Jokowi,
Perintah "Gebuk", dan 19 Tahun Reformasi
Mimin Dwi Hartono ; Staf Senior Komnas HAM; Pendapat pribadi
|
KOMPAS.COM, 21 Mei 2017
TIDAK terasa, kita memasuki usia era reformasi yang
semakin dewasa. Sebuah era yang membawa warga negara Indonesia pada suasana
kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih terbuka, demokratis, dan
menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM).
Apa yang patut kita syukuri dan rayakan memeringati 19
tahun reformasi? Apa yang harus kita perbaiki dan evalusi agar reformasi
tidak salah arah?
Tonggak reformasi dicanangkan sejak 21 Mei 1998, kala
Presiden Soeharto akhirnya mengundurkan diri akibat tuntutan masyarakat yang
sudah muak dengan pemerintahan dan kekuasaannya yang otoriter, korup, dan
sarat dengan pelanggaran HAM.
Kita bersyukur bahwa reformasi telah membawa kita pada
kehidupan berbangsa yang lebih egaliter, setiap orang mempunyai hak dan
kesempatan yang sama untuk berpartisipasi termasuk di dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
Terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden RI ketujuh
merupakan buah dari pencapaian reformasi. Tentu kita tidak pernah
membayangkan bahwa seorang warga negara biasa yang tidak mempunyai garis
keturunan tokoh bangsa atau bangsawan atau jenderal, bisa duduk sebagai RI 1.
Terpilihnya Jokowi juga sekaligus menjadi tantangan untuk
pembuktian supremasi sipil. Jokowi terpilih karena pemahaman masyarakat atas
HAM telah membaik, bahwa setiap orang, tanpa kecuali, bisa dipilih sebagai
pejabat publik melalui mekanisme yang demokratis.
Namun, apakah terpilihnya Jokowi lantas telah menggeser
bercokolnya oligarki politik dan gerakan berbasis primordialisme? Tampaknya
tidak!
Kekuatan kelompok-kelompok status quo masih ada dan eksis,
baik di dalam maupun di luar pemerintahan. Kelompok itu tidak akan rela
berada di luar kekuasaan dan akan selalu berusaha untuk merebutnya dengan
berbagai cara dan strategi.
Sayangnya, strategi yang dipakai bisa jadi
"menghalalkan" segala cara. Pokoknya, asal bisa menang, tidak
peduli dengan nasib rakyat dan persatuan bangsa. Yaitu, dengan memakai dan
membangkitkan primordialisne agama dan suku/etnis.
Hal inilah yang membuat Presiden Jokowi, berturut-turut
pada 16-19 Mei 2017 menyampaikan penegasan akan "menggebuk"
siapapun yang merongrong Pancasila dan UUD 1945.
Di dalam Tajuk Rencana harian Kompas (19/5/17) disampaikan
tentang kekagetannya bahwa ucapan "gebuk" akan muncul dari Presiden
Jokowi, setelah pernah diucapkan Presiden Soeharto pada 1989 silam.
Pada 16 Mei 2017, setelah bertemu dengan para tokoh agama,
Presiden Jokowi meminta kepada Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Panglima
TNI Jenderal Gatot Nurmantyo untuk “menggebuk” siapapun yang merongrong
Pancasila dan NKRI. Sikap presiden itu didukung oleh para tokoh agama
termasuk Ketua Majelis Ulama Indonesia.
Sehari setelahnya, 17 Mei 2017, Presiden Jokowi mengundang
para pemimpin redaksi media massa di Istana Negara. Dalam kesempatan itu,
Jokowi kembali menegaskan ucapannya akan 'menggebuk" siapapun yang
merongrong negara, termasuk ormas-ormas intoleran dan radikal.
Pertemuan itu tentu dimaksudkan agar tidak terjadi salah
penafsiran dari media massa atas ucapan presiden itu.
Lalu, pada 19 Mei 2017, dalam kesempatan menyaksikan
latihan tempur pasukan TNI, di hadapan ribuan anggota TNI dan didampingi
Menteri Pertahanan, Panglima TNI, dan para kepala staf dari AD, AL, dan AU,
Jokowi menegaskan lagi akan "menggebuk" bahkan menendang ormas yang
radikal tanpa kompromi, termasuk PKI jika berani nongol lagi.
Diterjemahkan hati-hati
Pernyataan dan perintah Presiden Jokowi itu harus
dicermati dan segera diterjemahkan secara hati-hati dan kontekstual oleh
Kapolri dan Panglima TNI serta seluruh jajaran kabinetnya.
Konsekuensinya, akan ada tindakan di lapangan untuk
melaksanakan perintah presiden itu, apapun risikonya, sehingga bisa
membahayakan demokrasi dan HAM. Pun dapat menjadi blunder bagi Jokowi.
Hal ini karena situasi di lapangan sangat berbeda-beda dan
sangat dinamis, antara satu wilayah dengan yang lain, antara satu peristiwa
dengan peristiwa yang lain. Jika tidak hati-hati, aparatur di lapangan bisa
dengan mudah “menggebuk” siapapun yang menurut “tafsir” mereka “merongrong”
Pancasila dan NKRI.
Jangan sampai ada penafsiran yang sama, misalnya antara
"kebebasan berekspresi" dengan "hate speechs." Atau
antara "kritik konstruktif" dengan "makar" dan
"kebebasan beragama" dan "radikalisme."
Alhasil, negara ini bisa kembali ke era yang mirip dengan
Orde Baru, jika definisi dan jenis "gerakan yang merongrong" dan
perintah presiden itu tidak dibatasi koridornya secara tegas dan jelas
menurut hukum dan HAM.
Untuk itu, “titah” Presiden Jokowi harus ditafsirkan dan
diberikan guidance yang jelas dan tegas dengan batas-batas HAM yang boleh
dikurangi dan dibatasi. Hal ini sangat penting, agar aparatur negara tidak
“kebablasan” dan memakainya secara serampangan untuk main gebuk saja.
Keluarnya pernyataan Presiden Jokowi itu dilatarbelakangi
oleh ancaman atas hak negara untuk tetap ada (right to survive).
Maraknya aksi-aksi kelompok intoleran dan radikal, yang
terutama memakai isu SARA khususnya dengan membonceng isu penodaan agama,
berhasil menarik dan membangkitkan emosi massa.
Isu ini dimanfaatkan oleh kelompok oligarki politik
sebagai "peluang" untuk eksis dan berkuasa sehingga ada indikasi
makar yang saat ini sedang disidik oleh kepolisian.
Namun apapun ancaman itu, negara tidak diperkenankan
memakai cara-cara yang represif dan inkonstitusional. Segala bentuk gerakan
anti demokrasi dan HAM, harus diatasi dengan pendekatan yang demokratis dan
humanis, bukan sebaliknya.
Oleh karena jika tidak, bisa menjadi bumerang bagi
pemerintahan dan pematangan demokrasi. Kita jangan sedikitpun mengkhianati
amanat reformasi dengan menariknya mundur lagi. Demokrasi sebagai buah dari
reformasi telah membuka kran partisipasi masyarakat di banyak sektor
kehidupan, termasuk kebebasan untuk berekspresi, menyampaikan pendapat, dan
mendirikan organisasi/perkumpulan.
Demokrasi telah menumbuhkan aktor-aktor non-negara (non
state actors) yang mempunyai pengaruh dan legitimasi sosial di masyarakat dan
kelompoknya. Umumnya mereka memakai basis keagamaan, suku, dan etnisitas,
karena cara ini yang paling mudah menarik emosi massa.
Di satu sisi, hal ini tentu positif, karena tercipta
ruang-ruang baru bagi berbagai kelompok masyarakat untuk berekspresi dan
mengukuhkan identitasnya. Namun di sisi yang lain, primordialisme berbasis
suku, etnis, dan agama kembali menguat yang jika dibiarkan akan bisa
menyerang ibunya sendiri, yaitu demokrasi.
Alih-alih mencerdaskan masyarakat, pemakaian isu SARA
merupakan upaya pembodohan masyarakat secara sistematis.
Taati prosedur hukum
Reformasi sudah berusia 19 tahun, namun kita masih jauh
dari demokrasi yang terkonsolidasi. Kita masih dalam tahap demokrasi
formalitas dan prosedural, yang miskin substansi.
Partai politik dan organisasi massa tumbuh bak cendawan di
musim hujan, namun bukan untuk memberdayakan dan mengukuhkan hak-hak
masyarakatnya. Tetapi, hanya dipakai untuk meraih kekuasaan dan alat
bargaining ekonomi-politik dengan penguasa dan pengusaha.
Pada sisi yang lain, kewenangan negara semakin terkuras
dan terdistribusi ke banyak aktor-aktor negara yang satu sama lain bukannya
saling bersinergi, namun bersaing menunjukkan kewenangannya.
Presiden tidak bisa lagi menjadi “penguasa” tunggal karena
segala keputusan dan kebijakannya harus melalui proses hukum dan negosiasi
politik yang melibatkan aktor-aktor negara yang lain.
Dalam kasus pembubaran organisasi kemasyarakatan Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI), langkah pemerintah harus melalui prosedur dan
mekanisme hukum sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Tentang Ormas dan
menghormati prinsip-prinsip dasar HAM, yaitu kebebasan untuk berekspresi dan
berserikat.
Langkah ini meskipun akan membutuhkan waktu dan energi,
harus ditempuh karena kita sudah bersepakat untuk menjunjung tinggi HAM dan
demokrasi yang disebut secara tegas di dalam Konstitusi. Hal ini agar
keputusan nantinya mendapatkan legitimasi hukum, sosial, dan politik.
Tujuan dari reformasi yaitu terwujudnya demokrasi yang
terkonsolidasi, masih jauh. Kita bertanggung jawab untuk menjaga amanat dan
semangat reformasi yang diperoleh dengan darah mahasiswa dan pengorbanan
ribuan rakyat agar tidak salah arah atau gagal mencapai tujuan.
Instruksi “gebuk” Presiden Jokowi jangan sampai menarik
mundur pencapaian reformasi ke belakang. Namun harus sebaliknya, yaitu
mengembalikan reformasi pada rel yang benar.
Agar kedaulatan benar-benar di tangan rakyat, bukan di
tangan kelompok-kelompok oligarki politik dan primordial yang bercokol hanya
untuk mempertahankan kepentingannya dengan mempergunakan basis SARA untuk
kembali berkuasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar