Kembali
ke Republik
Robertus Robet ; Sosiolog
di Universitas Negeri Jakarta
|
KOMPAS, 15 Mei 2017
Selama ini
diskursus kebangsaan selalu dipusatkan pada dasar negara. Tentu saja ini hal
yang sangat fundamental. Namun, diskursus mengenai bentuk negara juga sangat
penting untuk dikemukakan kembali.
Bentuk negara
kita adalah republik. Kita adalah warga republik! Apa arti republik di situ?
Bagaimana gagasan republik terbentuk hingga menjadi kesepakatan di antara
para pendiri bangsa? Apa konsekuensi-konsekuensinya bagi kehidupan kita
sebagai bangsa danbagi kelestarian demokrasi kita?
Ide republik: perdebatan panjang
Dalam sejarah
ide politik di Indonesia, kemunculan ide republik memang bisa ditelusuri pada
teks-teks yang dikemukakan Tan Malaka, Hatta, dan Soekarno. Namun, ide
republik sebagai nama negara baru muncul dalam sidang Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Penyebutannya untuk pertama kali disampaikan
dalam Masa Sidang Pertama Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha-oesaha Persiapan
Kemerdekaan tanggal 28 Mei-1 Juni 1945. Pada tanggal 29 Mei 1945, untuk
pertama kalinya, M Yamin menyampaikan gagasan republik. Ia mengutarakan suatu
prinsip yang dalam dokumen BPUPK itu ditulis sebagai ”Negara Rakyat Indonesia: Republik; Negara Kesatuan, Faham
Unitarisme”. Mengenai makna dari negara rakyat dan republik ini, Yamin
menjelaskannya sebagai ”bukan negara
golongan, negara angkatan atas, atau negara bangsawan” (AB Kusuma,
halaman 98-99).
Pendapat Yamin
ini kemudian sempat dimentahkan oleh Soemitro yang menyampaikan pandangan
bahwa kerajaan atau republik belum penting diputuskan, yang penting
kemerdekaan saja dulu (AB Kusuma, halaman 100).
Setelah
pandangan Soemitro, dalam sidang hari ketiga tanggal 31 Mei 1945, Soepomo yang
berbicara setelah Abdul Kadir mengenai dasar negara menyampaikan pandangan
mengenai republik sebagai berikut: ”Menurut hemat saya soal republik atau
monarchie itu tidak mengenai dasar susunan pemerintahan. Yang penting ialah,
hendaknya Kepala Negara, bahkan semua badan pemerintahan mempunyai sifat pemimpin
negara dan rakyat seluruhnya” (AB Kusuma, halaman 131). Di sini Soepomo tidak
mengambil sikap tegas untuk memilih republik atau bukan.
Setelah
Soepomo, pada tanggal 1 Juni, dalam Rapat Besar, giliran Soekarno
menyampaikan pandangannya. Respons dan sikap Soekarno mengenai republikanisme
terdapat dalam pikirannya mengenai ”prinsip keempat, yaitu prinsip
kesejahteraan”. Ia memulai prinsip kesejahteraan dengan kritik terhadap
kapitalisme, yang dilanjutkan dengan penjelasan mengenai badan perwakilan rakyat
dan demokrasi.
Dari kritik
terhadap demokrasi, ia kemudian melanjutkan pandangan sebagai berikut: ”Juga di dalam urusan Kepala Negara, saya
terus terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa sebab? Oleh karena
monarchie ’vooronderstelt effelijkheid’, turun-temurun. Saya orang Islam,
saya democrat karena saya orang Islam, saya menghendaki mufakat, maka saya
minta supaya tiap-tiap Kepala Negara pun dipilih. Tidakkah agama Islam
mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun Amirul mu’minin, harus
dipilih rakyat?” (AB Kusuma, halaman 163).
Setelah pidato
Soekarno itu, selama masa reses yang ditetapkan antara tanggal 2 Juni hingga
9 Juli 1945, telah dikumpulkan usul-usul para anggota BPUPK yang meliputi
masalah-masalah yang digolongkan ke dalam 12 pokok utama sebagai berikut: (1)
Indonesia merdeka selekas-lekasnya; (2) dasar negara; (3) bentuk negara uni
atau federasi; (4) daerah negara Indonesia; (5) badan perwakilan rakyat; (6)
badan penasihat; (7) bentuk negara dan kepala negara; (8) soal pembelaan; (9)
soal keuangan; (10) mengenai warga negara [belum ditemukan]; (11) mengenai
daerah [belum ditemukan]; dan (12) mengenai agama dan negara [belum
ditemukan].
Selanjutnya,
pada tanggal 10 Juli 1945 dalam sidang pembahasan bentuk negara, Soekarno selaku
ketua berbicara mewakili Panitia Kecil yang beranggotakan Moh Hatta, Muh
Yamin, Soebardjo, Maramis, Moezakir, Wachid Hasjim, Soekarno, Abikoesno
Tjokrosoejoso, dan Haji Agus Salim menyampaikan usul rancangan pembukaan UUD.
Dalam hasil rumusan Panitia Kecil itu, ide republik pada akhirnya diterima
sebagai bentuk negara. Preambul dalam laporan Soekarno itu menyatakan, ”…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam
suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat…”(AB
Kusuma, halaman 214).
Meski
demikian, rumusan Panitia Kecil mengenai republik rupanya tidak dengan
serta-merta diterima oleh semua pihak. Dalam sidang itu, perdebatan ide
tentang republik muncul dan justru mengambil waktu yang paling banyak
dibandingkan dengan perdebatan mengenai soal-soal lain. Kerumitan dan
perdebatan serta penolakan sejumlah orang terhadap ide republik ini cukup
mengherankan mengingat bahwa dalam suasana sehari-hari, ide republik sebenarnya
telah diterima sebagai semacam platform perlawanan terhadap kolonial. Menolak
republik mestinya, secara logis, menguntungkan pandangan kolonial.
Salah satu
tokoh yang memulai memunculkan penentangan terhadap ide republik adalah
Wongsonagoro. Wangsonagoro berdalih bahwa keputusan BPUPK ini belumlah
keputusan final karena pada saatnyamengenai susunan negara, mengenai republik
atau bukan, itu bergantung pada apa yang disebutnya dengan ”inde laatste en hoogste instantie pada
votum rakyat”. Lebih jauh ia mengatakan: ”…Tuan ketua, janganlah, bilamana kami menerima dan membaca usul dari
panitia ini, kita dapat menyetujui 100%. Akan tetapi, ada perkataan satu yang
di situlah kami yakin bahwa itu barangkali, barangkali dapat menentang
perasaan rakyat, yaitu tentang republik…. usul saya memakai perkataan kepala
atau wali negara… karena republik bukan bahasa Indonesia…” (AB Kusuma,
halaman 221).
Kurang begitu
jelas apa argumen Wongsonagoro sehingga meminta menunda penggunaan kata
republik, selain bahwa kata itu bukan berasal dari Indonesia. Tanggapan
Wongsonagoro ditentang Ki Bagoes Hadikoesomo. Ki Bagoes mengatakan, apabila
memang Wongsonagoro tidak setuju dengan kata republik, maka ”Gambarkan saja
apa yang tuan sukai, yaitu dikepalai seorang yang tidak turun-temurun dan
dimufakati oleh rakyat dan negara itu perintahnya berdasarkan rakyat.” Yang
menarik, sesudah menyampaikan pandangan itu, Ki Bagoes Hadikoesomo
menjelaskan makna republik itu sebagai berikut: ”Adapun nama itu, ahli bahasa
itu arti di dalam bahasa Indonesianya itu rupanya dengan singkat juga dapat,
ialah ’daulat rakyat’. Kalau tidak suka cari yang lain…” (AB Kusuma, halaman
223).
Pandangan dan
istilah ”daulat rakyat” yang diajukan Ki Bagoes inisama dengan pandangan yang
sering dikemukakan Hatta. Setelah Ki Bagoes, Yamin kemudian menyampaikan
pandangannya. Ia berkeberatan dengan pikiran untuk menunda menyusun dan
menetapkan bentuk negara. Menurut dia, negara yang tidak berbentuk akan
diperintah oleh pemerintahan sementara. Negara yang tidak menyatakan bentuk
juga mengalami status yang kabur. Implisit dalam pikiran Yamin bisa
ditafsirkan bahwa penundaan bentuk negara merupakan keberatan dari mereka
yang masih menghendaki monarki.
Yamin kemudian
menegaskan sesuatu yang belum pernah disampaikan olehtokoh lain ketika ia
menyatakan bahwa republik adalah bentuk yang sempurna (AB Kusuma, halaman
228). Setelah menyatakan pandangannya mengenai mengapa menentang monarki,
Yamin menjelaskan secara lebih terperinci dan mengagumkan mengapa Indonesia mesti
memilih republik, yakni: ”Pertama-tama sekali saya yakin bahwa rakyat
Indonesia hendak berrepublik dan republiklah yang memberi jiwa kepada bangsa
Indonesia dan tidak sekali-sekali bentuk lain. Kedua, yaitu saya sebagai
nasionalis, yang hendak mengeluarkan perasaan rakyat terhadap Tuhan Yang Maha
Kuasa, yaitu memerintahkan supaya negara itu dijalankan secara syuriah atau
perundingan, seperti pembagian kekuasaan, dan hal itu dapat dibentuk dalam
suatu negara yang tersusun dalam bentuk republik dikepalai oleh negara yang
dipilih oleh badan permusyawaratan rakyat. Ketiga, negara kita didirikan
tidaklah hanya menurut syarat kebangsaan dan kemauan rakyat dan menurut
perintah agama, melainkan juga untuk mencukupi syarat-syarat dunia
internasional…”(AB Kusuma, halaman 228).
Dalam
keyakinannya akan republik, Yamin pada dasarnya menyampaikan pentingnya
legitimasi dalam bentuk negara. Bahwa, setelah munculnya kemerdekaan, monarki
sudah pasti akan mengalami masalah dalam legitimasi. Pemerintahan yang
berbasis pada kedaulatan rakyatlah yang memiliki legitimasi yang kuat. Yang
kedua, monarki melahirkan dinasti, dinasti bertentangan dengan sifat-sifat
kemerdekaan rakyat. Di sini Yamin menyiratkan pandangan republikan klasik
mengenai pemerintahan yang berbasis pada otonomi dan kedaulatan.
Jaga dan perkaya warisan itu
Setelah
pandangan Yamin, beberapa tokoh menyampaikan pandangannya, tetapi tidak
secara khusus menyinggung soal republik.Setelah semua selesai, Ketua BPUPK
Radjiman kemudian memutuskan untuk mengadakan pemilihan tentang bentuk
republik dengan opsi, yaitu republik atau kerajaan atau lainnya.
Yamin
menyatakan persetujuan untuk dilakukan pengundian. Ia bahkan mengusulkan agar
pengundian itu tidak dengan tulisan tertutup, melainkan dengan ”keterangan
mulut apa yang disukai orang dengan tidak malu-malu” (voting terbuka).
Radjiman akhirnya memutuskan untuk menggunakan stem (voting tertutup): siapa
memilih apa menulis di secarik kertas. Melihat betapa penting keputusan hari
itu, Moezakirmengusulkan pengambilan keputusan didahului dengan mengheningkan
cipta, ”supaya jangan hati kita dipengaruhi oleh suatu hal yang tidak suci”.
Dari situ Ki Bagoes diminta membacakan doa Fatihah.
Hasilnya,
Dasaad melaporkan bahwa: ”Terdapat 64 stem. Sudah dipilih Republik 55 stem, 6
kerajaan, dan lain-lain 2 dan 1 blangko saja”.Setelah laporan Dasaad,
Soekarno bertanya: ”Jadi putusan Panitia itu republik?” Menjawab Soekarno,
Radjiman menyatakan:”Ini sudah terang Republik yang dipilih dengan suara
terbanyak” (AB Kusuma, halaman 238). Sejak itu, republik resmi menjadi nama
negara.
Demikianlah
negara Republik Indonesia itu terbentuk. Ia diputuskan dalam mekanisme
demokratis yang sangat modern, yakni sistem stem atau voting tertutup.
Republik dipilih dalam dua kepentingan, yakni sebagai sikap penolakan
terhadap pemerintahan kerajaan kolonial sekaligus sebagai sarana bagi
kedaulatan rakyat. Dengan itu, jelaslah bahwa sedari awal pendirian Indonesia
merdeka memang diarahkan kepada satu bentuk negara demokratis modern.
Demokrasi, kedaulatan rakyat adalah skema dasar yang dikehendaki oleh para
pendiri bangsa untuk Indonesia merdeka. Tugas kita menjaga dan memperkaya
warisan ini, jangan merusaknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar