Angket
DPR untuk KPK Langgar Konstitusi
Bayu Dwi Anggono ; Direktur
Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum
Universitas Jember
|
DETIKNEWS, 04 Mei 2017
Diwarnai aksi walk out
oleh sejumlah anggota DPR serta di tengah "kecaman" berbagai
kelompok masyarakat sipil dan akademisi lintas perguruan tinggi, pimpinan DPR
pada rapat paripurna Jumat (28/4) tetap ngotot mengesahkan usulan penggunaan
hak angket yang diajukan sejumlah anggota lintas fraksi.
Untuk menilai apakah penggunaan hak angket oleh DPR ini sah atau
tidak, dapat digunakan dua kriteria yaitu kriteria prosedur pengambilan
keputusan (formal) dan kriteria substansi (materiil). Kriteria ini digunakan
mengingat suatu keputusan lembaga negara dikatakan sah jika tidak mengandung
cacat prosedur dan/atau cacat substansi.
Cacat Prosedur
Keputusan paripurna DPR untuk menggunakan hak angket kepada KPK
dapat dikatakan mengandung cacat prosedur dikarenakan pengambilan keputusan
persetujuan hak angket DPR tidak dilaksanakan sesuai prosedur/mekanisme yang
dipersyaratkan oleh UU Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU
MD3). Khususnya, Pasal 199 ayat (3) yang mengatur bahwa usul hak angket oleh
pengusul (minimal 25 anggota DPR lebih dari 1 fraksi) akan menjadi hak angket
DPR apabila disetujui lebih dari 1/2 (setengah) jumlah anggota DPR yang hadir
dalam paripurna.
Untuk dapat mengetahui bahwa lebih dari setengah anggota DPR
yang hadir menyetujui penggunaan hak angket DPR tentu harus dilakukan melalui
mekanisme pengambilan suara (voting) secara terbuka. Setiap anggota DPR yang
hadir dalam paripurna diberi kesempatan memberikan suaranya untuk menyatakan
setuju atau tidak setuju terhadap usulan penggunaan hak angket (one man one vote)
tersebut.
Mekanisme pengambilan keputusan persetujuan hak angket DPR yang
dilakukan hanya dengan mendengar penjelasan pengusul, dan kemudian
dilanjutkan pengambilan keputusan secara sepihak oleh pimpinan DPR —dalam hal
ini Wakil Ketua Fahri Hamzah— yang memimpin sidang, tanpa dilakukan
pengambilan suara terhadap setiap anggota DPR yang hadir dalam paripurna,
jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 199 ayat (3) UU MD3.
Argumentasi aklamasi sebagai dasar tidak perlunya dilakukan
mekanisme pengambilan suara setiap anggota DPR sebagaimana diatur Pasal 199
ayat (3) UU MD3 juga tidak dapat diterima. Hal ini mengingat dalam
kenyataannya anggota DPR dari beberapa fraksi saat paripurna tersebut
menyatakan penolakan atas usul penggunaan hak angket tersebut, yang berarti
mekanisme aklamasi tidak tercapai. Sehingga, seharusnya wajib dilakukan
voting untuk setiap anggota DPR.
Cacat Substansi
Pasal 79 ayat (1) UU MD3 mengatur, DPR dalam rangka fungsi
pengawasan mempunyai 3 (tiga) hak yaitu hak interpelasi, hak angket, dan hak
menyatakan pendapat. Mengenai pengertian dan siapa subjek yang dapat
dikenakan hak angket diatur dalam Pasal 79 ayat (3) UU MD3.
Pasal 79 ayat (3) UU MD3 mengatur: Hak angket sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan
terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang
berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
Mengenai siapakah pemerintah yang dimaksud dalam Pasal 79 ayat
(3) UU MD3 tersebut, sesungguhnya telah dibatasi di penjelasan Pasal 79 ayat
(3) yaitu: Pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah
dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil
Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan
lembaga pemerintah nonkementerian.
Dengan mendasarkan pada penjelasan Pasal 79 ayat (3) UU MD3,
maka KPK bukanlah termasuk dalam kualifikasi Pemerintah. Sementara, untuk
dapat mengetahui apakah KPK merupakan kategori Lembaga Pemerintah Non
Kementerian (LPNK) dapat merujuk kepada regulasi yang mengatur tentang
lembaga apa saja yang dapat digolongkan sebagai LPNK.
Regulasi yang mengatur tentang LPNK yang dapat dijadikan rujukan
saat ini adalah Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2013 tentang Perubahan
kedelapan atas Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 2001 tentang Unit
Organisasi dan Tugas Eselon I Lembaga Pemerintah Non Kementerian. Pasal 1
Perpres 4/2013 memberikan limitasi lembaga mana saja yang termasuk LPNK.
Yaitu, terdapat 14 (empat belas) lembaga meliputi: Lembaga
Administrasi Negara (LAN); Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI); Badan
Kepegawaian Negara (BKN); Perpustakaan Nasional Republik (PERPUSNAS); Badan
Standardisasi Nasional (BSN); Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN); Badan
Tenaga Nuklir Nasional (BATAN); Lembaga Sandi Negara (LEMSANEG); Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN); Lembaga Penerbangan
Antariksa Nasional (LAPAN); Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP);
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI); Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT); dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).
Merujuk kepada Pasal 1 Perpres 4/2013 maka sudah jelas KPK bukan
termasuk kategori LPNK. Dengan tidak masuknya KPK sebagai LPNK dan dalam
klasifikasi Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri,
atau Jaksa Agung maka secara jelas KPK tidak memenuhi pengertian pemerintah
sebagaimana diatur penjelasan Pasal 79 ayat (3) UU MD3.
Memang, ada argumentasi dari pihak pengusul, bahwa hak angket
DPR bukan soal semata-mata mengenai kebijakan pemerintah namun juga dapat
digunakan untuk menyelidiki pelaksanaan undang-undang oleh suatu lembaga
negara apapun. Menurut pengusul, meskipun KPK bukanlah pemerintah tetapi
berkategori sebagai pelaksana UU, sehingga tetap dapat menjadi subjek hak
angket.
Argumentasi tersebut juga tidak dapat diterima. Mengingat,
sesuai Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 KPK berkedudukan sebagai badan-badan lain
yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Pasal 24 ayat (3) UUD
1945 secara lengkap mengatur: Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Sesuai Pasal 6 huruf c
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang menyebutkan salah tugas
KPK adalah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi, berarti menunjukkan KPK masuk kategori Pasal 24 ayat (3) UUD
1945.
Mengingat kedudukan sebagai badan yang berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman, maka keberadaan KPK tidak bisa dilepaskan juga atas
jaminan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang mengatur: Kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
Dengan dasar Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 tersebut maka KPK
dijamin kemerdekaannya dalam menjalankan wewenangnya, sama halnya dengan
jaminan kepada Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah
Konstitusi. Kemerdekaan yang dimaksud adalah bebas dari pengaruh dan
intervensi kekuasaan mana pun dalam menjalankan wewenang penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan.
Sebagai penegasan atas jaminan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 itu,
maka Pasal 3 UU KPK juga mengatur: Komisi Pemberantasan Korupsi adalah
lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
Mendasarkan kepada ketentuan UUD 1945 maka penggunaan hak angket
DPR terhadap KPK selain tidak tepat dari segi subjek, juga dapat dimaknai
sebagai upaya mengintervensi pelaku kekuasaan kehakiman dan badan-badan lain
yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman —dalam hal ini termasuk KPK.
Akhirnya, mengingat angket DPR terhadap KPK mengandung cacat
prosedur dan cacat substansi, maka dampaknya hak angket ini harus dianggap
batal demi hukum. Sehingga KPK tidak wajib terikat kepada penggunaan hak
angket tersebut. Jika DPR tetap memaksakan penggunaan hak angket tersebut,
maka sesungguhnya DPR tidak hanya melanggar UU tapi juga konstitusi hukum
dasar tertinggi di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar