Pemilu
Terbesar di Dunia
Ramlan Surbakti ; Guru Besar Perbandingan Politik
pada FISIP Universitas Airlangga; Anggota Komisi Ilmu Sosial Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 03 Mei 2017
India adalah
negara demokrasi terbesar di dunia karena jumlah pemilihnya pada Pemilu 2014
mencapai 814,5 juta orang. Meski demikian, pemilu terbesar di dunia tidak
terjadi di India, tetapi di Indonesia.
India
menyelenggarakan pemilihan anggota Parlemen Nasional (Lok Sabha) tidak secara
serentak dalam sehari, tapi dalam sembilan fase. Pada 2014, misalnya,
pemungutan suara dilaksanakan pada 7/4, 9 dan 11/4, 10/4, 12/4, 17/4, 24/4,
30/4, 7/5, dan 12/5. Jumlah calon untuk mengisi 543 kursi Lok Sabha (DPR)
mencapai 8.251 orang dari 36 partai yang bersaing di 543 daerah pemilihan
(dapil) di 29 negara bagian dan 7 wilayah federal. Pemilih yang menggunakan
hak pilih (voter turnout) rata-rata mencapai 66,3 persen.
Indonesia pada
pihak lain menyelenggarakan pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota secara serentak dalam satu hari. Pada pemilu anggota
DPR, DPD, dan DPRD tahun 2014, jumlah pemilih terdaftar di Indonesia 193,9
juta. Karena itu, pada hari pemungutan suara tersebut KPU harus menyediakan
lebih dari 776 juta lembar surat suara beserta dokumen serta sarana
pemungutan dan penghitungan suara lain. Jika pilpres juga diselenggarakan
bersamaan dengan pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota pada 2019, status Indonesia sebagai penyelenggara pemilu
terbesar di dunia semakin tidak terkalahkan karena jumlah surat suara yang
harus dicetak dan didistribusikan oleh KPU akan mencapai lebih dari 1 miliar
(5 x 200 juta pemilih), yang berarti melebihi jumlah pemilih India.
Beban bagi pemilih dan partai
Yang jadi
pertanyaan utama adalah apakah dengan status itu pemilu Indonesia akan
semakin baik dari segi kualitas (apakah semakin demokrasi) ataupun dari segi
penyelenggaraan (apakah makin efisien)? Berikut tinjauan dari berbagai aspek.
Apakah pemilu
borongan (pemilu serentak untuk lima lembaga) menguntungkan pemilih? Untuk
Pemilu 2019, pemilih akan menghadapi tugas berat: menentukan pilihan untuk
pemangku jabatan lima lembaga: DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota,
serta presiden dan wakil presiden. Kompleksitas pilihan yang dihadapi setiap
pemilih bergantung pada desain surat suara dan model penyuaraan. Apabila
hanya nama dan tanda gambar partai politik yang tercantum di surat suara
pemilu anggota DPR dan DPRD, pilihan yang dihadapi pemilih sangat sederhana,
yaitu memilih satu tanda gambar partai politik. Namun, jika tanda gambar
partai dan nama calon tercantum dalam di surat suara, maka akan sangat
kompleks.
Apabila dalam
pemilu anggota DPR dan DPRD pemilih diminta memilih satu partai/calon,
sementara dalam pemilu anggota DPD serta pemilu presiden dan wakil presiden
setiap pemilih diminta memilih satu calon/pasangan calon, maka setiap pemilih
diperkirakan perlu rata-rata delapan menit untuk menerima dan membuka surat
suara, mencoblos, melipat, dan memasukkan surat suara ke dalam kotak suara
serta mencelupkan jari pada tinta. Berdasarkan asumsi tersedia lima kotak
suara dan lima bilik suara di setiap TPS (yang tersedia di setiap TPS hanya
empat kotak suara dan empat bilik suara), maka dalam delapan menit terdapat
lima pemilih memberikan suara. Hal ini berarti proses pemungutan suara untuk
lima lembaga bagi maksimal 300 pemilih untuk setiap TPS akan memerlukan waktu
delapan jam (dari pukul 07.00 sampai pukul 15.00).
Penghitungan
suara untuk setiap 300 surat suara diperkirakan perlu waktu dua jam sehingga
untuk lima lembaga diperlukan waktu sekitar 10 jam. Dengan demikian, proses
pemungutan dan penghitungan suara akan berlangsung sampai pukul 01.00 (belum
termasuk istirahat waktu makan siang). Pengisian berita acara dan sertifikat
hasil penghitungan suara beserta salinannya untuk lima lembaga diperkirakan
memakan waktu sekitar lima jam (satu jam untuk setiap jenis pemilu). Dengan
demikian, KPPS beserta para saksi baru dapat meninggalkan TPS pada pukul
06.00 keesokan harinya.
Dengan
demikian, secara teknis proses pemungutan dan penghitungan suara tidak hanya
tidak akan selesai dalam satu hari, tetapi juga menguras tenaga para anggota
KPPS dan saksi beserta segala konsekuensinya terhadap ketelitian.
Setidak-tidaknya
dua langkah efisiensi dapat dilakukan untuk mempercepat proses penghitungan
suara dan pengisian dokumen. Pertama, melaksanakan penghitungan suara secara
paralel sehingga pada saat yang sama bisa dilakukan penghitungan suara dua
lembaga sekaligus. Kedua, melatih sekurang-kurangnya lima dari tujuh anggota
KPPS untuk mengisi berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara
beserta salinannya (satu anggota KPPS untuk setiap lembaga). Langkah
efisiensi ini harus dipersiapkan secara saksama oleh KPU. Kedua langkah
efisiensi ini niscaya akan dapat mempercepat penyelesaian. Akan tetapi, kedua
langkah efisiensi ini tampaknya tak cukup untuk menjamin proses pemungutan dan
penghitungan suara selesai dalam satu hari.
Apabila
kesimpulan ini benar, dua alternatif berikut perlu dipertimbangkan.
Alternatif pertama berupa pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara dalam
dua hari, yaitu hari pertama untuk pemungutan dan penghitungan suara pemilu
anggota DPR dan DPD serta pemilu presiden dan wakil presiden, sedangkan pada
hari kedua pemungutan dan penghitungan suara pemilu anggota DPRD provinsi dan
DPRD kabupaten/kota. Alternatif pertama ini akan menimbulkan persoalan pada pemungutan
dan penghitungan suara hari kedua jika pemungutan dan penghitungan suara pada
hari pertama bermasalah.
Alternatif
kedua berupa pembentukan dua KPPS di setiap TPS sehingga satu KPPS
menyelenggarakan pemungutan dan penghitungan suara pemilu anggota DPR, DPD,
serta pemilu presiden dan wakil presiden, sedangkan KPPS yang lain
menyelenggarakan pemungutan dan penghitungan suara pemilu anggota DPRD
provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Alternatif kedua ini niscaya akan dapat
menjamin proses itu selesai dalam satu hari dan mungkin hasil kerja KPPS juga
lebih teliti karena bekerja tidak dalam tekanan waktu. Akan tetapi,
alternatif kedua ini perlu dana sangat besar.
Pemilu
serentak 2019 juga tidak menguntungkan partai politik peserta pemilu (P4)
karena harus menyiapkan empat jenis pemilu sekaligus. Sekurang-kurangnya
empat tugas penting harus dipersiapkan dan dilaksanakan oleh P4 secara
saksama. Pertama, menyeleksi dan menetapkan daftar calon anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap dapil serta mengusulkan satu
pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kedua, merumuskan visi, misi, dan
program partai sebagai materi kampanye. Ketiga, mencari dana kampanye,
menyusun strategi kampanye, melaksanakan, mengoordinasi, dan mengendalikan
pelaksanaan kampanye pemilu. Keempat, menyusun serta menyerahkan laporan
penerimaan dan pengeluaran dana kampanye pemilu kepada KPU. Singkat kata, P4
harus merencanakan dan melaksanakan banyak hal sekaligus untuk empat jenis
pemilu.
Tugas ini
mungkin akan lebih ringan jika dilakukan penyederhanaan setidak-tidaknya
dalam materi kampanye. Penyederhanaan yang dimaksud adalah menyamakan visi,
misi, dan program partai untuk pemilu anggota DPR dengan visi, misi, dan
program pasangan calon untuk pemilu presiden dan wakil presiden. Penyamaan
ini relevan tidak saja karena keduanya merupakan jabatan nasional, tetapi
juga karena keduanya memiliki kewenangan legislasi dan anggaran.
Beban berat KPU
Pemilu
serentak 2019 bagi penyelenggara pemilu tentu bukan pekerjaan ringan. Tugas
terberat pertama adalah perencanaan program dan anggaran. Kualitas
perencanaan program dan anggaran untuk pemilu (serentak) 2019, antara lain,
ditentukan oleh partisipasi KPU kabupaten/kota dan KPU provinsi dalam
mengusulkan program dan anggaran tersebut. KPU nasional tidak boleh
berpretensi tahu segala hal tentang kondisi dan kebutuhan setiap daerah.
Sebaliknya, rencana program dan anggaran yang diusulkan oleh KPU provinsi dan
KPU kabupaten/kota juga harus berdasarkan hasil penelitian yang cermat tanpa
duplikasi, mark-up, dan program yang tidak relevan.
Pelaksanaan
dan pengendalian pelaksanaan rencana program dan anggaran untuk lima jenis
pemilu tersebut merupakan tugas berat berikutnya. Termasuk di dalamnya
pengadaan dan distribusi logistik pemilu yang didahului penetapan spesifikasi
teknis setiap jenis logistik pemilu. Apabila jumlah pemilih terdaftar
mencapai 200 juta, KPU harus mencetak dan mendistribusikan lebih dari 1
miliar surat suara. Pengendalian pelaksanaan memegang peran penting tak hanya
untuk memastikan apa yang dilaksanakan sesuai rencana, tetapi juga agar
setiap persoalan yang muncul dalam pelaksanaan dapat dengan cepat dideteksi,
dianalisis, dan diputuskan solusinya. Pengendalian dilaksanakan berdasarkan
hasil monitor dan evaluasi terhadap pelaksanaan setiap tahapan dan
non-tahapan. Desentralisasi pengadaan dan distribusi logistik tertentu kepada
KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota merupakan salah satu bentuk pelaksanaan
dan pengendalian.
Tugas dan
kewenangan yang tak ringan berikutnya: menetapkan peraturan KPU tentang
peraturan pelaksanaan setiap tahapan berdasarkan UU Pemilu. Dalam Pemilu 2019
yang dilaksanakan serentak tersebut, KPU harus menyiapkan tiga peraturan
untuk setiap tahapan, kecuali untuk tahapan pemutakhiran daftar pemilih
karena daftar pemilih. Tahap pendaftaran, penelitian, dan penetapan peserta,
misalnya, dibuat tiga peraturan KPU: satu untuk pemilu DPR dan DPRD, satu
untuk pemilu DPD, dan satu untuk pemilu presiden dan wakil presiden.
Pembentukan peraturan KPU akan lebih cepat jika tidak ada kewajiban bagi KPU
untuk mendapatkan persetujuan DPR dan pemerintah sebelum menetapkan peraturan
tersebut. Peraturan KPU tentang setiap tahapan pemilu ini kemudian dijabarkan
dalam bentuk prosedur standar operasi sehingga bisa digunakan sebagai bahan
sosialisasi tata cara pemilu.
Akhirnya,
pemilu serentak juga tidak berkontribusi bagi konsolidasi demokrasi Indonesia
karena beberapa hal. Pertama, isu nasional akan mendominasi kampanye pemilu,
sedangkan isu lokal/otonomi daerah akan tenggelam. Hal ini tidak hanya karena
ditutupi isu nasional, tetapi juga karena kampanye anggota DPRD cenderung tak
berdasarkan visi, misi, dan program partai, tetapi dituntun oleh pragmatisme.
Kedua, pemilih hanya punya kesempatan menuntut akuntabilitas partai/calon
karena kelima jenis pemilu itu sekali dalam lima tahun. Apabila pemilu
nasional diselenggarakan secara terpisah dari pemilu lokal, kedua jenis
pemilu ini akan bisa digunakan menuntut akuntabilitas dua kali dalam lima
tahun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar