Dramaturgi
Ahok dan Keindonesiaan
Idil Akbar ; Dosen
Departemen Ilmu Pemerintahan FISIP Unpad
|
KORAN
SINDO, 17
Mei 2017
Babak demi babak drama politik yang melibatkan
Ahok terus bergulir, tak kunjung usai. Setelah divonis penjara dua tahun oleh
hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara beberapa waktu lalu atas kasus
penistaan agama, kegaduhan politik kembali mencuat, setelah sebelumnya terus
memanas karena dinamika politik yang berlangsung dalam Pilkada DKI.
Nama Ahok sepertinya menjadi jaminan atau
mungkin bisa dibaca sebagai patokan bagaimana politik dalam kontestasi itu
berlangsung. Gambaran bahwa politik itu ”mencekam”, ”menistakan”,
”menjatuhkan” bahkan ”membunuh karakter” menjadi kian tak terelakkan.
”Politik itu kejam”, demikian dominan awam melihatnya. Tak bisa disalahkan
memang, bahwa politik kontestasi membawa konsekuensi yang cukup besar dalam
banyak hal.
Salah satu di antaranya terkait polarisasi
dukungan yang mengarah pada kulturisasi personal. Alhasil polarisasi ini
menciptakan konfrontasi sosial yang dalam kasus Ahok ini sudah melewati batas
kesadaran dalam berpolitik yang konstruktif (mencerdaskan). Jika sebagian
masih menganggap hal ini adalah ekses berkepanjangan dari periode
kepemimpinan Jakarta sebelumnya dan pilpres 2014, itu bisa dan sangat mungkin
dicari hubungannya.
Tetapi menjelaskan bagaimana dramaturgi ini
berlangsung, itu cukup kompleks. Menilai dramaturgi Ahok memang tidak bisa
hanya dipandang vis a vissemata. Penjelasan logis atas dramaturgi ini harus
dilihat lebih dalam lagi dari akar permasalahan yang muncul. Namun, merogoh
lebih dalam untuk maksud memahami bagaimana dramaturgi ini muncul dan berlangsung
itu juga tidak mudah. Hal ini karena setiap aspek yang terlibat saling
berkelindan dan membangun jalan cerita yang semakin rumit. Dengan kata lain,
dramaturgi ini tidak lagi soal kalkulasi pilkada, tetapi sudah jauh dari itu
mencakup hubungan sosial kemanusiaan dalam bingkai keindonesiaan.
Akar Masalah
Akar masalah pertama atas dramaturgi Ahok ini
berakar dari konstruksi kekuasaan yang dibangun dan menopang segala potensi
yang muncul, terutama dalam kerangka mengamankan dan mengembangkan kontinuitas
kekuasaan yang ada saat ini. Mempertahankan kekuasaan merupakan bagian dari
proses politik. Maka agar mampu bertahan, segala potensi yang dimiliki dan
sumber daya yang melekat dalam kekuasaan akan dioptimalkan, termasuk
membangun citra politik.
Publik yang sejatinya lebih berperan sebagai
penikmat politik hanya dominan mengonsumsi apa yang disodorkan. Daya kritis
yang kerap dibangun sebetulnya lebih mengikuti penalaran yang—diakui atau
tidak— terbentuk dari pencitraan yang dipertontonkan. Namun, tidak juga bisa
disalahkan karena citra dan politik ibarat dua kakak adik kandung yang tidak
bisa saling dipisahkan.
Rentetan drama ini juga tidak lepas dari
skenario ”sang sutradara” agar citra yang dihasilkan bisa menyelusup dalam
pikiran publik, dan lebih dari itu bisa memengaruhi publik untuk ikut
terlibat dalam drama yang dimainkan. Pilkada DKI adalah ruang interaksinya
sehingga tak pelak Pilkada DKI penuh dengan riuh rendah masyarakat Indonesia,
tak hanya masyarakat Jakarta, yang saling mengintegrasikan diri di dalamnya.
Yang ingin dikatakan adalah, politik
kontestasi yang ditopang oleh kapitalisasi pencitraan yang terlampau wah,
rentan terhadap daya kritis publik. Karena setiap penilaian akan selalu
dikonstruksikan ber-dasarkan ”apa yang diinginkan sang sutradara”, dan bukan
berbasiskan pada fakta yang ada. Masalahnya, sinetronisasi politik kontestasi
hampir selalu berlangsung sepanjang usia pilkada langsung ini dimulai.
Politik kontestasi yang berlangsung dominan
berorientasi hasil telah mengabaikan proses yang mengidealkan politik yang
mendidik dan mencerdaskan. Akar masalah kedua adalah adanya kecenderungan
pengabaian terhadap nilai-nilai fundamental atas keyakinan mayoritas
penduduk, tak hanya Jakarta melainkan juga Indonesia. Upaya yang dilakukan
bahkan sangat mungkin dapat dibaca sebagai upaya mendegradasikan dan
mengalienasikan keyakinan publik dari ruang politik. Sayangnya, yang disasar
justru adalah agama yang banyak diimani.
Ahok pun offside dengan menyinggung sisi
paling sensitif dari iman umat, maka reaksi pun terjadi. Akibatnya, muncullah
sikap oposisi dari umat Islam atas sikap offside Ahok tersebut. Eksesnya,
Pilkada DKI menjadi ajang penghakiman bagi Ahok. Bagi banyak politisi ,
terlebih dengan dukungan sebesar- besarnya dari sumber daya dan kekuasaan
yang dimiliki, seperti yang diperoleh Ahok, fakta kekalahan di politik
kontestasi seperti pilkada menjadi pukulan telak paling ironis. Fakta ini
sekaligus pula menjelaskan bahwa kepentingan politik tak seharusnya dibangun
di atas sensitivitas keyakinan publik, apa pun keyakinannya.
Menghadirkan
Keindonesiaan
Pertanyaannya, bagaimana memosisikan Indonesia
dan menghadirkan keindonesiaan dalam kerangka yang lebih substantif? Bahwa
menghadirkan keindonesiaan tidak ditentukan oleh menang atau kalah di
pilkada. Pilkada hanya satu langkah dari panjangnya langkah yang harus
ditempuh untuk memberi makna lain atas keindonesiaan. Oleh karena itu, tak
cukup bijak bilamana kekalahan di Pilkada DKI dikonstruksikan sebagai
kekalahan demokrasi.
Bahkan diwacanakan sebagai kekalahan Indonesia
dari kelompok yang tak sebangun dengan Pancasila, NKRI, dan kebinekaan. Maka
jargon-jargon menjaga Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, dan sebagainya
tampak menjadi sangat politis karena didorong oleh semangat mendukung Ahok,
tidak murni dalam kerangka memperjuangkan nilai-nilai keindonesiaan itu
sendiri. Kalau begini, dikhawatirkan ini justru menjadi tak sepadan dengan
upaya di dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa yang jelas lebih utama
di atas golongan atau kelompok mana pun.
Karena itu, kunci utama untuk ini semua adalah
setiap golongan dan kelompok harus mampu menahan diri untuk tidak melampaui
keterlibatan dari sesuatu yang bisa memicu persengketaan yang lebih besar.
Kesepakatan bangsa ini atas Pancasila, NKRI, dan kebinekaan sudah selesai.
Mendikotomikan diri dalam golongan tertentu, dan bahkan mengarahkan pada
politik kontestasi di Pilkada DKI, jelas sudah tidak relevan bagi
keindonesiaan. Indonesia perlu pengawalan lebih utuh dan bukan sekadar
parsial dari keterlibatan atas dukungan politik saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar