Vonis
Ahok dan Tekanan Keadilan
Abdul Syukkur ; Ketua
Harian/Executive Director Masyarakat Pemantau
Peradilan Indonesia Fakultas
Hukum UI Jakarta
|
JAWA
POS, 10
Mei 2017
SETELAH melalui proses panjang dan 21 kali sidang, akhirnya
hakim ketua Dwiarso Budi Santiarto membacakan putusan sidang Ahok,
’’Memperhatikan pasal 156a huruf a KUHP dan pasal-pasal dari UU Nomor 8 Tahun
1981 serta ketentuan lain yang bersangkutan, mengadili dan menyatakan
terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana penodaan agama. Menjatuhkan pidana kepada
terdakwa dengan pidana penjara selama dua tahun.’’
Vonis itu, menurut majelis hakim, didasarkan pada dua
pertimbangan, yang memberatkan dan yang meringankan. Yang memberatkan,
terdakwa (Ahok) tidak merasa bersalah dan perbuatan terdakwa telah
menimbulkan keresahan umat Islam serta berpotensi memecah hubungan
antar-golongan. Yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum, bersikap
sopan, dan kooperatif selama sidang.
Putusan majelis hakim itu menuai pro-kontra. Menurut pendukung
Ahok, putusan majelis hakim tidak independen dan terkesan takut pada tekanan
gelombang massa yang ingin memenjarakan Ahok. Sementara itu, orang yang
anti-Ahok merasa puas atas putusan tersebut walaupun tidak sepenuhnya. Sebab,
Ahok hanya divonis dua tahun, tidak sampai lima tahun sebagaimana dalam kasus
penistaan agama lainnya.
Diakui atau tidak, majelis hakim yang menangani kasus Ahok tidak
punya pilihan untuk neka-neka dalam menyelesaikan kasus tersebut. Sebab,
kasus itu sejak awal sidang sudah dikawal dua kubu yang sama-sama setia
menunggu putusan akhir sidang.
Yang patut menjadi sorotan di sini adalah gelombang tekanan
massa. Apakah gelombang tekanan itu untuk menekan keadilan? Artinya, keadilan
tidak bisa ditegakkan karena takut pada amuk massa sebagaimana tuduhan
pendukung Ahok? Atau, tekanan keadilan yang berarti tekanan gelombang massa
itu dilakukan untuk tegaknya hukum yang berkeadilan sehingga majelis hakim
mau tidak mau harus memutus perkara tersebut seadil-adilnya sebagaimana
keinginan massa anti-Ahok?
Jawaban pertanyaan tersebut kembali pada fakta dalam sidang.
Jika fakta dalam sidang menunjukkan bahwa Ahok tidak bersalah, tapi kemudian
majelis hakim memutus Ahok bersalah dan pantas dipenjara, di sini keadilan
tertekan untuk menyuarakan kebenarannya.
Namun, jika ternyata fakta dalam sidang menunjukkan bahwa Ahok
bersalah dan pantas dipenjara, kemudian majelis hakim juga memutus Ahok
bersalah dan pantas dipenjara, majelis hakim tertekan oleh rasa keadilan itu
sendiri. Artinya, gelombang massa –yang mengawal sidang dan menuntut Ahok
dihukum seadil-adilnya– meminta majelis hakim berlaku adil dalam sidang
tersebut. Dan itulah yang, tampaknya, terjadi dalam kasus penistaan agama
yang dilakukan Ahok.
Senyatanya, putusan majelis hakim terkait dengan kasus Ahok ini
terkesan lamban karena harus melalui 21 kali sidang. Namun, jika kita jeli
memperhatikan kalimat yang diucapkan Ahok yang kemudian dianggap menistakan
agama, kita akan sadar bahwa ucapan itu mengandung multitafsir. Dengan
demikian, pantas jika ucapan tersebut bisa dimaknai berbeda oleh orang yang
mendengarnya sehingga membuat sidang semakin alot, di samping bisa pula
karena adanya berbagai kepentingan yang ikut bermain di dalamnya.
Pernyataan Ahok yang dianggap menistakan agama oleh majelis
hakim adalah, ’’Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati
kecil Bapak-Ibu nggak bisa pilih saya ya kan? Dibohongi pakai Surat Al Maidah
51, macam-macam itu. Itu hak Bapak-Ibu ya. Jadi kalau Bapak-Ibu perasaan
enggak bisa kepilih nih, karena saya takut masuk neraka karena dibodohin gitu
ya, nggak apa-apa.’’
Penafsiran pragmatis atas perkataan itu, Ahok tidak hendak
menghina kandungan Surat Al Maidah ayat 51. Namun, dia ingin memberi tahu
warga Kepulauan Seribu bahwa ada tim sukses atau relawan cagub dan cawagub
lain yang menggunakan ayat itu untuk menjegal Ahok.
Namun, bahasa yang digunakan Ahok mengandung tafsir lain yang
jika diperhatikan akan sampai pada kesimpulan penistaan terhadap agama Islam,
terutama pada redaksi, ’’Dibohongi pakai Surat Al Maidah 51’’.
Artinya, yang dimaksud berbohong oleh Ahok adalah tim sukses
atau relawan cagub dan cawagub lain, tapi ternyata tim sukses dan relawan
cagub dan cawagub lain tidak berbohong karena mereka menyampaikan isi Alquran
Surat Al Maidah ayat 51 dari para ahli tafsir, walaupun bisa jadi tujuan
mereka dalam penyampaiannya itu memang punya kepentingan lain, sedangkan ahli
tafsir menafsirkan ayat itu berdasar pemahaman mereka dari kandungan ayat
tersebut. Karena itu, tuduhan Ahok yang ditujukan kepada tim sukses atau
relawan cagub dan cawagub lain tidak kena, malah mengenai ulama tafsir yang
menafsirkan ayat itu dan Alquran itu sendiri.
Dengan demikian, menjadi tepat pernyataan majelis hakim yang
melandaskan vonis untuk Ahok dengan alasan, ’’Dari ucapannya tersebut
terdakwa jelas menyebut Surat Al Maidah yang dikaitkan dengan kata
’dibohongi’. Hal ini mengandung makna yang negatif. Bahwa terdakwa telah
menilai dan mempunyai anggapan bahwa orang yang menyampaikan Surat Al Maidah
ayat 51 kepada umat atau masyarakat terkait pemilihan adalah bohong dan
membohongi umat atau masyarakat sehingga terdakwa sampai berpesan kepada
masyarakat di Kepulauan Seribu dengan mengatakan jangan percaya sama orang
dan yang dimaksud adalah jelas orang yang menyampaikan Al Maidah ayat 51’’. Wallahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar