Anies-Sandi
dan Reklamasi Teluk Jakarta
Prijanto ; Wakil Gubernur DKI 2007-2012
|
KORAN
SINDO, 27
April 2017
"KONSEPSI
reklamasi pada hakikatnya manusia butuh daratan, a.l. untuk permukiman,
pertanian, dan industri. Melihat luas daratan, kekayaan sumber daya alam, dan
jumlah penduduk, perlukah reklamasi di Teluk Jakarta? Jika dihentikan, untuk
apa yang sudah telanjur?"
Anies-Sandi
menang di Pilkada DKI 2017. Rakyat menuntut janji politiknya, menghentikan
reklamasi di Teluk Jakarta. Konon ketika kampanye, Anies-Sandi berjanji
menghentikan reklamasi. Jawaban tersebut tentu sudah ada kajian dari tim
pakarnya.
Setelah
pilkada dimenangi Anies-Sandi, kontan di medsos muncul dua postingan yang
menggelitik. Postingan tersebut kurang lebih "Pengusaha China: Kalau
Reklamasi Pulau G Batal, Jokowi Kami Lengserkan".
Satunya lagi
"Pengusaha China: Kalau Reklamasi Pulau G Batal, Jokowi Kami
Lengserkan". Janji Anies-Sandi dengan dua judul tersebut antagonistis,
tendensius yang menimbulkan berbagai tafsir. Ada kesan Anies-Sandi tidak
sejalan dengan pemerintah pusat dan pengembang.
Masalah
reklamasi memang perlu dikaji lagi dari berbagai aspek kehidupan manusia,
itulah langkah yang harus dilakukan Anies-Sandi. Tidak boleh hanya memakai
pendekatan ekonomi dan kajian lingkungan hidup strategis saja karena bisa
berbahaya.
Kajian
komprehensif yang menghasilkan keputusan membahayakan atau tidak membahayakan
ketahanan nasional perlu dikaji dengan pendekatan aspek Pancagatra (ideologi,
politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan) dan Trigatra (geografi,
kekayaan alam, demografi).
Melalui kajian
yang komprehensif oleh pakar atau kaum intelektual, yang tidak memiliki
kepentingan selain profesionalisme, seperti para siswa Lemhannas (misalnya
dan insyaallah) tentu akan menghasilkan simpulan yang terbaik bagi NKRI.
Postingan yang Menghebohkan
Dua postingan
di atas memang menghebohkan. Bila tidak teliti, seolah-olah merupakan reaksi
dari kemenangan Anies-Sandi. Padahal kurun waktu berbeda sehingga perlu
diluruskan. Postingan yang berjudul "Pengusaha China: Kalau Reklamasi
Pulau G Batal, Jokowi Kami Lengserkan" ditulis pada November 2016.
Tulisan ini
dilatarbelakangi berita di salah satu website dengan judul "Ahok terima
12 T, Mega 10T" yang ditulis pada 17 Oktober 2016. Jadi berita ini patut
diduga berkaitan dengan informasi kepentingan pilkada.
Adapun
"Pengusaha China: Kalau Reklamasi Pulau G Batal, Jokowi Kami
Lengserkan" ditulis pada 28 April 2016, jauh sebelum pilkada. Berisi
keterangan Pamono Anung mengenai petunjuk Presiden Jokowi tentang Giant
Garuda Project dan reklamasi 17 pulau untuk diselesaikan Bapenas. Pramono
memberikan keterangan pada 27 April 2006. Dengan demikian juga tidak terkait
dengan kemenangan Anies-Sandi.
Menguji Reklamasi
Proyek
reklamasi mencuat setelah ada kasus suap dalam pembahasan raperda terkait
reklamasi di DPRD DKI. Reklamasi itu sendiri awalnya konsep membuat 17 pulau
di Teluk Jakarta, jauh sebelum Bang Yos gubernurnya. Perkembangan lebih jauh,
era Gubernur Fauzi Bowo menjadi megaproyek yang disebut Giant Sea Wall atau GSW.
Proyek ini
sempat menjadi bahan paparan visi misi di Pilkada 2012. Selanjutnya
berkembang dengan nama National Capital Intergreted Coastal Development atau
NCICD.
Pramono Anung pada 27 April 2016 menyampaikan petunjuk Presiden
antara lain (1) tidak ada artinya jika tidak ada manfaat untuk rakyat
utamanya nelayan, (2) tidak merusak lingkungan hidup, (3) tidak melanggar
aturan perundang-undangan, (4) sinkronisasi di semua lembaga agar tidak
terjadi persolan hukum, (5) ketahanan dalam penyediaan air bersih dan air
minum serta pengolahan air limbah.
Dikatakan bahwa proyek NCICD sebagai proyek raksasa untuk
membentengi Jakarta dari banjir rob dan penyediaan air baku dari pengolahan
air laut. Presiden juga menceritakan kunjungannya ke Belanda, melihat
pengelolaan air, water supplly, sanitasi dan lain-lain. Sebelumnya pernah
diberitakan bahwa reklamasi juga untuk mengatasi banjir dan land subsidence
atau penurunan tanah di Jakarta.
Dari lima petunjuk Presiden, belum ada petunjuk agar NCICD
dikaji secara komprehensif dengan pendekatan semua aspek kehidupan manusia
demi terjaganya ketahanan nasional. Sesungguhnya secara teknis NCICD tidak
ada korelasinya untuk mengatasi banjir Jakarta akibat air dari hulu.
Air dari hulu bisa diatasi dengan pembuatan waduk atau embung di
hulu. Wacana ini selalu muncul dan seakan-akan serius ditangani ketika
terjadi banjir bandang di Jakarta. Namun hal itu berujung gembos bak tong
kosong diterpa hiruk-pikuk pilpres dan pilkada.
Reklamasi juga bukan untuk mengatasi turunnya muka tanah.
Permukaan tanah turun disebabkan antara lain pengambilan air tanah dalam
secara berlebihan dan tidak terkontrol. Di samping itu juga dari beban di
atas permukaan tanah.
Sesungguhnya jika ada waduk atau embung dan melihat banyaknya
sungai dari hulu, kebutuhan air baku bisa dipasok tanpa harus memakai cara
mengolah air laut yang biayanya sangat mahal.
Banjir rob Jakarta dapat diatasi melalui rekonstruksi dengan
meninggikan, memperkuat, dan merangkai tanggul di pantai Jakarta bagian utara
yang saat ini sudah ada. Bagian daratan Jakarta Utara mulai bagian timur ke
arah barat tidak seluruhnya terancam banjir rob. Namun dapat dibuat
konstruksi untuk mengamankan sepanjang pantai utara. Rekonstruksi tanggul
yang sudah ada jelas lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan
membuat tanggul raksasa NCICD.
Tanggul konsep NCICD walaupun indah membentuk burung garuda, ada
penilaian miring: Giant Sea Wall menjadi pelindung 17 pulau reklamasi dengan
hunian ekskusif. Dengan diizinkannya asing boleh memiliki properti dan adanya
penawaran di luar negeri seperti RRC, hal itu memperkuat rasa khawatir.
Tanggul tersebut memang dirancang terkait dengan penyediaan air
baku juga, tetapi pertanyaan kritisnya, apakah efektif dan efisien dikaitkan
dengan ketersediaan air di daratan yang berlimpah dan mahalnya pengolahan air
laut menjadi air baku?
Sebaiknya para pakar dan pemangku kepentingan menyandingkan
Indonesia tidak dengan negara-negara yang tidak luas daratannya, penduduknya sudah
berjubel, tidak memiliki sungai atau sumber air yang berlimpah, tidak
memiliki hutan dan gunung serta sumber kekayaan alam lainnya.
Sebaiknya Indonesia tidak perlu latah dengan konsep reklamasi
sebagaimana negara-negara yang daratan dan penduduknya tidak imbang. Apa yang
dibuat di Dubai, Belanda, dan negara lain belum tentu pas sebagai kebijakan
negara Indonesia.
Indonesia tidak perlu latah membangun pulau atau kota megah
kaliber di dunia, tetapi kawasan pedalamannya kumuh dan rakyat penuh
penderitaan. Membangun kawasan atau kota eksklusif, dihuni dan dimiliki
sebagian besar orang asing, membahayakan aspek ketahanan nasional.
Kasus penyelundupan narkoba di kawasan elite dan eksklusif di
Pantai Indah Kapuk salah satu contoh nyata. Eksklusivisme kawasan akan
memperpanjang kesenjangan sosial yang membahayakan keamanan dan ketertiban
masyarakat. Hal-hal semacam inilah yang mesti juga menjadi pertimbangan.
Rekomendasi
Dengan terpilihnya Anies-Sandi sebagai gubernur dan wakil
gubernur dalam Pilkada DKI 2017, diharapkan masalah reklamasi menjadi jelas
sesuai dengan aturan perundang-undangan dan kepentingan nasional aspek
ketahanan nasional. Anies-Sandi yang akan menghentikan reklamasi hendaknya
bukan karena dendam politik.
Sebaliknya jika keputusannya melanjutkan, juga bukan karena
kebutuhan politiknya. Keputusan yang diambil harus sebagai hasil kajian yang
komprehensif, profesional, dan bisa dipertanggungjawabkan. Keputusan PTUN
yang menghentikan reklamasi bisa sebagai dasar.
Proyek NCICD sebagai proyek raksasa dengan nilai ratusan triliun
rupiah tidak dikaji dari kemanfaatan untuk rakyat dan lingkungan hidup
semata, tetapi harus dikaji secara komprehensif demi ketahanan nasional.
Artinya harus dikaji dari seluruh aspek kehidupan manusia, astagatra, tanpa
tekanan politik. Hasil kajian harus digunakan sebagai keputusan pemerintah
daerah dan pusat, lanjut atau tidak proyek NCICD yang terdiri atas reklamasi
17 pulau dan Giant Garuda Project?
Apabila hasil kajian menyatakan hasil reklamasi yang akan
dijadikan kawasan elite dan eksklusif membahayakan ketahanan nasional
Indonesia, reklamasi harus dihentikan.
Persoalan yang mungkin timbul, bagaimana proyek reklamasi yang
sudah berjalan dan merupakan proyek swasta tersebut?
Bagaimana pemanfaatan daratan yang sudah terbentuk? Tentu bukan
hal yang sulit selama semua pihak menyingkirkan kepentingan pribadi dan
politiknya serta berpegang pada hasil kajian bahwa proyek mengganggu dan
membahayakan ketahanan nasional.
Ada satu alternatif, pemerintah bisa memanfaatkan daratan yang
sudah terwujud untuk dibangun sebagai pusat pemerintahan dan pusat pendidikan
dengan segala pendukung kebutuhan sosialnya. Alternatif ini untuk mengurangi
beban Jakarta.
Seperti diketahui, Jakarta saat ini sudah melebihi kemampuan
daya dukungnya. Jakarta sebagai pusat pemerintahan, pusat pendidikan, pusat
perekonomian dan perdagangan serta kegiatan sosial budaya perlu diurai.
Sekali lagi, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus
bekerja sama melakukan kajian yang serius dan komprehensif dengan
meninggalkan kepentingan pribadi dan golongan serta tidak memaksakan
kehendak, demi ketahanan nasional.
Semoga Anies-Sandi selaku gubernur kepala daerah dan wakil
gubernur memiliki kejujuran dalam pengabdiannya dan memegang teguh
komitmennya. Dengan kejujuran itulah akan tumbuh sikap menjunjung tinggi dan
membela kebenaran dan keadilan. Insyaallah,
amin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar