Melarang
atau Membubarkan? :
Menyoal
Ormas Radikal
Mimin Dwi Hartono ; Staf
Senior Komnas HAM;
Tulisan ini merupakan pendapat
pribadi
|
DETIKNEWS, 09 Mei 2017
Pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik Hukum dan
Keamanan Wiranto, Senin (8/5/17) menyatakan akan menempuh jalur hukum untuk
membubarkan organisasi kemasyarakatan (ormas) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Alasannya, HTI terindikasi kuat bertentangan dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Pembubaran ormas tidak hanya sampai ke HTI, namun juga
ormas-ormas lain yang bertentangan dengan hukum dan ideologi negara. Langkah
itu adalah tindak lanjut dari pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyampaikan
bahwa pemerintah sedang mempersiapkan rumusan kebijakan tentang pembubaran
ormas radikal yang tidak sesuai dengan nilai dan prinsip Pancasila dan UUD
1945.
Rencana kebijakan Presiden Jokowi ini diduga kuat
dilatarbelakangi oleh aksi dan gerakan ormas-ormas tertentu yang ditenggarai
dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa, serta mengancam filosofi
dasar negara yang berdiri di atas semua golongan dan menghormati kebhinekaan.
Momentum Ahok
Aksi dan gerakan itu marak dengan mengambil momentum kasus hukum
yang tengah dihadapi oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, dan aroma kental
Suku, Ras dan Agama (SARA) selama dan pasca-Pilkada DKI Jakarta. Di tengah
aksi-aksi dan tuntutan elemen masyarakat yang mengatasnamakan Islam itu,
terindikasi adanya pihak-pihak lain yang memboncenginya dengan agenda-agenda
radikal untuk mendirikan negara Khilafah dan menggulingkan pemerintahan yang
sah (Allan Nairn, 2017).
Efek dari Pilkada Jakarta yang membangkitkan kembali
primordialisme berbasis suku dan agama, dikhawatirkan akan berdampak menular
ke wilayah lain dan mengerogoti tubuh bangsa (contagion effect). Pilkada
Jakarta telah mengirimkan sinyal ampuh bahwa isu suku dan agama telah dan
bisa menjadi alat politik kekuasaan.
Selama ini, khususnya sejak 1998, ormas-ormas yang berbasis pada
agama khususnya Islam tumbuh subur. Kehadiran mereka tentu tidak tiba-tiba,
karena diantaranya diduga dibentuk untuk tujuan politik dan ekonomi dengan
memakai "alat" agama. Eksistensi ormas-ormas itu sifatnya lebih
sporadis dan kasuistis, dan muncul ketika ada momentum yang tepat.
Hadirnya Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta yang beretnis
Tionghoa dan beragama Kristen, telah menciptakan ruang bagi ormas-ormas
tertentu untuk menunjukkan eksistensinya dengan dalih membela keyakinan
agama. Berbagai upaya telah dilakukan untuk "menggoyang' Ahok, namun
tidak berhasil karena kinerja Ahok yang cukup positif mendapatkan dukungan
warga muslim.
Namun, "momentum emas" tiba ketika Ahok mengutip surat
Al Maidah ayat 51 dalam sebuah dialog dengan warga Kepulauan Seribu pada 26
September 2016, yang lantas menyeretnya ke meja hijau dengan dakwaan menista
Islam. Momentum itu dimanfaatkan untuk mengempur Ahok dari segala sisi hingga
akhirnya Ahok kalah dalam Pilkada DKI Jakarta pada 19 April 2017.
Ahok dan kasus Ahok, seakan menjadi "bola liar" bagi
pemerintahan Jokowi. Energi bangsa ini banyak tercurahkan untuk mengelola
konflik dan gejolak sosial berbasis SARA yang entah kapan akan berakhir.
Menurut Allan Nairn (2017), gerakan-gerakan kontra Ahok hanyalah tujuan
antara sebelum sampai pada akhir yaitu terjungkalnya pemerintahan Jokowi.
Dengan latar belakang peristiwa di atas, apakah kebijakan
Presiden Jokowi untuk membubarkan "ormas radikal" bisa dibenarkan?
Apakah pembubaran itu akan menyurutkan "gerakan" yang berpotensi
merongrong pemerintahannya? Ataukah justru bisa menjadi bumerang bagi
pemerintah?
Salah Siapa?
Untuk membubarkan ormas, tentu ada mekanismenya. Bagi ormas yang
terdaftar secara resmi di badan-badan pemerintahan, misalnya Kemendagri,
pembubarannya harus melalui keputusan Mendagri setelah ada putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap. Bagi ormas yang tidak terdaftar, tentu menjadi
persoalan jika pemerintah atau pengadilan membubarkannya. Apa yang hendak
dibubarkan la wong ormas yang bersangkutan tidak pernah eksis secara
administrasi negara?
Bagi ormas semacam itu, tentu harus ada perlakuan dan cara
khusus karena secara de facto mereka ada di tengah dan mendapatkan legitimasi
dari masyarakat, walaupun de jure tidak ada dalam database negara.
Ormas-ormas ini juga secara langsung "diakui" oleh pemerintah
karena mungkin pernah diundang atau dimintai pendapat dalam konteks peristiwa
tertentu.
Jika lantas ormas-ormas itu berkembang dan mendapatkan momentum
untuk hadir dan bangkit, siapa yang salah? Mengapa pemerintah khususnya
penegak hukum tidak mengatur mereka dari awal? Tentu tidak adil jika ormas
itu lantas dibubarkan dengan sewenang-wenang.
Prinsipnya, pemerintah tidak boleh melarang setiap orang untuk
berserikat dan berkumpul untuk maksud-maksud damai. Demikian penegasan Pasal
24 ayat 1 Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia.
Melarang, Bukan Membubarkan
Pasal 21 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik
menegaskan bahwa hak untuk berkumpul secara damai harus diakui. Lebih lanjut,
tidak ada pembatasan yang dapat dikenakan terhadap pelaksanaan hak ini
kecuali yang ditentukan sesuai dengan hukum, dan yang diperlukan dalam suatu
masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik,
atau ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan atau moral umum, atau
perlindungan atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain.
Dengan demikian, pemerintah tidak bisa membubarkan ormas-ormas
yang diindikasikan radikal secara sewenang-wenang. Yang bisa dilakukan adalah
melarang faham, ideologi, atau aliran yang tidak sesuai dengan falsafah dasar
negara yaitu Pancasila dan UUD 1945. Dengan hanya dibubarkan, ormas hanya
butuh berganti "kulit" saja
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Nomor
82/PUU-XI/2013 yang menguji Pasal 5 UU Nomor 17/2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan, ormas dapat secara bebas menentukan tujuannya dengan syarat
tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Menurut MK, berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan
berserikat, meskipun suatu ormas tidak mendaftarkan diri pada instansi
pemerintah yang berwenang, pemerintah tidak dapat menetapkan ormas tersebut
sebagai ormas terlarang atau melarang kegiatan ormas tersebut sepanjang tidak
melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau melakukan
pelanggaran hukum.
Dengan kebijakan melarang, bukan membubarkan, maka otomatis
segala bentuk ormas yang memakai dan menyebarkan faham atau ideologi selain
Pancasila dan UUD 1945, tidak bisa lagi beroperasi ataupun bisa ditindak
menurut ketentuan hukum yang berlaku.
Larangan atas faham dan ideologi radikal itu harus ditegaskan
oleh Presiden dan diuraikan dalam koridor regulasi dan kebijakan yang tegas,
jelas, dan tidak diskriminatif, agar mampu menjadi ketentuan hukum yang
berkepastian sehingga bisa ditegakkan, berkeadilan dan menghormati prinsip
dan norma hak asasi manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar