Politik
Cantrang
Yonvitner ; Dosen
Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
|
KOMPAS, 10 Mei 2017
Pergulatan
akan isu cantrang dan kebijakan yang taksa menyiratkan bahwa desain
pengelolaanperikanan tidak matang dan sarat intervensi politik. Banyak persoalan tersisa dalam kebijakan
pelarangan penggunaan cantrang oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Seperti pisau bermata dua: kalau tidak hati-hati, melukai diri sendiri.
Sedari awal mestinya kebijakan pelarangan cantrang harus dilakukan atas
pertimbangan yang logis dan matang dengan bukti memadai sehingga kita bisa
meminimalkan risiko yang kelak muncul di kemudian hari.
Kebijakan
pelarangan cantrang dari Kementerian Kelautan dan Perikanan pasti muncul dari
perspektif pengendalian kerusakan lingkungan, ekosistem, serta menjamin
pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.
Meski
demikian, di balik itu, yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa kebijakan
yang terkesan mendadak itu mengakibatkan berhentinya beroperasi kapal
perikanan dengan alat cantrang berjumlah tenaga kerja yang besar. Kapal
cantrang memiliki anak buah kapal (ABK) yang banyak serta efek pengganda yang
besar.Jadi, pertimbangan risiko jangka panjang dan jangka pendek harus
dipersiapkan secara matang dalam kebijakan ini.
Rente cantrang
Kebijakan
pelarangan cantrang paling tidak memberikan harapan jangka panjang bagi
kelestarian stok ikan dan ekosistem.Pesisir utara Jawa yang terdiri dari
pantai berkarang, lamun, dan lumpur adalah ekosistem yang sangat disenangi
ikan-ikan kecil untuk mencari makan.
Berdasarkan
penelitian di utara Banten, ikan-ikan kecil umumnya berada di perairan atas
dari substrat dasar perairan dan ikan besar di bagian substrat berbatu dan
berlumpur di dasar perairan. Cantrang sudah pasti akan menangkap semua ukuran
ikan yang ada di perairan tersebut. Sudah dapat dipastikan bahwa ini akan
mengganggu kelestarian stok ikan.Jadi, pelarangan cantrang tentu akan memberi
peluang kepada habitat dan stok untuk kembali pulih hingga berkelanjutan.
Di sisi lain,
kebijakan pelarangan cantrang bagi kapal berukuran 5, 10, 20, dan 30 GT tentu
akan menimbulkan akses pada lapangan pekerjaan. Kapal cantrang 20-30 GT
setidaknya mempekerjakan 11-16 orang. Kapal di bawah 10 GT mempekerjakan 6-10
orang, terdiri dari nakhoda, juru kapal, juru masak, juru mesin, dan ABK.
Jumlah kapal
cantrang yang tercatat di pantura Jawa lebih dari 10.000 unit. Dengan 8-15
nelayan per kapal cantrang, setidaknya akan terjadi PHK 80.000-150.000 tenaga
kerja di sektor penangkapan.Jumlah ini tentu lebih besar lagi jika kita
kalkulasi lebih akurat menurut ukuran dan jumlah tenaga kerja penangkapan
ikan.
Pertanyaan
yang kemudian muncul, seberapa dalam dampak itu terjadi? Atau, sejauh mana
risiko pelarangan itu meresap ke dalam kehidupan nelayan di pantura Jawa?
Jangan lupa,
hampir semua nelayan cantrang yang tadinya adalah nelayan penangkap menerima
pendapatan dari sistem bagi hasil yang berlaku hingga saat ini. Dalam kajian
yang kami lakukan terhadap sistem bagi hasil pada nelayan cantrang di Jawa
Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timurpada kapal 5, 10, dan 30 GT, kami mendapat
bahwa nelayan anak buah kapal adalah kelompok masyarakat yang sebenarnya
menerima penghasilan paling rendah.
Sistem bagi
hasil yang diterapkan: pemilik kapal memperoleh setengah bagian dari untung
dan nelayan yang bekerja (mulai dari nakhoda, juru mesin, juru kapal, sampai
ABK) mendapat setengah bagian lainnya.Hasil perhitungan untuk kapal 20 GT:
pendapatan nakhoda tidak lebih dari Rp 1,6 juta per trip (1 trip: 2-3 minggu)
dan nelayan ABK mendapat antara Rp 400.000 dan Rp 800.000 per trip.Sisa hari
adalah untuk perbaikan kapal.
Nasib nelayan
cantrang 5 GT lebih parah lagi. Seorang ABK dari sistem bagi hasil menerima
penghasilan Rp 200.000-Rp 600.000 per trip. ABK mendapat Rp 200.000-Rp
275.000 per trip (1 trip 3-5 hari). Jumlah sisa hari dalam seminggu digunakan
untuk perbaikan jaring dan persiapan berangkat berikutnya.Jadi, kita bisa
lihat bahwa yang sesungguhnya mendapat bagian terbesar adalah tetap nelayan
pemilik kapal.
Politik cantrang
Kesimpulan
sederhana yang bisa diambil di sini: dilarang atau tidaknya penggunaan alat
cantrang, para nelayan anak buah kapal tetap akan berada di bawah garis
kemiskinan. Jelas bahwa dengan pendapatan itu mereka tetap berada di bawah
garis kemiskinan. Yang dapat menikmati hasil lebih banyak adalah nelayan
pemilik kapal. Kalau Anda mengamati keseharian nelayan di pantura Jawa, yang
Anda akan lihat adalah bahwa sebagian nelayan anak buah kapal akhirnya
memilih berprofesi ganda, seperti penarik becak, kuli bangunan, atau penarik
ojek.
Intervensi
Presiden Jokowi terhadap kebijakan yang di jalankan Menteri Kelautan dan
Perikanan setidaknya memperlihatkan dua hal.
Pertama, ada
inkonsistensi kebijakan yang dijalankan menteri akibat intervensi Presiden
yang berimbas pada lemahnya penerapan kebijakan di mata masyarakat.
Kedua,
kebijakan tak didesain dengan baik, atau kurang adaptif, sehingga masih dapat
digoyang dengan demonstrasi ataupun aksi penolakan yang bersifat anarkistis.
Yang begitu masih mewarnai pemerintahan kita.
Ketiga, yang
tak perlu diperhatikan adalah adanya tekanan politik dan tingkat
akseptabilitas dengan memanfaatkan lemahnya kebijakan.Kalau ini merupakan
kebijakan pemerintah, ada partai politik yang merasa menang dengan
pengenduran kebijakan ini.
Inkonsistensi
kebijakan berarti bahwa kebijakan yang diterapkan dapat ditawar. Tawaran ini
tentu akan berimbas pada kerja pemerintah. Pemerintah makin kurang dipercaya
dan beban belanja politik makin meningkat. Dibukanya perizinan cantrang
diamini beberapa partai politik sebagai kemenangan partai dalam
memperjuangkan hak rakyat kecil. Jadi, kebijakan ini masih sarat kebutuhan
politik yang sedang berkembang.
Padahal,
apabila Presiden mempersiapkan skema pekerjaan alteratif dengan cepat,
sesungguhnya kebijakan pelarangan cantrang ini akan mendapat legitimasi kuat.
Sebenarnya,
yang besar dari segi kuantitas bukanlah nelayan ABK, tetapi nelayan pemilik
yang menikmati setengah dari hasil tangkapan nelayan pada kapal cantrang
tersebut.Bantuan alat tangkapan juga akan dinikmati oleh nelayan pemilik yang
menjadi penguasa usaha perikanan di pantura Jawa.Belanja pemerintah untuk
alat tangkap cantrang adalah belanja politik yang seharusnya tak perlu
dikeluarkan dengan mengembangkan industri perikanan budidaya yang juga
menjadi tujuan dari pengembangan kemaritiman kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar