Pertarungan
Business Model,
Bukan
Antarmerk atau Antarbangsa
Rhenald Kasali ; Akademisi dan Praktisi Bisnis
yang juga Guru Besar bidang Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia; Pendiri Rumah Perubahan
|
KOMPAS.COM, 20 Mei 2017
Saya agak terkekeh-kekeh mendengar cara seorang-- maaf,
kebetulan sudah agak tua -- dalam memahami slide yang tercecer dari materi
pelatihan yang saya berikan. Slide itu berisi dua gambar. Satu adalah gambar
pedangdut legendaris Rhoma Irama dan di sebelahnya ada Ratu ngebor yang
pernah top pada awal tahun 2000. Keduanya pernah heboh bertengkar membuat
ramai pemberitaan.
Membaca slide itu, kebetulan ia datang sehari setelah saya
bicara, ia pun mulai melantur: “Bisnis
kita tidak ada hubungannya dengan dangdut!”
Ia tentu benar. Siapa yang bilang bisnisnya terkait dengan
dangdut? Namun belakangan saya agak paham, maaf, sudah terlalu banyak orang
yang seperti ini. Sensitif, dan ujug-ujug. Akibatnya: Mereka kesulitan
membaca fenomena-fenomena baru. Semua hal baru ditafsirkan “as it is,” dengan kacamata lama.
Faktanya, kedua gambar itu hanyalah sebuah ilustrasi yang
menggambarkan tentang pertarungan business
model. Bahkan menurut saya, Indonesia beruntung, pernah diberi contoh
yang begitu gamblang untuk memahami perubahan yang kini kita sebut sebagai disruption.
Apakah itu model pertarungan dalam industri entertain
(royalti vs hiburan), pelayanan kesehatan, transportasi, pendidikan, retail,
teknologi ruang angkasa, otomotif maupun energi.
Ya, kita sudah dibukakan mata untuk belajar jauh sebelum digital disruption menjadi fenomena
besar yang mampu menggulung perusahaan-perusahaan besar, bahkan bangsa-bangsa
besar. Untuk mudahnya saya ajak anda menyimak disruption dalan sektor energy
melalui business model yang mengakibatkan
harga migas dunia jungkir balik.
Bukan Sekadar Shale Oil
Belakangan ini kita dikejutkan oleh kedatangan Raja Salman
dari Saudi ke negri ini. Bagi saya, kunjungan itu sebenarnya juga merupakan
simbol dari pertempuran business model.
Anda tahu bukan, bahwa bersama 12 negara anggota OPEC
lainnya di masa lalu, Saudi telah menjadi penentu harga minyak dunia. Dengan
membatasi produksi dan kesempatan menetapkan harga, sejak awal abad 20 Saudi
dan negara-negara OPEC menikmati harga minyak yang aduhai. Di awal abad 21
saat populasi meledak bertambah satu miliar jiwa untuk setiap 10-12 tahun,
harga Minyak mentah pun bergerak naik dari sekitar USD 50 (2004) menjadi USD
120.
Ini benar-benar amat memusingkan presiden SBY yang pro
subsidi karena subsidi telah menggerus segala kemampuan pemerintah untuk
mengembangkan sektor-sektor lainnya. Tetapi syukurlah keperkasaan
negara-negara anggota OPEC itu hanya bisa bertahan hingga tahun 2013-2014.
Kekuatan membentuk harga itu tiba-tiba rontok, dengan
hadirnya tiga kekuatan baru: Rusia, Amerika Serikat dan China. Rusia menjadi
pemasok migas yang sama besarnya dengan negara-negara OPEC dan terus
meningkatkan produksinya membanjiri pasar migas dunia.
Rusia menjadi pengacau bagi OPEC dan Saudi.
Amerika sendiri memilih untuk membuka keran produksi dari
teknologi fracking yang selama ini
dilarang karena menimbulkan dampak kerusakan lingkungan. Teknologi fracking inilah yang menghasilkan shale gas dan shale oil.
Pasokan berlebih dari dua negara raksasa itu saja sudah
cukup mengguncang dunia, sehingga perlahan-lahan harga minyak dunia turun
kembali ke bawah USD 100, bahkan hingga menyentuh USD 50 saat ini.
Tetapi yang membuat harga minyak mentah itu turun bukan
hanya itu. Ada Negara lain yang bertarung dengan business model lain. Dan Negara itu bukanlah negri produsen,
melainkan konsumen terbesar: Tiongkok.
Apa yang dilakukan Tiongkok benar-benar membuat dunia energy disrupted. Tiongkok dengan
caranya sendiri, sejak sepuluh tahun yang silam diam-diam sudah membangun
kerjasama dengan Negara-negara miskin pemilik tambang di manca Negara,
khususnya di Benua Afrika.
Tiongkok membangun infrastruktur besar-besaran: Pelabuhan,
Jalan, Penerangan dan sebagainya. Setelah itu Tiongkok berhasil menguasai konsesi-konsesi
tambang migas di hampir semua negara Afrika dan membawanya pulang.
Akibatnya pasokan migas dunia semakin berlimpah dewasa
ini, meski Saudi Arabia masih menjadi produsen yang besar (9 juta
barel/hari), dan bukan lagi yang terbesar. Amerika Serikat (11 juta barel per
hari) dan Rusia (10 juta barel per hari).
Demikianlah, dengan business
model yang berbeda. Tiongkok tengah membangun pabrik semen, baja,
otomotif, kereta api, permesinan, pupuk dan sebagainya dengan standar kelas
dunia yang membuat industri-industri itu terdisrupsi di sini.
Pelabuhan-pelabuhan besar tengah dibangun Tiongkok di
manca negara, dari Srilanka, Indonesia, Vietnam sampai ke Negara-negara eks
Uni Soviet.
Selain itu, karena pupuk berhubungan dengan gas, maka kini
industri pupuk kita pun tengah memasuki gejala disruption. Apa akibatnya?
Ya, kemampuan branding
atau mengkomando harga premium hilang sudah, incumbents pun jungkir balik dan dituntut melakukan self disruption, atau ia akan punah
sekalian dan berteriak-teriak di depan istana meminta perlindungan atas
jumlah tenaga kerja yang akan kehilangan job dalam waktu dekat.
Jadi Bagaimana Si Ratu Ngebor?
Kembali pada orangtua yang mempersoalkan slide saya tadi,
sebenarnya sederhana sekali baginya kalau ia mau memahami business model. Cukup terbuka, mau
belajar.
Business model adalah cara manusia, perusahaan, daerah
atau negara dalam mencari uang, dalam melakukan pengembangan usaha. Itu saja.
Rhoma Irama, sang legendaris, popular karena lagu-lagu
ciptaannya, lirik dan musiknya, serta kualitas suara. Pada masanya, begitulah
model bisnis dalam industri musik. Kalau tak bisa mencipta lagu sendiri,
seorang artis harus punya hubungan yang dekat dengan pencipta lagu untuk
masuk ke dapur rekaman, lalu meraih Golden
Record, dan mendapatkan royalty.
Muncul di televisi, saat itu, bukanlah penghasilan yang
penting bagi para musisi. Televisi di masa lalu membayar artis seadanya,
karena bagi artis, pemunculan di televisi adalah promosi. Keadaan itu berbeda
benar dengan sekarang.
Dan bagi saya, pertempuran antara keduanya (Rhoma vs Inul)
yang heboh antara tahun 2003-2004 mengawali pertempuran antarbisnis model
dalam industri ini. Saat itu, dunia tengah bergeser menuju digital disruption yang mengakibatkan
toko-toko kaset (CD) terpaksa ditutup dan para musisi bolak-balik ke gedung
DPR meminta perlindungan dari pembajakan.
Inul di sisi lain tak mempunyai akar dalam menciptakan
lagu. Ia hanya bisa menari eksotis. Alih-alih bertarung dalam Golden Record,
Inul memfokuskan dirinya dalam panggung hiburan dan membiarkan rekamannya
diperjualbelikan secara bebas tanpa royalty.
Business Model Inul Daratista adalah panggung hiburan,
persis seperti apa yang dilakukan artis-artis tenar dunia hari ini melalui
panggung Youtube.
Jadi, dengan segala hormat, mari kita buka mata bahwa hari
ini negara-negara sekalipun tengah bertarung melalui business model.
Bukan soal mengajarkan Anda bahwa perusahaan berhubungan
dengan dangdut atau goyang ngebor.
Hari Selasa kemarin dalam Rakornas Pariwisata, saya pun
menyatakan hal serupa bagi industri ini di era disruption. Dalam industri pariwisata pertarungan antarbangsa ini
akan sarat dengan business model.
Saya senang karena Indonesia diberi menteri Pariwisata
yang paham betul makna digital
disruption. Maka itu lah Menteri Arif Yahya mempunyai program 100.000
homestay sebagai wujud pelaksanaan sharing
economy.
Jadi sekali lagi, harap maklum, persaingan abad ini sudah
bukan lagi antar-merek seperti yang santer kita saksikan di abad lalu antara
Coke vs Pepsi, atau antara Kacang Garuda vs Dua Kelinci. Melainkan
pertarungan antara Business Model
itu.
Silakan direnungkan untuk menghadapi masa-masa sulit di
era disruption ini. Saya tentu
dengan senang hati menerima Anda untuk berdiskusi di Rumah Perubahan. Selamat
bertarung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar