Kebangkitan
Keutamaan Budi
Yudi Latif ; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia
|
KOMPAS, 23 Mei 2017
Kebangkitan nasional tidaklah datang sebagai tiban, melainkan hasil usaha sadar
untuk belajar dan berjuang. Meminjam ungkapan Bung Karno, ”Hidup sesuatu bangsa tergantung dari
vrijheids-bewustzijn’, kesadaran
kemerdekaan-kebangkitan bangsa itu; tidak dari teknik; tidak dari industri;
tidak dari pabrik atau kapal terbang atau jalan aspal.” Dalam
mengusahakan kebangkitan kembali bangsa Indonesia di tengah era kebangkitan
Asia, kita bisa menjadikan pengalaman kebangkitan masa lalu sebagai kaca
benggala untuk memandang masa depan.
Dari manakah usaha kebangkitan nasional itu harus dimulai?
Dari kesadaran pentingnya keutamaan budi; budi utama. Belajar pada sejarah,
awal abad ke-20, kesadaran itu bukan hanya tecermin dari kelahiran Budi
Utomo, tetapi juga organisasi sezaman, seperti Jamiat Khair (perkumpulan
kebajikan budi) dan juga Tri Koro Dharmo (Tiga Tujuan Mulia: sakti, budi,
bakti). Singkat kata, budi pekerti (karakter) adalah tumpuan utama
kebangkitan dan kemajuan.
Karena masyarakat Indonesia merupakan masyarakat religius,
jalan menuju keutamaan budi itu bisa ditempuh dengan menguatkan dimensi
spiritual dan etika agama sebagai basis perwujudan akhlak mulia. Dalam kaitan
ini, ledakan spirit keagamaan yang membuncah belakangan ini hendaklah tidak
berhenti sekadar ekspresi amarah jalanan. Gairah keagamaan harus menyentuh
kedalaman yang lebih substantif: mempersoalkan basis etis-spiritualitas
kemajuan bangsa.
Dalam buku A Study
of History, sejarawan terkemuka Inggris, Arnold Toynbee, melakukan
pelacakan terhadap faktor kebangkitan dan kejatuhan sekitar dua puluhan
peradaban. Pada setiap kasus, Toynbee mengaitkan disintegrasi peradaban
dengan proses melemahnya visi spiritual peradaban tersebut. Singkat kata,
bangunan negara (dan peradaban) tanpa landasan transenden ibarat bangunan
istana pasir.
Studi Toynbee tersebut mengisyaratkan adanya hubungan yang
erat antara nilai-nilai spiritual keagamaan dengan kebangkitan bangsa dan
peradaban. Samuel Huntington dalam Who
Are We? menunjukkan hal menarik mengenai keberlangsungan Amerika Serikat
(AS) sebagai negara adikuasa dibandingkan dengan Uni Soviet. Di AS, urainya, ”Agama telah dan masih merupakan sesuatu
yang sentral, dan barangkali identitas yang paling sentral bagi bangsa
Amerika” (Huntington, 2004). Huntington juga menunjukkan (2006) bahwa
geografi peradaban yang mampu bertahan adalah geografi peradaban yang
berbasis keyakinan/ketuhanan. Dalam kaitan antara corak keagamaan dan
politik, Alexis de Tocqueville (1835/1998) dan Robert Putnam (2006) mewakili
para ahli yang menunjukkan peran nilai-nilai keagamaan dalam memengaruhi
demokrasi.
Memang, ada faktor budaya yang dipengaruhi oleh agama yang
menjadi rintangan bagi kemajuan. Akan tetapi, beberapa penelitian juga
menunjukkan bahwa faktor keyakinan memberikan kontribusi yang penting dalam
progres ekonomi dan demokrasi. Tentu saja, banyak faktor yang ikut memengaruhinya
sehingga dalam konteks mana agama menjadi rintangan dan dalam konteks mana
pula ia menjadi pendorong kemajuan merupakan hal yang harus dipertimbangkan.
Hendaklah disadari bahwa agama sebagai pedoman hidup
berkaitan dengan yang suci (sacred)
sedari awal memang mengandung kekuatan yang ambivalen: menakjubkan (enrapture) dan menghancurkan (annihilate). Kata ”sacred” (Latin: sacer) itu bisa berarti karunia atau kutukan, suci atau cercaan.
Modus beragama yang berhenti sebagai pemujaan lahiriah
formalisme peribadatan, tanpa kesanggupan menggali batiniah nilai spiritualitas
dan moralitas hanyalah berselancar di permukaan gelombang bahaya. Tanpa
menyelam di kedalaman pengalaman spiritual, keberagamaan menjadi mandul,
kering, dan keras. Tanpa daya-daya kontemplatif dan kemampuan berdamai dengan
misteri dan ketidakpastian, orang-orang beragama bisa memaksakan absolutisme
sebagai respons ketakutan atas kompleksitas kehidupan dunia, yang menimbulkan
penghancuran ke dalam dan ancaman keluar.
Banyak penyeru menekankan pentingnya ibadah sebagai cara
memerangi korupsi, tanpa menyadari bahwa pengamalan keagamaan yang salah
justru bisa menyuburkan korupsi. Bisa dikatakan, akar terdalam dari tindakan
korupsi adalah ”dusta terhadap agama” dengan peribadatan yang keliru. Al
Quran mengisyaratkan hal ini sebagai pangkal kecelakaan. ”Maka celakalah
orang-orang yang shalat; yang lalai dalam shalatnya; yang hanya pamer saja;
yang tidak memberikan pertolongan” (QS 107: 4-7).
Dalam Hikayat Florentin, Machiavelli menandai ”kota korup”
dengan sejumlah ciri, antara lain pemahaman keagamaan penduduk ”berdasarkan
kemalasan, bukan kesalehan”. Yang ia maksudkan adalah keagamaan yang
menekankan aspek formal dan ritual ketimbang pengembangan esensi ajaran.
Memuja ”insan pembual daripada insan pekerja”, memperindah tempat ibadah
daripada menolong yang papa. Modus keagamaan seperti ini, menurut dia,
”membuat orang tak lagi beramal saleh, yang mengantarkan penduduk menjadi
mangsa empuk tirani politik dan modal”.
Pemulihan krisis kehilangan basis kepercayaannya ketika
agama yang seharusnya membantu manusia untuk menyuburkan rasa kesucian, kasih
sayang, dan perawatan (khalifah) justru sering kali memantulkan rasa
keputusasaan dan kekerasan zaman dalam bentuk permusuhan dan penyingkiran.
Agama bisa memainkan penting dalam pemulihan krisis
sekiranya persoalan agama tidak berhenti pada apa yang kita percaya,
melainkan pada apa yang kita perbuat. Untuk itu, agama tidak perlu
meninggalkan kepercayaan dan ritualnya, tetapi perlu lebih menekankan
pentingnya visi spiritualitas dan komitmen etis di jantung keagamaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar