Kontroversi
Vonis Ahok
Hariman Satria ; Kandidat
Doktor Ilmu Hukum UGM;
Pengajar Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Kendari
|
DETIKNEWS, 10 Mei 2017
Apa saja yang kita bicarakan tentang Basuki Tjahaja Purnama
alias Ahok selalu memantik kontroversi. Banyak yang suka tapi tidak sedikit
pula yang membencinya. Yang mencela dan membela Ahok jumlahnya berimbang
–hampir sama. Karena itu kata "kontroversi" bisa mewakili ekspresi
kita terhadap sosok Ahok.
Proses peradilan terhadap Ahok pun tak lepas dari kontroversi.
Sejak ditetapkan sebagai tersangka pelaku penodaan agama, perbedaan pendapat
di kalangan ahli hukum dan ahli agama terbelah cukup tajam. Banyak pihak yang
mengatakan bahwa Ahok telah melakukan penodaan agama. Tapi, tidak sedikit
orang yang membelanya sembari menyatakan bahwa Ahok tidak menodai agama.
Kontroversi kemudian berlanjut saat pembacaan tuntutan di
Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Jaksa Penuntut Umum (JPU), alih-alih
menuntut Ahok dengan Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama sebagai dakwaan
primer, malah menuntut Ahok dengan tuduhan melanggar Pasal 156 KUHP sebagai
dakwaan alternatif pertama. Yang mengagetkan kita justru vonis hakim yang
berbanding terbalik dengan tuntutan JPU.
Majelis hakim justru menerapkan Pasal 156a KUHP dalam
putusannya. Ahok pun divonis 2 tahun penjara, dengan perintah dilakukan
penahanan. Bagaimanakah potret hukum atas putusan Ahok tersebut?
Negara Absen
Bila kita berdiri dalam posisi yang netral dan membaca dengan
saksama Penetapan Presiden No.1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, kita akan menyadari bahwa ada proses
yang terlewatkan ketika Ahok ditersangkakan, terlebih lagi divonis bersalah
di pengadilan.
Pada Pasal 2 ayat (1) peraturan a quo, disebutkan bahwa barang
siapa yang melakukan penodaan agama maka diberi peringatan keras untuk
menghentikan perbuatannya itu, dalam satu keputusan bersama Menteri Agama,
Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Pada Pasal 3 ditegaskan bahwa jika
ketentuan pada Pasal 2 ayat (1) tidak diindahkan maka pelaku dipidana penjara
selama-lamanya 5 tahun.
Merujuk pada peraturan ini bayangan saya adalah bahwa jika ada
orang yang melakukan penodaan agama maka hal yang paling utama adalah diberi
peringatan oleh Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri, dalam
bentuk surat keputusan bersama. Jika ia kemudian tidak mengindahkannya maka
orang tersebut dipidana.
Itu artinya ketentuan a quo sesungguhnya lebih mengutamakan
tindakan preventif atau pencegahan ketimbang tindakan represif. Hal ini
sejalan dengan filsafat pemidanaan: nemo prudens punit, quia peccatum, sed ne
peccetur; artinya seorang bijak tidak menghukum karena dilakukannya dosa,
melainkan agar tidak lagi terjadi dosa.
Apalagi secara normatif karakter penodaan agama berbeda dengan
tindak pidana pada umumnya. Tidak ada kerugian individu secara langsung atas
penodaan agama, kecuali terganggungnya ketertiban dalam beribadah dan
bermasyarakat. Atas dasar itulah negara mesti memberi teguran terlebih dahulu
sebelum diproses hukum.
Dalam kasus Ahok, ia sama sekali tidak diberi peringatan keras
oleh negara melalui Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Karena itu proses hukumnya sesungguhnya contradictio
interminis dengan peraturan a quo. Sehingga tidak memenuhi prinsip rule
of law. Dengan tidak adanya peringatan keras maka menunjukkan bahwa negara
tidak hadir alias absen dari proses hukum yang dialami Ahok.
Substansi Vonis
Paling tidak ada tiga pertimbangan majelis hakim yang
kontradiktif. Pertama, majelis hakim memvonis Ahok 2 tahun penjara dengan
berpedoman pada Pasal 156a KUHP. Sebelum diputus, Ahok telah dituntut oleh
JPU dengan Pasal 156 KUHP berupa pidana penjara 1 tahun, masa percobaan 2
tahun.
Meskipun pada dakwaannya JPU menggunakan dakwaan alternatif yang
menempatkan Pasal 156a KUHP sebagai dakwaan utama dan 156 sebagai dakwaan
alternatif pertama, tapi dalam tuntutannya JPU malah menuntut Ahok dengan
Pasal 156 KUHP. Itu artinya JPU sangat mahfum, bahwa ia tidak memiliki bukti
yang memadai untuk menuntut Ahok dengan pasal penodaan agama.
Tegasnya, dakwaan penodaan agama dalam perspektif JPU tidak akan
terbukti sehingga dialihkan pada dakwaan alternatif pertama yakni Pasal 156
KUHP. Lalu mengapa majelis hakim justru memvonis Ahok dengan Pasal 156a KUHP?
Saya membayangkan bahwa kelihatannya majelis hakim menggunakan
bukti pidato Ahok yang menyinggung Surat Al Maidah di Kepulauan Seribu
sebagai alat bukti utama, kemudian dikuatkan dengan alat bukti keterangan
ahli dari JPU. Padahal ada friksi yang sangat tajam antara pendapat ahli JPU
dengan ahli dari terdakwa.
Selain itu, menunjukkan bahwa majelis hakim justru secara
diam-diam berusaha mengkonstruksi alat bukti sendiri, yang mana JPU malah
sudah tidak yakin dengan alat bukti yang diajukannya.
Inilah yang pernah saya katakan bahwa sulit melihat hukum
berjalan tegak dalam kasus Ahok. Ia akan berkelindan dengan intervensi
politik dan kekuasaan.
Kedua, pertimbangan yang memberatkan Ahok bahwa ia sebagai
gubernur seharusnya tidak melakukan penodaan agama. Pertimbangan ini
kelihatannya agak sumir dalam konteks tindak pidana penodaan agama.
Justru seharusnya yang menjadi pertimbangan hakim adalah karena
Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta yang sudah berkontribusi dan berprestasi
membangun ibukota, maka ini menjadi alasan yang meringankan —bukan malah
memberatkan.
Pertimbangan majelis hakim tersebut akan sangat tepat digunakan
bila memutus tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crimes. Artinya pejabat publiknya tidak amanah
–merampok uang negara sehingga mesti menjadi alasan yang memberatkan.
Ketiga, majelis hakim memerintahkan agar terdakwa ditahan.
Secara kasat mata kita dapat melihat bahwa Ahok begitu kooperatif dan sopan
saat menghadiri persidangan. Karena itu pada tahap penyidikan dan penuntutan
ia tidak ditahan. Lalu mengapa sekarang harus ditahan?
Saya berpendapat seharusnya Ahok tak perlu ditahan sebab ia
pejabat publik yang sulit untuk melarikan diri, merusak atau menghilangkan
barang bukti apalagi mengulangi tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Apalagi perkaranya belum berkekuatan hukum tetap
sehingga belum saatnya ia ditahan.
Terakhir yang ingin saya tegaskan adalah bahwa tulisan ini tidak
ditujukan untuk membela Ahok. Melainkan, sebagai refleksi agar tidak terjadi
proses hukum yang serupa di masa yang akan datang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar