Merombak
Kabinet
Syamsuddin Haris ; Profesor
Riset LIPI
|
KOMPAS, 10 Mei 2017
Beberapa hari
lalu Presiden Joko Widodo memberi sinyal akan merombak kembali kabinetnya
jika kinerja para menteri tak sesuai target. Ke mana arah perombakan kabinet
jilid 3, kocok ulang parpol koalisi atau benar-benar berbasis kinerja?
Memegang
jabatan sebagai menteri negara tentu menjadi idaman banyak orang. Pada era
Orde Baru (1966-1998), para menteri pada umumnya mengemban jabatan mereka
secara penuh, yakni selama lima tahun. Sejumlah menteri, terutama di bidang
ekonomi, bahkan memegang jabatan itu hingga dua sampai empat periode.
Almarhum Ali
Wardhana, misalnya, menjadi menteri kepercayaan Soeharto selama hampir 20
tahun (1968-1988). Begitu pula Radius Prawiro yang malang melintang menjadi
menteri selama 20 tahun (1973-1993), sementara Widjojo Nitisastro, salah
seorang arsitek ekonomi Orde Baru, mengepalai Bappenas hingga menjabat menko
ekuin selama hampir 13 tahun (1971-1983).
Namun, menjadi
pembantu presiden di era reformasi tidak bisa ”tenang” seperti pada era
Soeharto. Para menteri setiap saat harus siap dicopot atau digeser ke posisi
lain jika kinerja mereka tidak sesuai dengan harapan, atau sikap politik
partai politik mereka, jika berpartai, bertentangan dengan posisi politik
sang presiden.
Hal itu pernah
dialami oleh para menteri Kabinet Persatuan Nasional pada era almarhum
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur, 1999-2001). Beberapa menteri hanya
menjabat selama 3-6 bulan, beberapa lainnya kurang dari satu tahun, dan
beberapa lainnya lagi mundur tidak lama setelah menjabat.
Mungkin trauma
dengan era Gus Dur, Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004) yang
membentuk Kabinet Gotong Royong tidak melakukan perombakan kabinet. Namun,
dua periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)
berlangsung lima kali perombakan Kabinet Indonesia Bersatu, masing-masing dua
kali pada periode I dan tiga kali saat periode II. Kecuali pada perombakan
kabinet skala besar pada 11 Oktober 2011, dua kali perombakan KIB periode
IIbersifat terbatas.
Manuver parpol koalisi
Selama lebih
dari separuh masa pemerintahannya, Presiden Jokowi telah dua kali merombak
Kabinet Kerja, yakni pada Agustus 2015 dan Juli 2016. Yang menarik,
pasca-perombakan kabinet jilid 2, Presiden Jokowi secara mengejutkan
memberhentikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar
yang baru tiga pekan dilantik karena disinyalir berkewarganegaraan ganda.
Sekitar dua
bulan kemudian Arcandra kembali diangkat dalam jabatan wakil menteri ESDM,
mendampingi menteri ESDM yang baru, Ignasius Jonan, mantan menteri
perhubungan yang dua bulan sebelumnya dicopot oleh Presiden Jokowi.
Fenomena
menarik lain dari dua setengah tahun Kabinet Kerja Jokowi-Jusuf Kalla adalah
begitu seringnya terjadi pergeseran menteri di satu posisi kementerian.
Selain Kementerian ESDM, ada empat portofolio kementerian lain yang sudah
pernah tiga kali mengalami pergantian menteri.
Keempat
kementerian tersebut adalah Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan
Keamanan (dari Tedjo Edhy Purdijatno ke Luhut Binsar Pandjaitan, kemudian
digantikan oleh Wiranto), Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya
(Indroyono Soesilo, Rizal Ramli, Luhut Binsar Pandjaitan), Kementerian
Perdagangan (Rachmat Gobel, Thomas T Lembong, EnggartiastoLukita), dan
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas (Andrinof
Chaniago, Sofyan Djalil, Bambang Brodjonegoro).
Meskipun
demikian, kinerja para menteri hasil dua kali perombakan tersebut tampaknya
belum memuaskan sang presiden sehingga mantan wali kota Solo dan gubernur DKI
Jakarta itu memberi sinyal akan merombak kembali kabinetnya. Diduga faktor
penting di balik sinyal Presiden adalah kebutuhan akan pencapaian target
percepatan pembangunan sehingga diharapkan sebagian besar program Nawacita
Jokowi-Jusuf Kalla bisa segera diwujudkan dan dinikmati masyarakat.
Akan tetapi,
tidak mustahil pula, di luar faktor kinerja para menteri, perombakan kabinet
dipicu oleh kebutuhan Presiden Jokowi akan Kabinet Kerja yang lebih solid
serta tidak terganggu oleh manuver politik partai-partai koalisi pendukung
Jokowi-Jusuf Kalla.
Tarik-menarik
dukungan dan manuver politik partai politik dalam Pilkada DKI Jakarta sangat
mungkin merisaukan Jokowi. Seperti diketahui, parpol koalisi pendukung
Jokowi-Jusuf Kalla pada putaran pertama terbelah ke dalam Poros Teuku Umar
(rumah Megawati Soekarnoputri) yang mengusung Basuki Tjahaja Purnama-Djarot
Saiful Hidayat dan Poros Cikeas (kediaman Susilo Bambang Yudhoyono) yang
mengusung Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni.
Pada putaran
kedua, partai politik koalisi terbelah ke dalam Poros Teuku Umar dan Poros
Kertanegara (kediaman Prabowo Subianto). Parpol koalisi, Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang diharapkan bersatu
kembali dengan Poros Teuku Umar, ternyata hanya memberi dukungan ”setengah
hati” terhadap Basuki-Djarot. Sementara Partai Amanat Nasional (PAN) bahkan
lebih memilih mendukung Poros Kertanegara yang mengusung Anies
Baswedan-Sandiaga Uno yang akhirnya memenangi pertarungan panas Pilkada DKI
Jakarta.
Faktor kinerja atau politik?
Pertanyaan
menggoda yang muncul di balik setiap kali mencuat isu perombakan kabinet
adalah benarkah dilatarbelakangi oleh faktor kinerja para menteri, atau lebih
karena alasan politik, yakni gesekan politik antara Istana dan parpol
pendukung? Tentu Presiden Jokowi yang lebih tahu apa saja faktor di balik
rencana perombakan kabinet jilid 3 tersebut. Namun, tidak ada salahnya pula
jika kita mencoba mereka-reka pertimbangan yang mungkin menjadi dasar bagi
Presiden Jokowi dalam merombak kabinet.
Pertama,
faktor kinerja para menteri itu sendiri. Seperti diketahui, Jokowi adalah
seorang pekerja keras yang memiliki target tertentu dari setiap program
politik yang dicanangkannya serta dalam durasi waktu tertentu pula. Jokowi
berharap setiap menteri dapat bekerja dengan standar minimum seperti dirinya,
sehingga selama lima tahun pemerintahan yang dipimpinnya ada warisan kerja
yang jelas dan terukur bagi bangsa kita.
Jokowi adalah
tipikal presiden yang tidak sabar dengan gayabirokratsalon, yakni mereka yang
hanya pintarmemberi perintah di belakang meja, tetapi tidak memiliki
kapasitas dalam mengontrol hasil kerja mereka, sehingga tidak jelas pula
pencapaiannya.
Selain itu,
Jokowi tampaknya adalah tipikal presiden yang tidak ikhlas jika setiap sen
rupiah dari anggaran negara terbuang percuma hanya karena kinerja para
pembantunya yang tidak becus.
Kedua, faktor
loyalitas politik. Ini terutama berlaku bagi para menteri yang mewakili
partai politik koalisi pendukung Jokowi-Jusuf Kalla. Seperti diketahui,
setiap parpol koalisi pendukung Jokowi-Jusuf Kalla memperoleh kompensasi
berupa kursi menteri dalam Kabinet Kerja. Kursi-kursi kabinet tersebut tentu
tidak gratis. Karena itu, setiap partai politik pendukung pemerintah dituntut
agar tetap loyal serta mendukung setiap program politik dan kebijakan
pemerintah.
Hanya saja
pertanyaannya, apakah perbedaan pilihan partai politik dalam pengusungan
pasangan calon dalam pilkada, seperti Pilkada DKI Jakarta yang baru berakhir,
termasuk dalam kategori penilaian ”loyal” dan ”tidak loyal” tersebut?
Saya kira,
Presiden Jokowi yang memiliki otoritas dalam mengangkat dan memberhentikan
menteri-menteri negara berhak memberi penafsiran subyektif atas makna dan
ruang lingkup ”loyalitas” parpol tersebut. Apalagi, sejauh ini tidak ada
kesepakatan tertulis antara Jokowi dan partai politik koalisi, baikmengenai
ruang lingkup dukungan politik parpol terhadap Presiden maupun terkait etika
berkoalisi. Itu artinya, Presiden Jokowi berhak pula merombak formasi
kabinetnya jika secara subyektif merasa ”gerah” dengan manuver politik partai
politik pendukungnya.
Dalam kaitan
ini kita tidak tahu, apakah manuver politik Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan
yang mensinyalir adanya ”intervensi” Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam
pencalonan Anies Baswedan sebagai gubernur DKI Jakarta, terkait potensi
tergusurnya menteri PAN dari Kabinet Jokowi atau tidak.
Ketiga, faktor
kemampuan dan kapasitas para menteri dalam membangun kerja sama tim
(teamwork) di antara mitra sektoral yang bersifat lintas kementerian.
Termasuk di sini adalah passion personal para menteri, apakah sungguh-sungguh
memiliki komitmen mewujudkan Indonesia yang lebih baik, atau sekadar ”menjadi
menteri” dengan segenap fasilitas pendukungnya. Para menteri dalam sistem
presidensial pada dasarnyatidak bisa bekerja sendiri-sendiri karena secara
kolektif mereka harus mewujudkan visi-misi dan program politik presiden
terpilih. Meskipun sebagian menteri berasal dari partai politik, mereka tidak
memiliki mandat politik apa pun karena tanggung jawab politik dan
pemerintahan berada di pundak Presiden.
Apa pun
pilihan politik Jokowi dalam merombak kembali kabinet harus dilihat dalam
konteks otoritas prerogatif Presiden dalam skema sistem presidensial. Hanya
saja, sebagai bagian dari elemen masyarakat yang memberi mandat politik kepada
Presiden, kita berharap agar perombakan kabinet sungguh-sungguh berorientasi
pada percepatan terwujudnya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh bangsa
kita. Biaya politik yang harus ditanggung bangsa ini terlampau besar jika
perombakan kabinet tak lebih dari sekadar prosesi pertukaran kesempatan
”menjadi menteri” belaka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar