Involusi
Makna Toleransi
Syafiq Hasyim ; Direktur
International Center for Islam and Pluralism (ICIP); Mendapat Gelar Dr Phil
dari Freie Universitaet, Berlin, Jerman
|
KOMPAS, 15 Mei 2017
Ada gejala
baru di Indonesia tentang pemaknaan toleransi dan intoleransi dalam lima
tahun terakhir. Gejala baru itu
terlihat dari ungkapan-ungkapan di media sosial agar tindakan radikalisme dan
ekstremisme diberi ruang karena itu bagian dari sikap toleran terhadap ajaran
dan keyakinan pihak lain. Sepanjang radikalisme dan ekstremisme itu bagian
dari agama, maka pihak agama lain harus bisa menerimanya. Pemaknaan toleransi
yang salah kaprah ini digunakan sebagai cara baru untuk menyerang orang-orang
yang kritis terhadap fenomena radikalisme dan ekstremisme berbasis agama.
Dalam perspektif
ini, kritis atas tindakan radikalisme dan ekstremisme keagamaan dianggap
sebagai tindakan intoleran.
Menariknya,
salah kaprah pemaknaan makna toleransi yang demikian ini tidak bisa dikatakan
sebagai ketidaktahuan, tetapi merupakan kejahilan yang disengaja (ignorance).
Artinya, pelabelan intoleran bagi kelompok yang kritis atas radikalisme dan
ekstremisme diyakini sebagai cara politik untuk meraih tujuan tertentu.
Buktinya, kaum terpelajar dan cerdik pandai yang melakukan pembalikan makna
toleransi tersebut.
Toleransi
Secara
sederhana, makna toleransi adalah rights to differ, hak untuk berbeda. Ruang
berbeda ini luas, tetapi biasanya terkait dengan soal keagamaan dan
keyakinan. Prinsipnya, seluruh manusia diberi free space untuk merayakan
perbedaan tersebut.
Dalam definisi
yang generik ini, pihak yang menolak hak untuk berbeda atau ruang kebebasan
bisa dikatakan sebagai orang yang intoleran. Pertanyaannya adalah apakah hak
berbeda itu mengenal batasnya? Apakah seluruh perbedaan harus kita maklumkan?
Lalu, apakah kita boleh asal beda dan sampai sejauh mana hal yang berbeda itu
dianggap intoleran.
Toleransi
adalah fenomena abad ke-16 dan ke-17 Masehi yang muncul di negara-negara
demokratis. Masa ini adalah periode dimulainya kejayaan kemanusiaan. Dalam banyak
negara, penghargaan terhadap toleransi memiliki ekuivalensi dengan kematangan
berdemokrasi. Semakin demokratis, maka semakin toleran dalam sikap dan
pemikiran keagamaan dan keyakinan.
Namun, terang
saja bahwa toleransi menghadapi ujiannya dalam bidang agama dan keyakinan.
Sebenarnya, ketegangan pemaknaan toleransi sudah lama, terutama terpengaruh
oleh hal politik (political). Perkembangan demokrasi menyebabkan pemaknaan
toleransi harus disesuaikan dengan konteks politik negara tertentu. Ukuran
negara-negara demokratis untuk toleransi adalah terwujudnya keadilan sosial
(social justice).
Parameter
modern ini mengganggu pemaknaan toleransi awal yang lebih dilatarbelakangi
oleh persoalan keagamaan di Eropa abad ke-16-17 Masehi. Dengan demikian,
ketegangan pemaknaan terjadi karena pihak agama menyatakan sesuatu dianggap
intoleran, tetapi pihak kemanusiaan bisa menganggap hal yang sebaliknya.
Artinya, toleransi dalam diktum agama bisa dipersepsi intoleran dalam diktum
kemanusiaan.
Seorang
filosof, Joel Roman (1999), mengatakan, toleransi bukanlah reign of
indifference (kedaulatan perbedaan), tetapi lebih merupakan kedaulatan
demokrasi, bukan moral posturing, tetapi lebih merupakan kontrak sipil yang
membutuhkan prosedur dan institusi. Ungkapan ini menghendaki jika toleransi
itu bukan perayaan perbedaan yang absolut dan tanpa batas, tetapi harus
memperhatikan unsur-unsur demokrasi. Dalam demokrasi, hal yang menjadi bagian
terpentingnya adalah keterwujudan kontrak sosial.
Namun, dalam
pengalaman banyak negara-bangsa, ketegangan pemaknaan atas toleransi baik
yang diakibatkan oleh interpretasi agama atau kemanusiaan bisa dicarikan
solusi lewat kerangka overlapping consensus (konsensus tumpang-tindih),
meminjam John Rawls (1999) yang mewujud dalam nasional negara-bangsa.
Di Indonesia,
konsensus tumpang-tindih mewujud dalam bentuk Pancasila dan UUD. Dalam
perspektif ini, Pancasila dan UUD sebagai sumber makna toleransi merupakan
hasil kesepakatan dari pelbagai kalangan agama dan etnis. Karena itu,
tindakan-tindakan yang berlebihan yang melawan semangat Pancasila dan UUD
bisa didefinisikan sebagai tindakan intoleran.
Radikalisme dan ekstremisme
Radikalisme
dan ekstremisme keagamaan jika belum diaktualkan dalam wilayah bersama
(public sphere) yang sudah menjadi kesepakatan sebetulnya masih berada dalam
wilayah perbedaan yang ditoleransi. Radikalisme dan ekstremisme bisa dianggap
intolerable, meminjam bahasa Paul Recour (Tolerance, Intolerance,
Intolerable, 1991), apabila sudah melanggar batas kesepakatan bersama yang
tertuang dalam Pancasila, UUD, dan peraturan turunannya.
Terlebih lagi
jika radikalisme dan ekstremisme tersebut mewujud dalam bentuk tindakan yang
anarkis dan kriminal.Radikalisme dan ekstremisme termasuk ke dalam kategori
tindakan intoleran karena prinsip toleransi tidak memberikan ruang pada
pembenaran ajaran sendiri yang merugikan atau melecehkan ajaran lain.Hukum
penodaan agama (blasphemy) pada dasarnya dilatarbelakangi oleh ide bahwa
semua agama, apa pun bentuknya, tidak boleh menghina agama yang lain. Pada
mulanya, tujuannya adalah mulia, tetapi hukum ini sering digunakan untuk alat
politik terutama bagi kelompok mayoritas.
Toleransi
tidak bisa menoleransi radikalisme dan ekstremisme karena keduanya melampaui
batas perbedaan yang telah disepakati oleh prinsip-prinsip toleransi, yakni
peaceful coexistence. Kehidupan yang saling mengada dengan damai inilah yang
menjadi alasan jika radikalisme dan ekstremisme tidak bisa diterima.
Radikalisme
dan ekstremisme mengajak ”orang dalam” untuk meniadakan kehidupan yang saling
damai yang melibatkan pihak lain. Bagi paham ini, kehidupan yang merujuk pada
doktrin tunggal adalah yang diperjuangkan oleh radikalisme dan ekstremisme
keagamaan. Selain itu, radikalisme dan ekstremisme memproduksi ketertutupan,
inferioritas, diskriminasi, ketidakamanan (insecurity), ketakutan-ketakutan,
dan kekerasan.
Orkestra kehidupan
Toleransi
adalah penjaga orkestra dan bukan sebagai peluruh (involusi) kehidupan.
Toleransi adalah sarana menuju pada seluruh bentuk kehidupan yang dinegasikan
oleh radikalisme dan ekstremisme. Toleransi bukan untuk merusak kehidupan,
tetapi untuk membangun dan menjaganya. Karena fungsinya sebagai penjaga
orkestra kehidupan, maka toleransi bukan sebatas ”hak” untuk berbeda saja,
tetapi juga merupakan ”kewajiban” untuk menghargai perbedaan-perbedaan yang
ada berdasarkan pada konsensus. Jika hanya sebatas pada hak untuk berbeda,
toleransi tidak menjadi orkestra, tetapi involusi kehidupan.
Apa yangkita
saksikan akhir-akhir ini, dengan dalih toleransi, satu pihak menekan pihak
lain yang berbeda untuk setuju dan membiarkan tindakan yang menggerus
Pancasila dan UUD. Tindakan yang demikian ini pada dasarnya adalah wujud dari
involusi toleransi itu sendiri. Untuk menghindarkan agar tidak terjadi
involusi toleransi, maka penjagaan yang disertai dengan penyegaran atas
ideologi bangsa terus dipupuk dan disiram.
Seluruh warga
negara memiliki kewajiban untuk menghindarkan gejala involusi toleransi dari
bangsa ini jika bangsa ini ingin bertahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar