Kebangsaan
Kita : Antara Inkorporasi dan Penceraian
I Basis Susilo ; Dosen Hubungan Internasional
FISIP
Universitas Airlangga, Surabaya
|
KOMPAS, 23 Mei 2017
Pada Peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang ke-109
tahun ini, kita—bangsa Indonesia—menghadapi ujian serius berupa gejala
peningkatan sikap intoleran, serta ancaman atas kebinekaan dan persatuan. Jika kita mampu mengatasi ujian saat ini,
kita akan lebih kuat sebagai bangsa. Namun, apabila kita gagal dalam ujian
ini, kebangsaan kita akan melemah. Padahal, negara-bangsa kita sejak dulu
sampai sekarang (dan apalagi masa depan) memerlukan kebangsaan yang kuat
untuk bisa eksis dan maju.
Inkorporasi (incorporation)
dan penceraian (disengagement)
adalah dua konsep yang bisa dan biasa dipakai untuk menjelaskan hubungan
antara masyarakat dan bangsa. Inkorporasi adalah proses penyatuan atau
peleburan masyarakat ke bangsa. Artinya, masyarakat menyatukan dan
menyubordinasikan diri ke dalam (dan demi kemajuan) bangsanya. Sementara
penceraian adalah proses penolakan dan pelepasan masyarakat dari bangsanya.
Penceraian bisa berlangsung dalam kategori tematik ataupun
operatif. Dikatakan tematik apabila penceraian itu menyasar ke tema, misalnya
menolak Pancasila. Dikatakan penceraian operatif apabila secara tematik tidak
menolak Pancasila, bahkan bisa jadi secara retorika menyatakan melaksanakan
Pancasila secara murni dan konsekuen, tetapi secara operatif tidak
melaksanakan seluruh nilai Pancasila, atau justru menggunakan Pancasila
sebagai alat belaka untuk mempertahankan kekuasaan. Penceraian secara
operatif berbahaya, penceraian secara tematik lebih berbahaya karena
mengganggu pilar-pilar negara-bangsa.
Proses inkorporasi
Dalam kita membangsa sejak 1908 hingga kini, dua proses
itu mewarnai sejarah kita, tetapi inkorporasi lebih dominan. Konsep
inkorporasi itulah yang jelas-jelas mendorong Douwes Dekker, Ki Hadjar
Dewantara, dan Tjipto Mangunkusumo mendirikan Indische Partij pada 1912. Konsep
inkorporasi juga menggerakkan Bung Hatta dan para mahasiswa Indonesia di
Belanda pada 1920-an mengampanyekan persatuan dalam kebangsaan.
Buktinya, Indonesische
Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) sejak 1923 secara tegas menyatakan: ”Tiap-tiap perpecahan tenaga-tenaga
Indonesia, dalam bentuk apa pun, ditentang sekeras-kerasnya, karena hanya
persatuan tenaga-tenaga putra Indonesia dapat mencapai tujuan bersama itu.
...Hanya suatu Indonesia yang merasa bersatu, dengan menyingkirkan
perbedaan-perbedaan golongan, dapat mematahkan kekuasaan penjajahan.”
Konsep inkorporasi itu juga yang menggerakkan para pemuda
Indonesia berkongres dan melahirkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 di
Jakarta. Pelbagai perkumpulan dan organisasi atas dasar teritorial ataupun
kategorial bersatu padu dan berinkorporasi ke dalam persatuan dan kebangsaan
kita.
Politik inkorporasi juga yang membuat Bung Karno gandrung
pada kesatuan dan persatuan bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Konsep inkorporasi terus menguat menyemangati perjuangan
anak-anak bangsa melawan penjajah baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan.
Konsep inkorporasi itu yang mendorong kenekatan hampir semua pendiri bangsa
kita berpolitik sehingga ditahan dan dibuang bertahun-tahun.
Keberanian anak-anak muda Indonesia melawan Jepang dan
Belanda untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan sepanjang 1940-an
adalah bukti inkorporasi ini.
Mengingat nationhood
is statehood-in-prospect, maka kebangsaan mewadahi negara-bangsa kita,
Republik Indonesia, yang berkonsensus pada empat pilar: Pancasila, UUD 1945,
kebinekaan, dan NKRI. Proses-proses inkorporasi kemudian dilakukan untuk
memelihara, menguatkan, dan mempertahankan pilar-pilar tersebut.
Kuatnya proses inkorporasi—sehingga menjadi kesadaran
kolektif dominan—disebabkan kuatnya harapan terhadap negara-bangsa sebagai
perisai dan pembebas dari kekuatan eksploitatif dari luar (penjajah) ataupun
dari dalam (feodalisme). Semua rakyat Indonesia menyadari hal ini, kecuali
beberapa yang gagal paham situasi sehingga mengutopiakan dan memperjuangkan
bentuk-bentuk lain, seperti komunisme atau kekhilafahan.
Penceraian setengah hati
Kendati inkorporasi menjadi kesadaran dominan bangsa kita,
proses penceraian juga ikut mewarnai sejarah kita. Konsep penceraian menggerakkan
upaya-upaya yang melemahkan negara-bangsa kita, seperti Pemberontakan PKI
Madiun 1948, DI/TII, PRRI/Permesta, Republik Maluku Selatan, G-30-S/PKI tahun
1965, dan lain-lainnya.
Semua upaya penceraian itu tidak berhasil karena dua
sebab. Pertama, dari dalam diri yang mencoba proses penceraian ada perasaan
setengah hati karena pada dasarnya kesadaran dominan bangsa kita adalah
inkorporasi, bukan penceraian. Umpamapun yang menggerakkan penceraian sepenuh
hati, tetapi tidak mudah mencari pendukung karena hanya akan ditanggapi
secara setengah hati.
Kedua, kapasitas negara-bangsa kita lebih kuat daripada
kapasitas mereka yang mencoba penceraian itu. Dan, kendati lambat,
konsolidasi negara-bangsa kita terus-menerus berlangsung. Saat ini
negara-bangsa kita punyakapasitas yang jauh lebih kuat dibandingkan 20 tahun
pertama negara-bangsa kita berdiri.
Bijak dan lugas
Atas dasar pemaparan di atas, kita masih punya alasan
optimistis menghadapi kekhawatiran menguatnya gerakan intoleran yang
memperjuangkan konsep khilafah di Indonesia, tetapi sekaligus kita diingatkan
untuk melakukan beberapa hal.
Pertama, kita mesti terus-menerus menjaga dan memelihara
konsep inkorporasi, terutama kepada generasi muda kita. Di lapangan, selama
ini memang ada upaya sosialisasi penceraian secara sistematis ke generasi
muda kita oleh para penggeraknya. Kalau kampanye konsep penceraian
terus-terus berlangsung, sementara kita lalai menyosialisasi konsep
inkorporasi ini, lambat laun konsep penceraian bisa menguat dan dominan di kemudian
hari.
Kedua, kita mesti menghindarkan diri dari proses
penceraian. Kendati secara tematik dan retorik setia pada negara-bangsa,
masih ada kemungkinan kita terlibat proses penceraian dalam kategori
operatif. Misalnya, korupsi atau menyalahgunakan kekuasaan, atau membiarkan
korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan terjadi.
Ketiga, kita mesti mendorong negara-bangsa, sesuai
kapasitas dan kewenangannya, untuk bersikap dan bertindak luas (luwes tetapi
tegas) dalam menghadapi gerakan maupun pelaku gerakan yang terindikasi
menjurus ke proses penceraian. Asal dilaksanakan secara bijak dan atas dasar
hukum dan aturan yang berlaku, negara-bangsa pasti bisa mengatasi masalah
yang dihadapi. Jika tidak, gerakan itu akan merasa ”mendapat angin” untuk
menggerakkan proses penceraiannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar