KTP-el
dan Korupsi Berulang
Febri Hendri AA ; Koordinator Divisi Investigasi
ICW
|
KOMPAS, 03 Mei 2017
Menarik
mencermati reaksi publik dan politisi atas persidangan kasus korupsi
pengadaan KTP elektronik. Publik marah dan mengecam tindakan pelaku dan
penerima suap dalam kasus korupsi ini.
Reaksi berbeda
justru ditunjukkan politisi di DPR. Sebagian mereka membela pelaku dan
penerima suap dari kalangan DPR. Bahkan, mereka menyerang balik Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui pernyataan publik serta sosialisasi
revisi UU KPK.
Di balik
kehebohan kasus ini, ada fenomena menarik lain yang luput dari perhatian
publik. Fenomena itu adalah, korupsi pengadaan KTP elektronik merupakan
pengulangan modus korupsi yang pernah diusut KPK atau penegak hukum sebelumnya.
Penggelembungan anggaran dan rekayasa pengadaan disertai suap pengusaha
kepada pimpinan DPR, fraksi, anggota DPR, panitia lelang, dan pejabat tinggi
adalah modus yang jamak terjadi dalam korupsi pengadaan.
Jadi, korupsi
KTP elektronik tak begitu berbeda dibandingkan kasus korupsi pengadaan
lainnya kecuali kasus ini melibatkan banyak petinggi DPR, kementerian, dan
pengusaha kaya dengan nilai suap yang sangat fantastis. Karena melibatkan
nilai suap sangat tinggi pada pejabat tinggi negara dan kementerian, maka
proses persidangan ini memicu reaksi sangat keras dari publik.
Dari
pemantauan ICW atas kasus korupsi yang diusut penegak hukum dalam periode
2010-2015, ditemukan 952 kasus atau 31,3 persen dari total 2.086 kasus yang
ditangani penegak hukum (KPK, kepolisian, dan kejaksaan) merupakan kasus
korupsi pengadaan barang dan jasa dan sebagian besar praktik jual-beli
anggaran DPR/DPRD.
Masalahnya,
mengapa kita terus terjebak pada kasus korupsi (dengan modus) yang sama
berulang kali, yang memicu kegaduhan politik berkali-kali? Apakah kita tak
mampu menarik pembelajaran atas kriminalisasi pimpinan dan staf KPK serta
upaya pelemahan lembaga ini ketika lembaga ini menangani kasus korupsi yang
melibatkan banyak petinggi pemerintahan politik dan hukum di negeri ini?
Politisi anti-korupsi
Beberapa
politisi memberikan pernyataan publik mendukung KPK mengusut kasus korupsi.
Namun, pernyataan itu tidak disertai aksi konkret berupa perlawanan politik
atas sosialisasi revisi UU KPK di kampus-kampus serta melawan serangan balik
lainnya. Ini membuktikan gerakan anti-korupsi belum sepenuhnya dapat dukungan
politik kuat dan solid di parlemen. Sebaliknya, kekuatan yang anti
pemberantasan korupsi justru makin dominan menguasai DPR.
Ada dua alasan
mengapa gerakan anti-korupsi butuh kelompok politik pendukung di DPR.
Pertama, akar korupsi ada di politik, terutama di politisi yang jadi anggota
DPR. Hal ini terjadi karena berbagai kewenangan DPR-legislasi, penganggaran,
pengawasan, penunjukan pejabat publik-memiliki pengaruh terhadap korupsi di
pemerintahan.
Kasus korupsi
pengadaan, misalnya, terjadi tak hanya saat pengadaan, tapi dipicu sejak
pembahasan alokasi dana proyek di DPR. Praktik jual-beli proyek dalam
pembahasan anggaran telah menyandera proses lelang di pemerintahan. Proses
lelang akhirnya cuma formalitas belaka. Begitu juga penyalahgunaan kewenangan
legislasi dan pengawasan yang juga memicu korupsi lainnya di pemerintahan.
Kedua,
kelompok politisi anti-korupsi merupakan kelompok yang diharapkan dapat mendukung
upaya mencegah korupsi oleh politisi DPR atau pemerintahan. Tanpa ada
kekuatan kelompok politik, maka kelompok politik lain akan leluasa melakukan
korupsi dan melawan pihak-pihak yang berseberangan dengannya. Mereka akan
terus merongrong KPK dan agenda pemberantasan korupsi karena dinilai
mengganggu agenda dan kepentingan mereka.
Harus diakui,
upaya membangun kelompok politik yang pro pemberantasan korupsi sangat sulit.
Namun, berkaca pada keberhasilan ICAC Hongkong memberantas korupsi, terutama
di kepolisian, juga tak lepas dari dukungan politik pemimpinnya.
Pemimpin
politik Hongkong mengalokasikan dana besar untuk pengusutan korupsi, tidak
mengintervensi kewenangan ICAC Hongkong, dan mempertahankan independensi
lembaga tersebut. Para pemimpin politik memberi kebebasan ICAC membersihkan
kepolisian dan lembaga lainnya dari korupsi.
Upaya
membangun kelompok politik yang mendukung pemberantasan korupsi telah
dilakukan sejak awal reformasi. Kesadaran untuk membersihkan dunia politik,
terutama DPR, dari korupsi, kolusi dan nepotisme beranjak dari fakta bahwa
akar dan hulu korupsi ada di DPR.
Upaya diawali
dengan menghambat terpilihnya caleg bermasalah dan dukungan kepada caleg
bersih dalam pemilu. Kelompok ini juga membentuk kaukus parlemen beranggota
politisi muda di DPR. Beberapa produknya adalah UU tentang penegakan hukum
atas korupsi oleh KPK.
Namun,
kelompok ini memudar dan melemah seiring banyaknya pimpinan dan anggota DPR
yang dijerat KPK dalam berbagai kasus korupsi. Mereka hilang karena tidak
terpilih kembali dalam pemilu berikutnya atau tunduk dan bergabung dalam
kelompok yang anti terhadap gerakan anti-korupsi karena pertimbangan politik
pragmatis.
Salah satu
penyebab utama hilangnya politisi pendukung KPK dan gerakan anti korupsi
karena gerakan ini gagal meyakinkan bahwa pemberantasan korupsi adalah isu
penting bagi rakyat dan strategis bagi kepentingan politik di DPR. Gerakan
ini tak mampu meyakinkan bahwa bergabung dan mendukung agenda pemberantasan
korupsi sejalan dengan kepentingan politik, terutama mobilisasi suara pemilu.
Para politisi
tersebut gagal meraup suara dalam pemilu berikutnya karena gerakan di DPR
tidak sampai pada pemilih. Tidak hanya itu, politisi yang terpilih justru
semakin terkucilkan dari elite karena dianggap batu sandungan bagi politisi
dan parpol umtuk meraup uang negara.
Penutup
Membangun
kekuatan politik anti-korupsi merupakan keniscayaan jika gerakan anti-korupsi
tak berkutat pada kasus korupsi yang sama. Tidak hanya itu, kekuatan politik
juga membantu KPK dan gerakan anti-korupsi dari upaya serangan balik yang
berulang kali muncul ketika KPK mengusut kasus korupsi di DPR, penegak hukum,
pejabat pemerintah, dan elite pengusaha.
Karena itu,
gerakan anti- korupsi harus berkembang dan meluas sampai dan masuk pada
pertarungan politik parlemen. Kekuatan politik yang pro terhadap
pemberantasan korupsi ini diharapkan mampu menjadi antitesis politik lain
yang tak sejalan dengan pemberantasan korupsi.
Hal ini
semakin mendapatkan tempat karena korupsi merupakan isu sangat berpengaruh
dalam pemilu dan elektoral lainnya. Parpol dan politisi yang tersangkut kasus
korupsi berisiko kehilangan dukungan dari pemilih.
Kondisi ini
celah yang dapat digunakan pegiat anti-korupsi dan KPK untuk membangun
gerakan anti-korupsi di luar parlemen, terutama memberi edukasi bagi pemilih.
Gerakan anti-korupsi harus memiliki insentif politik bagi politisi yang
mendukungnya, terutama insentif suara dalam elektoral sehingga mampu
memunculkan kelompok politik tandingan di DPR. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar