Menegaskan
Komitmen Demokrasi Pancasila
Pasca-Pilkada
Jakarta
Denny JA ; Pendiri
Lingkaran Survei Indonesia
|
REPUBLIKA, 05 Mei 2017
Dalam waktu dekat, bukan mustahil Indonesia
akan terkoyak dan tidak stabil. Dalam waktu tak lama, bukan tak mungkin
demokratisasi di Indonesia yang dimulai sejak Reformasi 1998 mengalami
break-down dan kemunduran yang signifikan. Indonesia akan berada dalam
ketidak pastian yang berlarut dan memundurkan semua pencapaiannya.
Itu
terjadi jika para elit yang berpengaruh di negri ini tidak meneguhkan
komitmennya kembali pada demokrasi pancasila yang diperbaharui. Itu akan
terbukti jika semakin tak ada aturan main bersama yang berwibawa, akomodatif,
dan disepakati sebagai "the only game in town."
Para elit, politisi berpengaruh, pemimpin
pemerintahan, pengusaha, pemimpin partai, pemimpin ormas berpengaruh,
pemimpin organisasi keagamaan, intelektual dan opinion makers yang didengar,
mereka semua boleh saja berbeda pandangan dan kepentingan. Itu hanya tidak
bermasalah, sekali lagi, itu hanya tidak merusak, jika mereka semua
bersepakat untuk tunduk pada aturan main yang sama dan dihormati.
Yang menjadi masalah jika aturan main bersama
itu semakin kurang berwibawa, semakin dirasakan kurang akomodatif bagi
perkembangan baru. Yang menjadi problem jika para elit ini jutru sedang
menggugat aturan main bersama itu.
Akibatnya konflik kepentingan dan perbedaan persepsi para elit justru
akan membawa Indonesia pada ambang kehancuran.
Inilah renungan terjauh refleksi dari ruang publik
Indonesia paska pilkada Jakarta. Persaingan antar kandidat dalam pilkada
sudah selesai. Hasil KPUD soal pilkada sudah disahkan. Namun konflik gagasan
dan embrio platform justru terus
membara, berbeda bahkan bertentangan soal bagaimana aturan main bersama itu
sebaiknya.
Tulisan ini renungan berisi empat pokok isu
strategis paska pilkada Jakarta.
Pertama, menjelaskan aneka embrio platform yang berbeda dan saling
bertentangan yang ada saat ini mengenai kemana Indonesia harus dibentuk.
Aneka platform itu ikut bertarung mewarnai pilkada DKI 2017.
Kedua, argumen mengenai mengapa para elit
perlu menegaskan komitmen pada demokrasi pancasila yang diperbaharui. Juga
dijelaskan apa beda demokrasi pancasila yang diperbaharui dengan demokrasi
Pancasila era Sukarno dan Suharto. Dijelaskan pula dimana bedanya Demokrasi
Pancasila yang diperbaharui dengan demokrasi liberal yang kini berlaku di
dunia barat.
Ketiga, penjelasan soal apa yang kurang dalam
praktek demokrasi Indonesia saat ini agar mencapai platform ideal Demokrasi
Pancasila yang diperbaharui itu.
Keempat, apa yang semua kita bisa kerjakan
untuk ikut mengkonsolidasikan Demokrasi Pancasila yang diperbaharui
Selanjutnya perlu diketahui adanya empat
platform gagasan yang terbaca ikut bertarung dalam pilkada Jakarta. Ada
gagasan demokrasi modern seperti di negara maju yang sangat anti
diskriminasi, dan juga sangat tidak suka dengan isu agama di ruang publik.
Ada juga gerakan yang mencoba menyelinap untuk
mengajak Indonesia kembali ke sistem sebelum amandemen UUD 45. Mereka mencari
momentum agar dalam pilkada DKI terjadi pula breakthrough untuk memasukkan
gagasan kembali pada demokrasi pancasila lama. Istilah yang populer di
kalangan ini, demokrasi yang dipraktekkan sekarang sudah kebablasan dan
terlalu jauh.
Ada pula gerakan yang menjadikan momentum
kasus Al Maidah untuk sekaligus memasukkan konsep negara Islam, atau
setidaknya NKRI bersyariah. Ini gerakan yang menginginkan prinsip hukum agama
semakin diterapkan dalam ruang publik.
Ada pula platform gagasan yang mempertahankan
sistem demokrasi yang ada di Indonesia saat ini, namun perlu lebih
diperbaharui. Kita sebut saja ini gagasan Demokrasi Pancasila yang
diperbaharui.
Gagasan yang tidak berada di kubu Ahok hanya
gagasan NKRI bersyariah ataupun negara Islam. Sedangkan di kubu Anies
Baswedan, dan juga Agus Harimurti jauh lebih beragam. Semua penganut gagasan
di atas juga berkumpul di belakang Anies dan Agus.
Selesai pilkada, empat gagasan itu terus
bertarung. Dugaan saya puncak pertarungan empat gagasan itu justru nanti di
pilpres 2019.
Sambil mendukung calon presidennya
masing-masing, empat gagasan itu mencoba membuat agenda sendiri. Jika bisa
membuat calon presiden berhutang budi pada mereka untuk menjadikan agenda
gagasan itu sebagai program nasional.
Langkah paling strategis paska pilkada
Jakarta mengajak para elit yang
berpengaruh untuk menegaskan komitmen kembali pada Demokrasi Pancasila yang
diperbaharui. Dua alasannya. Mayoritas pemilih Indonesia ada di platform itu.
Goresan agama yang mendalam pada batin publik Indonesia juga membuat platform
itu lebih mengakar.
Demokrasi Pancasila yang diperbaharui pastilah
berbeda dengan negara Islam model Timur Tengah. Berbeda pula, ia dengan
Demokrasi Pancasila sebelum amandemen UUD 45. Namun ia berbeda pula dengan demokrasi liberal yang dipraktekkan
negara barat saat ini.
Survei nasional dilakukan LSI Denny JA sejak
2005 sampai 2016. Juga survei Jakarta yang dilakukan terakhir di bulan April
2017. Ketika ditanya, apakah ibu bapak menginginkan Indonesia menjadi negara
Islam seperti Timur Tengah, negara demokrasi liberal seperti negara barat,
atau negara demokrasi pancasila (tak didefinisikan detail semua gagasan itu)?
Jawaban pemilih. sejak 2005 sampai kini tak
banyak berubah. Yang inginkan negara Islam selalu di bawah 10 persen. Yang
inginkan demokrasi liberal juga selalu di bawah 10 persen. Yang inginkan
Demokrasi Pancasila selalu di atas 70
persen.
Negara Islam tidak mengakar dalam batin rakyat
Indonesia yang mayoritasnya beragama Islam. Demokrasi liberal barat juga
masih asing bagi mayoritas publik Indonesia. Demokrasi Pancasila itu yang
diidealkan.
Jika soal Demokrasi Pancasila itu didetailkan,
ingin kembali dalam sistem politik era Orde Baru tanpa kebebasan seperti
sekarang, atau sistem demokrasi seperti sekarang? Mayoritas memilih Demokrasi
seperti saat ini.
Negara Islam tidak akan cocok jika dipaksakan
ke Indonesia. Ia ditolak oleh mayoritas pemilih Muslim sendiri. Dunia modern
sudah pula sampai pada kultur citizenship. Siapapun warga negara, apapun
agamanya, mereka punya hak politik yang sama dan perlindungan hukum yang
sama. Negara modern tidak mendiskriminasikan hak warga negara semata karena
identitas sosialnya, termasuk agama.
Demokrasi Pancasila era Soekarno dan Suharto
juga tidak pas jika dipaksakan kembali berlaku. Dwi Fungsi militer, hadirnya
utusan golongan yang tidak dipilih di MPR, presiden sebagai mandataris MPR,
pembatasan pada kebebasan berasosiasi dan kebebasan berpendapat itu masa
lalu. Mencoba membawa kembali Indonesia sebelum amandemen UUD 45 juga ditolak
mayoritas pemilih dalam aneka survei nasional.
Demokrasi liberal ala barat dengan civil
liberty yang penuh, dan ruang publik yang kurang friendly dengan agama juga
tidak mengakar. Memaksakan demokrasi liberal justru akan membuat antipati
publik luas atas prinsip demokrasi secara menyeluruh.
Harus diterima bahwa prinsip demokrasi hanya
akan kuat jika ia dikawinkan dengan kultur lokal yang dominan di sebuah
wilayah. Untuk kasus indonesia, goresan agama dalam batin masyarakat sangat
dalam. Demokrasi yang ingin mengakar harus mengakomodasi kondisi itu dalam
sistem kelembagaannya.
Hadirnya kementrian agama misalnya tak dikenal
dalam demokrasi liberal barat. Namun untuk indonesia, kementrian agama sebuah
kompromi yang seharusnya diambil. Evolusi kesadaran publik mayoritas
Indonesia menghendaki pemerintah ikut mengurus agama publik. Itu yang tak ada
dalam demokrasi liberal barat.
Sungguhpun demikian, platform Demokrasi
Pancasila yang diperbaharui perlu dikonsolidasikan. Tiga isu dibawah ini yang
perlu ditambahkan agar Demokrasi Pancasila
yang diperbaharui itu bisa diterima sebagai "the only game in
town." Ia akan diterima karena akomodatif terhadap aneka keberagaman
yang ada.
Pertama, justru karena demokrasi ini
memberikan peran agama yang lebih besar di ruang publik, perlu dibuat sebuah
undang undang Perlindungan Kebebasan dan Umat bergama.
UU ini mengatur bagaimana Pancasila yang
sentral dalam demokrasi dioperasionalkan di ruang publik. Dengan demikian,
praktek dan keberagaman paham agama yang ada terlindungi sangat kuat,
sebagaimana yang dipahat dalam sila pertama Pancasila.
Kementrian agama sudah mulai menyusun
draftnya. Jika bisa, sebelum pilpres 2019, draft itu sudah disempurnakan dan
final. Kita ingin dalam UU itu, aturan dibuat untuk lebih melindungi
keberagaman agama dan kebebasan mereka beribadah dan bersosialisi di ruang
publik.
Kedua, mengakomodasi luasnya spektrum gagasan
yang ada dalam masyarakat. Sejauh itu semua masih dalam bentuk gagasan, ia
dibolehkan belaka untuk hidup di ruang publik. Yang dilarang hanya gagasan
yang merekomendasikan kekerasan seperti terorisme. Atau gagasan yang
dipaksakan dengan kekerasan.
Akibatnya spektrum yang paling kanan dan yang
paling kiri harus dibolehkan hidup. Melarang hak hidup gagasan, seberapapun
ektremnya, kecuali yg merekomendasikan kekerasan dan kriminal, akan membuat
aturan main bersama tidak akomodatif.
Misalnya, pemerintah dan para elit harus
menerima adanya kebebasan beropini bagi yang paling kanan: gagasan negara
Islam, dan yang paling kiri: gagasan LGBT, untuk menjadi wacana.
Semua negara demokrasi modern membolehkan hak
hidup aneka gagasan selucu dan senorak apapun. Prinsipnya ucapan Voltaire: Saya tak setuju pandangan
tuan. Tapi hak tuan menyatakan pandangan itu akan saya bela. Yang dibela bukan isi gagasan itu tapi hak
hidupnya untuk ikut mewarnai dan bertarung di ruang publik.
Tak hanya pemerintah, tapi elit indonesiapun
kadang tak siap dengan prinsip Voltaire itu. Misalnya mereka yang mengaku pro
keberagaman. Ketika diskusi LGBT dilarang, mereka marah dan melawan. Tapi
ketika diskusi HTI soal khilafah Islam dilarang, mereka senang dan mendukung.
Padahal prinsip Hak Asasi Manusia dan
Demokrasi Modern menjamin hak hidup aneka gagasan sejauh masih dalam bentuk
gagasan, dan tidak menyerukan kekerasan ataupun tindakan kriminal.
Mengapa negara demokrasi modern bahkan
membolehkan gagasan intoleran di ruang publik? Sangat simpel alasannya. Di
samping itu bagian dari Hak Asasi Manusia, gagasan ekstrem dan intoleran itu
tak pernah mendapatkan dukungan mayoritas. Gagasan itu berhenti hanya menjadi
estalase keberagaman saja.
Ketiga, prinsip kedua itu harus juga diikuti
tegaknya Law Enforcement aparatur negara. Ini sepenuhnya harus disadari
pemerintah. Ketika demokrasi masih labih seperti sekarang, pemerintah harus
hadir! Pemerintah harus tegas dan keras melindungi keberagaman itu. Jika
tidak, kebebasan yang ada justru digunakan untuk menindas yang lemah.
Jadi inilah buah paling manis selesai pilkada
Jakarta 2017. Lahir hikmah keharusan kita untuk meneguhkan kembali komitmen
pada Demokrasi Pancasila yang diperbaharui. Jika tidak, semua akan melawan
semua.
Masing-masing kita bisa berperan sesuai dengan
pengaruh dan kapasitasnya. Satu saja targetnya. Kita ingin Demokrasi Pancasila
yang diperbaharui semakin lama semakin menjadi "the only game in
town."
Dengan demikian, politik kita semakin stabil.
Keberagaman gagasan yang ada juga terakomodasi, sesuai dengan evolusi
kesadaran publik Indonesia.
Tentu saja konsep demokrasi pancasila yang
diperbaharui di atas banyak kelemahannya. Tapi alternatif lain, akan lebih
banyak lagi kelemahannya dan tidak mengakar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar