Kampus
dan Pembangunan Ekonomi
Candra Fajri Ananda ; Dekan
dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
|
KORAN
SINDO, 08
Mei 2017
PERJALANAN kehidupan kampus/perguruan tinggi di Indonesia
memiliki keterkaitan kuat dengan proses pembangunan. Jika kita flashback
sejenak dengan memori kebangkitan nasional, 20 Mei 1908 yang kemudian
diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, didasari oleh berdirinya
organisasi pergerakan pribumi pertama di Indonesia, Boedi Oetomo.
Boedi Oetomo terlahir atas prakarsa para penggiat/alumni The
School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), kampus untuk pendidikan
dokter pribumi di Batavia (Jakarta). Pendirian Boedi Oetomo kemudian mampu
menginspirasi pembentukan kelompok-kelompok perjuangan pribumi lainnya.
Hal yang menarik di sini, gerakan kesadaran akan nasib kaum-kaum
terjajah dan tertindas yang diinisiasi lulusan kampus, mampu mewarnai proses
pembangunan dan kemerdekaan yang jauh lebih masif. Maka sewajarnya jika
pusaka kemerdekaan ini mampu dibudidayakan secara kontinu oleh para penggiat
kampus di masa kini.
Aktivitas kampus sangat dipengaruhi oleh konsep Tri Dharma
Perguruan Tinggi, meliputi kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian
masyarakat. Dari ketiga poin tersebut sudah tampak jelas, kontribusi
perguruan tinggi sangat diharapkan terlibat aktif di dalam proses pembangunan
nasional saat ini dan masa mendatang. Nah, sekarang mari kita cermati
bagaimana perkembangan dunia kampus di era milenial saat ini.
Kampus sangat dicirikan secara mentereng oleh masyarakat sebagai
gudang utama yang menyediakan inovasi. Sumber utamanya tentu berasal dari
aktivitas penelitian yang umumnya mengkaji permasalahan dan jalan keluar
(solusi) dalam setiap lapis kebijakan.
Sebagai contoh di Kota Malang, kini kita dapat menikmati aneka
ragam keripik buah-buahan yang diproses melalui vacuum frying. Alat ini
berhasil diciptakan oleh seorang akademisi dari Universitas Brawijaya yang
dimanfaatkan UMKM untuk menciptakan produk-produk baru.
Inovasi-inovasi semacam inilah yang sangat diharapkan turut
meningkatkan daya saing daerah dan nasional. Namun jika menilik kembali
peringkat daya saing Indonesia secara makro, kita masih tercecer di deretan
papan tengah dunia.
Kita cenderung masih di bawah negara-negara tetangga seperti
Singapura, Malaysia, dan Thailand, yang sangat loyal mendorong
penemuan-penemuan penting yang mendukung daya saing negaranya. Berdasarkan jumlah
publikasi ilmiah, negara kita menduduki peringkat keempat tertinggi di ASEAN.
Jumlah publikasi kita masih di kisaran 10.054 riset, di bawah
Malaysia yang menghasilkan sekitar 25.000 riset per tahun, Singapura (18.000
riset), dan Thailand (12.000-13.000 riset).
Salah satu penghambatnya karena orientasi riset tidak didukung
oleh kebijakan insentif yang mendorong (facilitative policy) masyarakat
kampus berlomba membuat riset berkualitas. Sebagian lagi hasil riset juga
kurang marketable karena cenderung sulit diterapkan.
Hasil-hasil dari riset
tersebut seharusnya diimplementasikan ke masyarakat melalui kegiatan
pendampingan dan pemberdayaan masyarakat, agar aktivitas sosial-ekonomi
masyarakat berjalan jauh lebih efektif dan efisien.
Beberapa penemuan penting sudah diterapkan di sektor pertanian
dan industri. Selain sebagai penopang pembangunan, kampus juga dijadikan
sebagai ajang pencetak SDM unggulan bagi dunia kerja. Namun pada
kenyataannya, output (lulusan) perguruan tinggi justru bertindak sebaliknya,
dengan semakin berkontribusi terhadap peningkatan pengangguran terbuka di
Indonesia.
Menurut data Badan Pusat Statistik (2016), lulusan program
diploma dan sarjana yang terserap di dunia kerja sebanyak 14,57 juta orang
yang setara dengan 12,24% dari total pekerja di Indonesia. Sementara yang
gagal terserap alias menjadi pengangguran, jumlahnya mencapai 787.000 orang
yang setara dengan 11,19% dari total pengangguran terbuka.
“Prestasi” ini menjadi
sebuah tamparan tersendiri bagi kita semua karena trennya cenderung
meningkat. Awal 2013, kontribusi kampus terhadap tingkat pengangguran baru di
kisaran angka 8,59%. Jikalau proses pengelolaannya masih cenderung statis
maka dapat diperkirakan kontribusinya akan terus meningkat, karena pemerintah
sendiri juga semakin giat menambah kuota jumlah mahasiswa.
Menurut catatan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi (Kemenristek-Dikti), untuk saat ini jumlah perguruan tinggi sudah
mencapai 3.221 unit di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut belum termasuk
dengan 1.020 perguruan tinggi agama yang tersebar di seluruh provinsi.
Rata-rata lulusan perguruan tinggi di berbagai tingkatan sudah
mencapai hingga 750.000 per tahun. Padahal, tingkat penyerapan tenaga kerja
di Indonesia cenderung tidak progresif. Dari catatan BPS, jumlah penduduk
yang bekerja antara Agustus 2015 terhadap Agustus 2016 (yoy) meningkat 3,59
juta orang dari semula 114,84 juta orang menjadi 118,41 juta orang.
Namun, tingkat penganggurannya hanya turun 530.000 (0,57%) dari
sebelumnya 7,56 juta orang (6,18%) menjadi 7,03 juta orang (5,61%).
Angka-angka tersebut sudah cukup menggambarkan sebuah tantangan terstruktur
bagi pengelola perguruan tinggi di Indonesia. Karena kompetensi lulusannya
harus betul-betul terkorelasi dengan kebutuhan dan persaingan dunia kerja di
tingkat lokal dan internasional.
Hal yang tak kalah penting, lulusan perguruan tinggi sedianya
juga harus membantu menggerakkan pertumbuhan lapangan kerja di Indonesia
melalui karya-karya kewirausahaan. Mindset para mahasiswanya perlu
“diintervensi” agar alokasi antara job seeker dan job creator bisa
mengimbangi dinamika dunia kerja.
Apalagi, bonus demografi sudah menanti Indonesia dan perkirakan
terjadi pada 2020 nanti. Output seperti inilah yang betul-betul diharapkan
sebagai pengejawantahan karya pengabdian masyarakat yang paling ideal,
ditambahkan juga dengan karya-karya inovatif yang mampu mendorong
perekonomian agar semakin terbuka dan berjalan efisien.
Penulis menyusun beberapa pemikiran kritis, agar ke depannya
kinerja layanan kampus dapat semakin berkembang dan bermanfaat.
Pertama, kampus perlu menjaga marwahnya sebagai pencetak SDM
unggul dan penopang inovasi terapan bagi masyarakat. Jalan penghubungnya,
kampus perlu lebih akurat menangkap kompetensi SDM dan inovasi yang
dibutuhkan masyarakat.
Skema kerja sama kampus dengan sektor swasta perlu diperkuat.
Bahkan untuk saat ini Kemenristek-Dikti telah memberikan kelonggaran bagi
kampus yang berharap mendapat status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum
(PTNBH). Salah satu keuntungannya dari adanya status PTNBH itu sendiri, konon
diyakini mampu memberikan kebebasan para ilmuwan dalam melakukan dan
menghasilkan sebuah temuan atau riset berbasis ilmiah.
Kedua, pengembangan melalui skema otonomi kampus perlu ditinjau
ulang agar tidak disorientasi. Skema PTNBH sebenarnya mengajak para punggawa
kampus untuk memulai jalan mandiri dan independen dalam hal pembiayaan hingga
pengembangan kurikulum dan program studi.
Ketika pengelolaan kampus akan digarap dengan open resources,
perlu ada jaminan yang utuh mengenai kesiapan para pengelolanya untuk
bertindak transparan dan sustainable. Namun, berkaca dari beberapa kampus
mancanegara lainnya, ada semacam kerancuan dan kerentanan mengenai hakikat
perubahan sistem kelembagaan dalam skema PTNBH.
Pemberian otonomi justru menyebabkan benturan antarpersonel
pengelola, apalagi jika unsur moral belum begitu kuat. Sehingga belum tentu
skema PTNBH, ataupun skema lainnya melalui pembentukan satuan kerja (satker)
dan badan layanan umum (BLU), menjamin layanan kampus menjadi semakin efektif
dan efisien.
Kita perlu menegaskan kembali bahwa tujuan pembentukan kampus
adalah menopang pembangunan. Fokus utama bagi kampus adalah tetap pada upaya
bagaimana agar mampu menciptakan lulusan yang bisa memenuhi standar kebutuhan
masyarakat.
Ketiga, pentingnya skema insentif fiskal kepada kampus-kampus
berprestasi. Sebagai perbandingan, negara-negara di Eropa memberikan subsidi
yang bejibun kepada kampus yang mampu menghasilkan pemenang hadiah Nobel
(Nobel Prize).
Unsur invensi (pembaruan) dan inovasi terus terdorong karena
disediakan penghargaan yang laik bagi para penemunya. Sementara di Amerika
Serikat, kampus-kampus yang didesain sangat independen dan “privat” banyak
menopang inovasi bagi sektor industri.
Model kerja sama seperti ini sangat dilegalkan dan menghadirkan
level keuntungan yang setara (simbiosis mutualisme). Kampus-kampus di
Indonesia dapat didorong untuk berperilaku yang sama agar pengembangannya
semakin terarah.
Nilai keunggulannya, selain mendongkrak kualitas dan daya saing
risetnya, SDM-nya (terutama dosen dan mahasiswa) bisa mengikuti perkembangan
dinamis di dalam sektor industri dan tenaga kerja.
Keempat, unsur moral juga harus diperkuat melalui lembaga
pendidikan. Contoh tindakan amoral yang pada akhirnya merongrong laju
pembangunan ialah kasus korupsi dan tindakan yang cenderung destruktif
terhadap kehidupan sosial.
Kita bisa melihat saat ini, lingkungan masyarakat yang menjadi
domisili para mahasiswa justru berkontribusi terhadap tindakan destruktif
sosial. Tindakan yang cenderung destruktif sosial akan berimbas negatif pada
visi dan misi mahasiswa ke depannya terhadap upaya pembangunan bangsa.
Belum lagi dengan kultur apatis yang membuat peran mahasiswa
menjadi kian lemah terhadap pengembangan kegiatan kemasyarakatan. Memang
belum tentu penyakit sosial ini bersifat endemik kepada seluruh mahasiswa.
Namun, gelagatnya semakin hari kian mengkhawatirkan.
Persoalan amoral akan melemahkan sendi-sendi perjuangan
mahasiswa yang dahulunya diwariskan untuk dilestarikan. Lebih ironisnya lagi,
menurut data Association of Fraud Examiners (ACFE; dalam KPK, 2015) sebanyak
75% pelaku fraud (termasuk tindak korupsi) di dunia merupakan lulusan
perguruan tinggi.
Kondisi di Indonesia bahkan lebih gila lagi dengan kontribusi
sebanyak 82%. KPK menjelaskan akar terjadinya korupsi di antaranya karena
faktor politik, hukum, ekonomi, organisasi, krisis identitas dan orientasi
kemanusiaan, kegagalan pendidikan, lemahnya kontrol dalam keluarga,
aktualisasi agama terlalu normatif, serta terjadinya proses transaksional
dalam aktivitas politik.
Dengan demikian, kita bisa melihat betapa penting peran kampus
dalam pembangunan, khususnya bagi negara kita ini. Pendidikan merupakan unsur
utama dalam mempersiapkan sumber daya andalan dalam menggapai Indonesia yang
lebih baik dan mulia di masa mendatang, wallahu’alam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar