Religi
dan Politik Internasional
Dinna Wisnu ; Pengamat
Hubungan Internasional;
Senior Advisor, Atma Jaya
Institute of Public Policy
|
KORAN
SINDO, 17
Mei 2017
Selama ini teori-teori hubungan internasional
yang menganalisis hubungan antarnegara terbilang abai pada faktor religi.
Teori-teori tersebut, yang sebagian besar berkembang di negara-negara Barat,
memang me misahkan negara dan agama: memusatkan perhatian pada faktor
kepentingan nasional sebagai alasan mengapa suatu negara berhubungan dengan
negara lain.
Istilah yang sering digunakan adalah
sekularisasi atau mengurangi pengaruh organisasi keagamaan dalam sistem
politik. Pemisahan itu bukan tanpa sebab karena jauh sebelum sistem demokrasi
berjalan seperti yang kita pahami saat ini, peran gereja sebagai insti tusi
keagamaan sangat berpengaruh dalam meme ngaruhi kebijakan negara, misalnya
seperti yang masih kita temui di Inggris, Belanda, dan beberapa negara Eropa
yang lain.
Mengapa pada hari ini kita perlu bicara
tentang keterkaitan antara politik internasional dan agama? Tidak lain karena
ramalan bahwa modernisasi akan menyebabkan masyarakat semakin sekuler tidak
sepenuhnya terjadi. Pandangan liberal pernah berasumsi agama akan semakin
berkurang peranannya dalam politik ketika masyarakat menjadi semakin
rasional. Kenyataannya, seiring dengan makin meluasnya modernisasi, bahkan
semakin berkembangnya teknologi informasi yang canggih dan makin tingginya
tingkat pendidikan, faktor agama justru menguat esensinya di dalam
masyarakat.
Akibatnya, mau tidak mau, negara tidak bisa
mengabaikan kehadiran agama dalam praktik hubungan internasional. Contoh yang
paling konkret adalah munculnya organisasi teroris tanpa negara seperti Al-
Qaeda dan ISIS di Timur Tengah. Di Asia-Pasifik sejumlah negara masih
menerapkan dengan keras undang-undang penodaan agama dengan sanksi yang
relatif sangat keras.
Pertimbangan yang mengemuka adalah bahwa
undang-undang penodaan agama yang walaupun bertujuan melindungi semua agama
dari kebencian pada praktiknya lebih banyak di gunakan untuk mempertahan kan
komposisi sosial dalam masyarakat yang diyakini dapat menjamin kestabilan dan
kedamaian sosial. Agama, dalam sebagian besar sistem demokrasi di Asia,
adalah faktor yang masih sangat lekat dengan keseharian politik.
Agama bukan saja berfungsi sebagai sarana
untuk menunjukkan spiritualitas, melainkan juga memengaruhi struktur sosial
dan ekonomi yang berkembang. Agama dapat pula menjadi alasan massa untuk
bergerak memperjuangkan aspirasinya. Fakta-fakta yang terjadi sebagian besar
Asia ini mungkin sangat kontras dengan sistem politik sekuler di
negara-negara Barat. Negara-negara di Barat telah menyepakati proses
sekularisasi yang mengurangi pengaruh organisasi ke agamaan dalam sistem
politik negara.
Hal ini menimbulkan perbedaan pandangan
tentang bagaimana meletakkan agama dalam sistem politik dan hukum. Itu
sebabnya perlu dimaklumi pula kemunculan kritik terhadap Indonesia dari
negara-negara lain belakangan ini. Menyadari bahwa pilihan globalisasi telah
membuka jalan bagi migrasi penduduk (dan ide) dari satu negara ke negara lain
dengan berbagai alasan, maka yang harus diurus dalam politik internasional
sebenarnya bukan hanya soal visa dan izin kerja (identitas formal sebagai
warga negara suatu bangsa), tetapi juga soal toleransi sosial (identitas tra
disi dan keagamaan).
Perspektif dalam melihat aga ma dalam hubungan
internasional setidaknya ada tiga menurut Cecelia Lynch dari Center for Global
Peace and Conflict Studies di University of California Irvine (2009).
Pertama, pendekatan primordalis yang meyakini
bahwa agama cenderung membahayakan karena sifatnya yang sangat dogmatis.
Pandangan dogmatis tidak sesuai dengan sistem politik internasional yang
sekuler karena membutuhkan keterbukaan dalam berpikir.
Kedua, pendekatan yang memandang bahwa agama
menjadi alat bagi ke pentingan strategis ekonomi dan sosial tertentu untuk
mempertahankan kedudukan atau struktur sosial yang ada.
Ketiga, pendekatan yang memandang bahwa etik
dari agama itu penting dalam diplomasi dan perkembangan kedaulatan tetapi
pendekatan ini kemudian berganti dengan sekularisme ketika memasuki masa
modern.
Benang merah dari ketiga perspektif tersebut
sebenarnya sama-sama menyarankan pemilahan agama dari politik internasional,
tetapi kemudian pendekatan ketigalah yang sering digunakan dalam tradisi
hubungan internasional. Pertimbangannya adalah pengalaman keberadaan agama
dalam “mendorong” Eropa memasuki zaman kegelapan.
Kembali ke konteks Asia, sejauh ini memang
belum ada kesimpulan tentang efek dari pelibatan religi dalam hubungan
internasional, selain bahwa agama yang diusung melintasi loyalitas sebagai
warga negara, seperti kasus ISIS dan Al- Qaeda, telah menimbulkan keresahan
yang mengarah pada ancaman keamanan negara.
Kenyataan ini adalah pekerjaan rumah bagi para
akademisi di Asia, khususnya di Indonesia, untuk menemukan caracara
mendekatkan hubungan dengan negara-negara Barat, meskipun berbeda pandangan
dan mengeksplorasi kaitankaitan positif keberadaan religi dalam politik dan
hubungan internasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar