HTI
Bubar, Akankah Transnasionalisme Berakhir?
Akh Muzakki ; Guru
Besar UIN Sunan Ampel Surabaya
|
JAWA
POS, 09
Mei 2017
PEMERINTAH melalui Menko Polhukam Wiranto akhirnya mengumumkan
rencana pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Alasannya ada tiga.
Pertama, HTI dianggap tidak mengambil peran positif untuk mengambil bagian
dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional. Kedua, kegiatan HTI
terindikasi kuat bertentangan dengan tujuan, asas, dan ciri yang berdasar
Pancasila dan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.
Ketiga, aktivitas HTI nyata telah menimbulkan benturan di masyarakat yang
pada gilirannya dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat serta
membahayakan keutuhan Indonesia.
eh kampanye
HTI atas konsep khilafah universal.
Memang pada era reformasi, muncul penguatan terhadap apa yang
bisa dikonsepsikan dengan istilah nasionalisme lintas batas (cross border
nationalism). Nasionalisme jenis itu melampaui batas-batas geografis
Indonesia serta batas-batas kewenangan administrasi yang berlaku di dalamnya (lihat:
Peter Mandaville, 2001). HTI menjadi bagian dari nasionalisme lintas batas
tersebut menyusul kampanye khilafah universalnya di atas.
Indonesia pasca jatuhnya Soeharto diramaikan oleh menguatnya
”importisasi” dalam ideologi Islam, terutama dari Timur Tengah, oleh sejumlah
gerakan keagamaan baru di lingkungan pemeluk Islam seperti Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI). Fenomena itu berbeda dengan masa awal terbentuknya Indonesia
sebagai sebuah negara-bangsa yang sarat dengan pengaruh ideologi lokal. Di
Masyumi sebagai kelompok politik Islam yang tercatat sebagai paling besar
dalam sejarah modern Indonesia hingga kini ini, mereka yang berlatar belakang
dan bersandar pada budaya lokal (seperti Jawa) sangat kentara pengaruhnya.
Reproduksi agenda khilafah universal oleh HTI dilakukan, antara
lain, melalui jargon ”Selamatkan Indonesia dengan Syari’ah”. Menguatnya
agenda tersebut, paling tidak, menjelaskan bahwa gagasan seperti itu telah
menarik sekelompok masyarakat Islam Indonesia untuk menjadikannya sebagai agenda
perjuangan dalam penegakan Islam di Indonesia dan penegakan Indonesia sebagai
bagian dari dunia Islam. Namun, dalam realitasnya, agenda khilafah universal
secara langsung berhadapan secara vis-a-vis dengan konsep negara-bangsa.
Seperti halnya karakter fenomena sosial yang lain, akar sosial
HTI juga tidak monolitik. Minimal, ada dua kecenderungan besar yang mendorong
penguatan HTI bersama agenda khilafah universalnya di akar sosialnya.
Pertama, mereka yang menegakkan agenda khilafah universal itu
cenderung berasal dari kalangan masyarakat Islam rural yang mengalami proses
mobilisasi vertikal yang belum selesai. Kata ”belum selesai” di sini menunjuk
pada fase awal dari pergerakan sosial dari masyarakat tradisional-rural ke
modern-urban.
Kedua, mereka yang mempromosikan khilafah universal itu
cenderung berasal dari kalangan yang belum atau kalah mapan secara
sosial-politik bila dibandingkan dengan kelompok Islam Indonesia lainnya.
Rata-rata mereka cenderung bukan dari kalangan yang secara sosial-politik sedang
atau telah memegang kekuasaan dari kerangka negara Indonesia.
Karena itu, pergerakan HTI juga bisa dipandang sebagai upaya
perlawanan ideologis dari sekelompok masyarakat Islam terhadap dominasi
kelompok Islam lainnya yang sedang memegang kekuasaan sosial-politik. Sebagai
bentuk perlawanan itu, mereka menawarkan agenda khilafah universal sebagai
jawaban atas kenyataan tampak buruknya performa sosial-politik kelompok Islam
mapan.
Harus disebut, menguatnya nasionalisme lintas batas di
lingkungan pemeluk Islam di Indonesia oleh HTI bersama ideologi transnasional
yang dikembangkan tidak bisa dipisahkan dari keprihatinan yang mendalam atas
maraknya praktik immoralitas, termasuk tercederainya prinsip akuntabilitas
publik dalam penegakan jabatan publik. Mengguritanya praktik korupsi akan
membuat gerakan-gerakan keagamaan yang mengusung nasionalisme lintas batas
bersama ideologi syari’ahisasi-nya semakin menarik perhatian sebagai sebuah
ideologi alternatif.
Menguatnya gagasan nasionalisme lintas batas di atas didukung
oleh keberadaan konsep ummah dalam Islam. Konsep ummah tidak mengenal apa
yang disebut dengan batas-batas geografis sebagaimana halnya yang dikenal
dalam nasionalisme konvensional. Yang menjadi pengikat dalam konsep ummah
adalah kesamaan keyakinan keagamaan, terlepas dari batas-batas gerografis
yang ada. Konsep itu inklusif dan sekaligus eksklusif. Disebut inklusif
karena melintasi batas-batas geografis sebagaimana dimaksud. Namun, disebut
eksklusif karena tidak memasukkan keyakinan agama yang berbeda ke dalam
bagian dari kategorisasi dan identifikasi diri.
Meski dasar kategorisasi dan identifikasi diri pada kesamaan
keyakinan agama, tidak berarti bahwa seluruh ummah itu merupakan masyarakat
atau komunitas yang bulat-menyatu, melainkan juga sering mengalami friksi dan
keretakan. Artinya, sulit untuk dinyatakan adanya satu ummah.
Pemerintah berencana membubarkan HTI di Indonesia pada 8 Mei
2017. Namun, apakah ideologi transnasional melalui agenda nasionalisme lintas
batas akan berakhir? Rasanya tidak semudah itu. Sebab, globalisasi semakin
mempermudah terjadinya interaksi dan komunikasi yang lebih intens antara
kelompok-kelompok atau gerakan-gerakan keagamaan secara global (Riaz Hassan,
2006: 311–323). Hal itulah yang semakin mempermudah diseminasi dan
konsolidasi gagasan transnasionalisasi keagamaan, seperti melalui gagasan
nasionalisme lintas batas di atas.
Besarnya pengaruh globalisasi itu bertemu dengan buruknya
performa birokrasi pemerintahan yang ada yang selama ini dipraktikkan di
banyak negara Islam dengan tingkat korupsi yang sangat tinggi. Bertemunya dua
situasi tersebut akan semakin memperkuat tampilan gagasan nasionalisme lintas
batas sebagai sebuah alternatif terhadap nasionalisme konvensional. Itu
pekerjaan tersisa yang harus diperhatikan saksama walaupun sebagai sebuah
organisasi gerakan kelompok Islam, HTI telah resmi dibubarkan di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar