Politik
Bunga yang Lucu-lucu Gimanaaa Gitu!
Is Mujiarso ; Wartawan
Detikcom; Tulisan ini merupakan pendapat dan pandangan pribadi, sama sekali
tidak mewakili sikap dan kebijakan redaksi
|
DETIKNEWS, 03 Mei 2017
Tiga anak kecil/ Dalam langkah malu-malu/ Datang ke Salemba/
Sore itu. Akrab, atau bahkan mungkin hafal dengan
kalimat-kalimat sederhana yang sangat deskriptif itu? Ya, itu adalah
penggalan awal baris-baris puisi Taufiq Ismail berjudul 'Karangan Bunga' yang
kita pelajari sejak SMP dulu.
Jika kita ingat lanjutannya —Ini
dari kami bertiga/ Pita hitam pada karangan bunga/ Sebab kami ikut berduka/
Bagi kakak yang ditembah mati/ Siang tadi— maka terlihat bahwa dalam
puisi itu karangan bunga dimaksudkan sebagai bentuk ungkapan duka cita.
Termuat dalam buku 'Tirani dan Benteng' yang pertama kali terbit
pada 1966, puisi tersebut lahir dari situasi politik masa itu. Kala itu,
terjadi demonstrasi mahasiswa melawan pemerintah Orde Lama. Bunga, setidaknya
dalam puisi itu, terasa dekat dengan dunia politik, menjadi idiom untuk
mewakili sebuah sikap polos dari anak-anak yang bersimpati pada perjuangan
mahasiswa.
Bunga memang bisa menjadi apa saja, untuk mewakili ungkapan
perasaan. Sampai-sampai, ada peribahasa yang sangat terkenal; ungkapkanlah
dengan bunga. Pada Sitor Situmorang, bunga mewakili perasaan kesepian yang
teramat sangat. Simak puisi pendeknya yang cukup terkenal, 'Bunga di Atas
Batu':
bunga di atas batu/ dibakar sepi // mengatas indera/ ia menanti
// bunga di atas batu/ dibakar sepi
Kelak, di kemudian hari, bunga menjelma menjadi simbol
perjuangan yang "nggegirisi" pada puisi Wiji Thukul,
penyair-aktivis yang hilang dalam huru-hara Reformasi 1998.
Seumpama bunga/ kami adalah bunga yang tak kau kehendaki/
tumbuh…//…kami adalah bunga yang dirontokkan di bumi/ kami sendiri // jika
kami bunga/ engkau adalah tembok/ tapi di tubuh tembok itu telah kami tebar
biji-biji/ suatu saat kami akan tumbuh bersama/ dengan keyakinan: engkau
harus hancur.
Imajinasi sang penyair yang ingin menghancurkan tembok dengan
menebar biji yang kelak tumbuh bunga, merupakan sesuatu yang menggetarkan.
Mengapa bunga? Menghancurkan tembok dengan bunga? Sungguh mengejutkan bahwa
Wiji Thukul, seorang buruh yang berorganisasi dan menulis puisi, menggunakan
matafora bunga sebagai sesuatu yang kelak menumbangkan tirani.
Kita pun jadi ingat sebuah cerita pendek yang legendaris karya
Kuntowijoyo yang ditulis pada 1968, berjudul 'Dilarang Mencintai
Bunga-bunga'. Cerpen ini mengisahkan hubungan antara sang tokoh utama, seorang
bocah dengan bapaknya yang mendidik dirinya dengan keras. Sang bapak selalu
menunjukkan wibawanya sebagai orangtua dengan menanamkan nilai-nilai
keberanian dan kekuatan seorang laki-laki kepadanya.
Namun, secara ironis, sang bocah justru memperlihatkan
kecenderungannya menyukai bunga-bunga, yang dianggap sebagai simbol
kelemahan. Hal itu akibat dari persahabatannya dengan seorang kakek tetangga
dekat rumahnya, yang mengajarkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang
diajarkan sang ayah.
Sang kakek gemar merawat bunga, dan bocah itu belajar darinya
tentang makna kedamaian dan keindahan; bahwa selain keberanian dan kekuatan
seperti yang diajarkan ayahnya di rumah, orang perlu juga mengenal
nilai-nilai kelembutan dan ketenangan, yang disimbolkan dengan bunga
--sesuatu yang membuat sang ayah marah.
Bunga memang subversif. Ia bisa terasa mengusik, mengganggu,
mengancam, dan mengintimidasi karena kekayaan makna yang bisa disampaikan
olehnya. Ketika seseorang merayakan sebuah kebahagiaan atau kemenangan dalam
hidupnya, lalu mendapatkan hadiah bunga, maka yang terjadi adalah sebuah
kelaziman. Bunga seolah menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana mestinya.
Namun, ketika ada orang yang kalah dalam sebuah pertandingan,
katakanlah menjadi "pecundang", namun mendapat kiriman karangan
bunga yang mengalir tiada henti, maka hal itu menjadi masalah. Bunga
tiba-tiba menjadi sesuatu yang "melawan kodrat"-nya; dan itu
membuat banyak orang gelisah. Masa orang yang sedang "menderita"
kekalahan justru mendapat ungkapan simpati lewat bunga, ini jelas ndak benar!
Pasti semua itu hanya rekayasa. Maka, timbullah berbagai
spekulasi, komentar dan analisis; ada yang mengatakan bunga-bunga itu adalah
rekayasa —sebenarnya pengirimnya hanya satu orang, dengan ucapan yang dibuat
bermacam-macam. Bunga-bunga itu adalah sebuah "kecelakaan"; sudah
telanjur dipesan untuk merayakan kemenangan, namun ternyata kekalahanlah yang
didapat, maka dibuatlah seolah-olah bunga-bunga itu adalah bentuk dukungan
spontan tanda simpati.
Ada juga yang dengan lantang dan keras berteriak, bunga-bunga
itu hanyalah pencitraan murahan. Namun, semakin orang mengomentari
macam-macam soal bunga-bunga itu, justru diam-diam semakin menunjukkan bahwa
orang mengakui sedemikian besar makna bunga-bunga itu. Bunga-bunga yang diam
membisu itu, pasrah diterpa angin atau pun hujan, seolah-olah bicara sendiri;
bicara banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Apapun kata orang, faktanya, bunga-bunga terus mengalir, meluber
sampai tak tertampung di tempat yang semestinya. Orang-orang bahkan rela
antri untuk berfoto bersama bunga-bunga itu, atau memfoto satu per satu
karangan bunga itu sendiri, lalu menyebarkannya. Sehingga, orang bisa membaca
ucapan yang tertera pada tiap-tiap karangan bunga itu, yang semuanya bernada
lucu-lucu.
Bunga-bunga itu ternyata seolah-olah sedang menertawakan diri
sendiri, menertawakan sebuah kekalahan yang memang mau diapain lagi, namanya
sudah kalah….
Pada akhirnya, bunga-bunga yang dipersoalkan oleh sebagian
kelompok orang itu ternyata justru pertama-tama bukan ditujukan kepada pihak
penerima. Melainkan, bunga-bunga itu —kalau kita lihat fotonya satu per satu
yang beredar di sosmed— sebenarnya ditujukan untuk kesenangan dan hiburan
pihak pengirimnya sendiri, sebagai bentuk lucu-lucuan, main-main, dengan
berbagai ucapan yang aneh-aneh; dari 'undangan pernikahan' hingga berbagai
plesetan dan lawakan lainnya.
Dan, hal itu pun ternyata justru semakin membuat sebagian orang,
kelompok-kelompok tertentu, yang merasa terganggu, terancam, terintimidasi,
semakin merasa gimanaaa…gitu. Lho, wong kalah kok malah tertawa. Bersuka ria
dengan bunga-bunga. Foto-foto. Mestinya kan sedih dan menangis tersedu-sedu.
Terpuruk menyesal di pojokan. Lagi-lagi, ini jelas ndak benar!
Tapi, seperti kata kakek pecinta bunga sahabat sang bocah dalam
cerpen Kuntowijoyo tadi, "Menangis
adalah cara yang sesat untuk meredakan kesengsaraan. Kenapa tidak tersenyum,
Cucu? Tersenyumlah. Bahkan, sesaat sebelum orang membunuhmu. Ketenangan jiwa
dan keteguhan batin mengalahkan penderitaan. Mengalahkan, bahkan
kematian…."
Ah, seandainya bunga-bunga itu sejak awal dibiarkan saja —tapi,
apa mungkin? Dari aromanya saja, bunga-bunga dengan aneka warna yang indah
itu kadang memang bisa meresahkan. Bunga mawar di malam Jumat misalnya, bikin
bulu kuduk merinding. Bunga memang bisa menjadi apa saja, bermakna apa saja,
ditafsirkan sebagai apa saja. Ya, politik bunga itu sungguh subversif. Kabar
terakhir, mereka membakar bunga-bunga itu…. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar