Mengatasi
PHK bagi Buruh
Triyono ; Peneliti Ketenagakerjaan Pusat
Penelitian Kependudukan LIPI
|
MEDIA
INDONESIA, 29 April 2017
TANGGAL 1 Mei
sebagai Hari Buruh Internasional diperingati di belahan penjuru dunia,
termasuk di Indonesia. Di tengah perayaan Hari Buruh tersebut masih ada permasalahan
yang tersisa. Salah satu permasalahan tersebut di antaranya masalah pemutusan
hubungan kerja (PHK). PHK ibarat bencana bagi buruh. Oleh karena itu, di
setiap rezim pemerintahan yang berkuasa, ada usaha untuk menciptakan
perluasan kesempatan kerja.
Di sisi lain,
data Kementerian Ketenagakerjaan dalam kurun waktu lima tahun terakhir
2012-2016 mencatat jumlah PHK fluktuatif. 2013 merupakan tahun dengan jumlah
kasus PHK yang paling besar, yakni mencapai 2.915 kasus dengan jumlah tenaga
kerja yang terdampak PHK mencapai 10.545 orang. Namun demikian, data kasus
PHK dengan jumlah buruh yang terdampak tidak linier. Misalnya, pada 2016,
jumlah kasus PHK sebanyak 1.648 dengan jumlah buruh yang di-PHK mencapai
12.777 buruh. Hal ini sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan 2015. Pada
2015, jumlah kasus PHK ialah 245 kasus, namun jumlah buruh yang terdampak
48.843 orang.
Adanya
perbedaan antara jumlah kasus PHK dengan jumlah korban PHK karena adanya
perbedaan jenis industri dan skala perusahaan. Bagi perusahaan besar, satu
kasus PHK bisa berdampak terhadap ribuan buruh. Jika melihat kasus PHK yang
selalu mewarnai dalam dunia industri saat ini, perlu adanya kebulatan tekad
dari lintas stakesholder untuk menguranginya. Apalagi, saat ini dunia
industri dihadapkan dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN, di samping adanya
digitalisasi di segala lini.
Hal tersebut
secara tidak langsung juga akan berdampak terhadap sektor ketenagakerjaan. Apalagi,
jika kasus PHK ini dibumbuhi dengan aroma politik akan semakin liar jika
tidak segera dicarikan solusinya. Oleh karena itu, solusi yang konkret dan
lengkap diperlukan untuk dapat memberikan kesejukan bagi dunia usaha, buruh,
maupun bagi pencari kerja.
PHK dan tantangannya
PHK merupakan
tantangan bagi pemerintahan Joko Widodo saat ini. Apalagi pemerintahan sudah
memasuki tahun ketiga yang secara langsung dapat mengukur bagaimana kinerja
pemerintahan Jokowi dan pemerintahannya dalam merespons PHK. Sekaligus dalam
merealisasikan janji-janji kampanyenya.
Sektor
ketenagakerjaan merupakan salah satu sektor prioritas di dalam program
prioritas pemerintah yang terkandung di dalam Nawa Cita.
Sesuai janji
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam kampanye.
Bahwa dalam
Nawa Cita point No 6 disebutkan bahwa pemerintah akan meningkatkan
produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa
Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya.
Di samping
itu, dalam Nawa Cita pemerintah akan membangun 10 kawasan industri baru dan
pengembangan hunian untuk buruhnya. Pengembangan kawasan industri ini perlu
didukung dengan kemampuan tenaga kerja Indonesia. Jika pengembangan kawasan
industri dapat tercapai, tidak hanya PHK yang mampu diatasi, namun juga
perluasan kesempatan kerja. Rakyat saat ini menunggu realisasi penuh program
untuk perluasan kesempatan kerja. Dalam tiga tahun terakhir, langkah yang
telah diambil pemerintah seperti paket kebijakan iklim investasi sudah mampu
meraih minat investor.
Di sisi lain,
kebijakan pengupahan yang secara langsung menekan angka kenaikan upah
sekaligus juga sebagai daya tarik bagi perusahaan asing untuk berinvestasi. Namun,
berbicara investasi bukan hanya berbicara mengenai upah yang sudah ditekan
rendah demi investasi dan infrastruktur, namun juga berkaitan dengan iklim
hubungan industrial.
Langkah
pemerintah selama ini memang mengembangkan infrastruktur berkaitan langsung
dengan investasi dan penurunan biaya-biaya yang perlu dikeluarkan perusahaan.
Namun demikian, buruh sebagai kelas paling bawah merasakan dampak yang utama,
yaitu adanya penurunan upah yang diterima secara riil.
Pada awalnya
PP No 78 Tahun 2015 ini diharapkan mampu menjawab permasalahan pengupahan
yang diharapkan mampu memberikan daya saing perusahaan. Sehingga PHK dapat
diminimalisasi.
Namun begitu,
di sisi lain upah buruh semakin rendah. Berdasarkan data Kementerian
Ketenagakerjaan, kenaikan upah rata-rata nasional pada 2016 sebesar 11,5%. Sedangkan
pada 2017 kenaikan upah minimum rata-rata nasional sebesar 8,25% sesuai
dengan PP No 78 Tahun 2015. Melihat data tersebut, jelas upah yang diterima
buruh sangat turun drastis.
Lebih lanjut
perbandingan sebelum dan setelah penetapan PP No 78 Tahun 2015, sangat jauh
berbeda. Pada 2015 angka kenaikan upah nasional 12,77%. Perlu diwaspadai
jangan sampai adanya upah yang rendah ini justru melahirkan berbagai
persolan. Persoalan seperti klasik demonstrasi dan mogok kerja yang
destruktif justru akan mengurangi daya pikat pemerintah dalam menarik
investor. Kondisi itu
justru pada akhirnya akan menaikkan tingkat PHK.
Lebih lanjut
keluarnya PP tersebut ialah memutus dialog dalam penetapan upah yang
diselenggarakan dalam kurun waktu 1 tahun sekali. Jika hal ini tidak
disikapi, akan menjadi bumerang. Apalagi demonstrasi merupakan hak warga
negara.
Dengan melihat
permasalahan tersebut, berbagai solusi yang konkrit sangat diperlukan.
Solusi
pertama, program yang telah digulirkan dengan pengembangan infrastruktur
menjadi pondasi utama dalam penciptaan kesempatan kerja.
Pengembangan
infrastruktur ini tentunya akan menumbuhkembangkan kawasan industri baru.
Pengembangan
kawasan industri baru dengan jumlah 10 sesuai dengan janji Nawa Cita maka
akan melahirkan efek domino yang cukup besar selain memerangi angka
pengangguran, menimalisasi PHK, juga akan mampu menggerakkan ekonomi lokal. Hal inilah
jawaban yang sangat ditunggu publik.
Kemudian paket
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, saat ini sudah selaras dengan
kebutuhan perluasan kesempatan kerja.
Bagaimanapun
juga persoalan PHK tidak terlepas dari kebijakan pemerintah di sektor lainnya
berupa pajak, dan iklim investasi yang diciptakan. Di samping itu
keberpihakan terhadap buruh merupakan persoalan yang urgent karena akan
memacu produktivitas buruh.
Dengan
demikian, bayang bayang PHK akan jauh dari pikiran buruh. Jika, PHK
buruh selalu menghantui, produktivitas pekerja tidak akan meningkat.
Jika
bayang-bayang PHK benar-benar terjadi akan menyebabkan ongkos sosial yang
terlalu besar. Ongkos sosial
tersebut antara lain kemiskinan yang meningkat dan kriminalitas. Oleh karena itu, PHK ialah jalan terakhir dalam hubungan
industrial jika tidak dapat diselesaikan dengan cara-cara lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar