bertengkar tak
keruan). Demikian juga saat saya dan Nadirsyah serta kawan-kawan lain makan
siang di restoran tersebut sehabis salat Jumat, suasanya penuh tawa.
Pertemuan yang
direncanakan berlangsung satu jam itu ternyata keterusan sampai lebih dari
dua jam karena keasyikan tertawa-tawa saling tukar cerita tentang banyak hal.
Ini perlu saya kemukakan, karena banyak orang yang tidak kenal langsung
dengan Nadirsyah menganggapnya sebagai orang yang nyinyir, keras kepala, dan
mau menang sendiri.
Kesan bahwa
banyak orang mengira Nadirsyah itu nyinyir dan kaku, saya lihat dalam lalu
lintas media sosial di mana Nadirsyah aktif berinteraksi dan berpolemik.
Dalam hiruk-pikuknya Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 ini misalnya,
Nadirsyah termasuk pendukung Ahok. Cuitan-cuitannya gigih ikut membela Ahok
dan karenanya banyak juga orang yang bukan pendukung Ahok menyerangnya sebagai
orang yang nyinyir dan berislam liberal.
Tetapi
percayalah, Nadirsyah itu humoris. Pada acara makan siang pekan lalu itu,
misalnya, saya pertemukan dia dengan Wakil Sekjen PBNU Masduki Baidhowi.
“Prof Nadir, ini Pak Masduki Baidhowi, wasekjen PBNU yang tidak mau mendukung
Ahok. Dia dekat dengan KH Makruf Amin dan menjadi jubir Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dalam sikapnya terhadap perkara Ahok,” kata saya.
Awalnya
Nadirsyah dan Masduki saling pandang dengan agak kaku dan agak tersipu.
Maklum, pada saat itu baru dua hari pemungutan suara Pilgub DKI usai dan Ahok
kalah.
Tetapi suasana
kikuk itu berlangsung tak lebih dari lima detik. Setelah itu keduanya
sama-sama tertawa lepas dan hampir bersamaan berkata, “Tak apa-apa, di NU itu
perbedaan merupakan hal yang biasa saja.”
Setelah itu
makan siang yang juga dihadiri oleh Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti, Ketua LPS
Halim Alamsyah, mantan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Edy
Suandi Hamid, dan pengurus Ikatan Alumni UII Cabang Australia Iwan Wibisono
itu berlangsung penuh tawa, terutama setelah Nadirsyah melontarkan banyak
cerita-cerita kocak terkait perilaku kaum pendatang.
Salah satu hal
yang materinya dibahas dengan cukup serius, tetapi tetap dengan suasana canda
tawa adalah mengenai hubungan antara NU, Muhammadiyah, dan Partai Keadilan
Sejahtera (PKS). Kata Nadir, di sebagian kalangan warga NU dan Muhammadiyah
masih ada sedikit kekurangharmonisan.
Kata
Nadirsyah, ada pengikut kedua gerakan Islam tersebut yang masih saling
sindir. Misalnya ada orang Muhammadiyah yang bilang, banyak orang-orang NU
yang sesudah pandai dan maju pindah ke Muhammadiyah.
Contohnya Din Syamsudin. Dulu dia adalah aktivis Gerakan Pemuda
Ansor (badan otonom NU), tetapi sesudah belajar ke perguruan tinggi dan
menjadi pandai, dia berpindah menjadi aktivis Pemuda Muhammadiyah sampai
akhirnya menjadi ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan ketua MUI.
Cerita tentang Din Syamsudin itu tentu saja bisa dibanding
dengan contoh sebaliknya, yakni banyaknya orang-orang Muhammadiyah yang tidak
tahan untuk berubah menjadi NU seperti menjadi suka ikut dan menjadi
penyelenggara tahlilan, istigasah, selawatan. Namun, cerita pembanding ini
tidak dipergunakan sebagai bahasan serius, tetapi dibicarakan dalam gaya
hanya bercanda karena sebenarnya tidak ada masalah apa pun pada titik itu.
Nadirsyah hanya menjawab, jika orang NU yang sudah pandai pindah
ke Muhammadiyah, maka orang Muhammadiyah yang sudah pandai pindah ke Partai
Keadilan Sejahtera (PKS). Dan sesudah orang-orang PKS menjadi pandai, mereka
diam-diam mengambil alih masjid-masjid NU dan Muhammadiyah untuk kemudian
mengubah wajah kegiatan masjid disesuaikan dengan selera PKS dalam melakukan
gerakan Islam.
Jadi, Muhammadiyah maupun NU sekarang ini tak banyak lagi
mengelola masjid karena banyak hilang dan sudah diambil alih oleh orang-orang
PKS. Makanya di Indonesia arah gerakan Islam sekarang ini agak berubah.
Masalah ini sebenarnya sudah agak lama menjadi bahan tukar
cerita di kalangan NU sebagai masalah yang cukup serius, sehingga muncul arus
di internal NU agar NU kembali menguasai masjid-masjidnya sebagai pusat
gerakan Islam ahlus sunnah wal jamaah.
Tentu saja yang dimaksudkan adalah ahlus sunnah wal jamaah
menurut konsep NU yang menurut kalangan NU sendiri lebih ramah, lebih adaptif
terhadap budaya lokal, dan lebih toleran terhadap perbedaan sehingga lebih
mengindonesia.
Namun, masalah yang sebenarnya cukup serius ini kami bicarakan
saat acara makan siang di Melbourne itu tetap dengan santai dan penuh gelak
tawa seperti kebiasaan orang-orang NU dalam menyikapi masalah seserius apa
pun. Itulah maksud pernyataan bahwa di NU itu kalau ada masalah diselesaikan
dengan gergeran, bukan dengan gegeran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar