Balada
Angkot Angket KPK
Denny Indrayana ; Guru Besar Hukum Tata Negara UGM;
Profesor Tamu di Melbourne Law School dan Faculty of Arts University of
Melbourne, Australia
|
KOMPAS, 05 Mei 2017
Apa hubungan
antara hak angket yang diangkat DPR atas KPK dan transportasi angkot yang
mengangkut penumpang kota? Sejujurnya, tak ada. Ini hanya susunan kata agar
menarik menjadi judul dan enak dibaca. Lalu kenapa angkot disandingkan dengan
angket? Karena baik angkot maupun angket harus taat pada aturan main lalu
lintas dan bernegara.
Pasca-reformasi
1998, hak angket DPR direinkarnasi dan diangkat kembali kastanya menjadi
kewenangan konstitusional yang diatur dalam UUD 1945 pasca-amandemen.
Keberadaan angket tersebut menjadi salah satu karakteristik parlementer yang
membuat lonjong sistem presidensial Indonesia. Sebelumnya, hak angket telah
diatur dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) 1949 dan
Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, yang memang menerapkan sistem
parlementer.
Hingga kini,
aturan lebih detail tentang angket juga masih didasarkan pada UU Nomor 6
Tahun 1954, selain menurut UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Secara ketatanegaraan, angket adalah
senjata pamungkas DPR dalam mengontrol pemerintah. Proses pemecatan presiden/wakil
presiden diawali dengan hak angket, dilanjutkan dengan pernyataan pendapat
DPR, sebelum ada sidang impeachment oleh Mahkamah Konstitusi, dan diakhiri
dengan keputusan pemakzulan oleh MPR.
Persoalannya
adalah ketika angket DPR dimaksudkan untuk meneliti pelaksanaan tugas dan
kewenangan KPK. Saya menduga, kelompok pendukung angket melihat sepotong
ketentuan Pasal 79 Ayat 3 UU MD3 bahwa angket ditujukan untuk melakukan
penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang, dalam hal ini UU KPK.
Lebih jauh, para pendukung angket berpendapat pimpinan KPK sebagai pejabat
negara tidak menjalankan rekomendasi hasil rapat kerja dengan Komisi Hukum
DPR (Pasal 98 Ayat 7 UU MD3) yang meminta KPK membuka rekaman berita acara
pemeriksaan (BAP) Miryam Haryani, anggota DPR yang memerinci pembagian uang
dalam dugaan korupsi KTP-el, walaupun kemudian mencabut BAP tersebut dalam
persidangan.
Menabrak prinsip bernegara
Saya melihat
ada beberapa prinsip dasar lalu lintas bernegara yang ditabrak oleh angkot
angket DPR. Pertama, sebagai badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UUD 1945, KPK juga diproteksi
dengan prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman (independence of the
judiciary). Maknanya, tugas dan kewenangan KPK yang terkait kasus korupsi
hanya dapat dinilai dan dikontrol melalui proses peradilan. Lembaga lain di
luar kekuasaan yudikatif tidak berwenang-bahkan dilarang- untuk mengontrol
kewenangan KPK dalam penanganan kasus.
Dua, angket
adalah hak penyelidikan DPR atas kebijakan pemerintah, yang artinya lembaga
eksekutif, baik kementerian maupun nonkementerian (executive agencies).
Sementara KPK adalah komisi negara independen (independent agency) yang bukan
bagian pemerintah serta "dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun" (Pasal 3
UU KPK).
Penjelasan
Pasal 3 mengatur: "Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan 'kekuasaan
mana pun' adalah kekuatan yang dapat memengaruhi tugas dan wewenang Komisi
Pemberantasan Korupsi atau anggota Komisi secara individual dari pihak
eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan
perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan
apa pun".
Berdasarkan
ketentuan tersebut, hak angket dapat dikategorikan sebagai bentuk intervensi
DPR atas tugas dan wewenang KPK dalam penanganan kasus KTP-el yang seharusnya
independen.
Sementara
argumen bahwa KPK dapat dimintai pertanggungjawaban oleh DPR berdasarkan
Pasal 20 UU KPK bukanlah merupakan dasar pembenaran bagi lahirnya hak angket.
Laporan berkala dalam Pasal 20 kepada Presiden, DPR, dan BPK adalah bentuk
akuntabilitas KPK sebagai lembaga negara, yang memang tidak boleh menjalankan
kewenangannya tanpa pertanggungjawaban.
Modus baru pelemahan KPK
Lalu bagaimana
dengan fakta politik telah disetujuinya hak angket DPR itu walaupun mekanisme
persetujuannya dalam sidang paripurna masih dianggap problematik? Tidak dapat
dihindari munculnya pandangan bahwa ini adalah modus baru pelemahan KPK,
lebih khusus terkait penanganan kasus KTP-el yang diduga menyangkut beberapa
oknum anggota DPR. Menurut UU Angket dan UU MD3, setelah ini DPR akan
membentuk panitia angket, yang akan bekerja selama 60 hari.
Panitia angket
akan memanggil para pihak untuk memberikan keterangan (Pasal 205 UU MD3),
termasuk menunjukkan dan/atau menyerahkan dokumen-termasuk BAP pemeriksaan
Miryam Haryani. Pihak yang tidak memenuhi panggilan panitia angket dapat
dikenai hukuman sandera meskipun paling lama hanya 15 hari. Berbeda dengan
hak angket kepada kebijakan pemerintah yang dapat berujung dengan pemakzulan
presiden, akhir dari angket DPR atas KPK ini tidak terlalu jelas apa
ujungnya. Konsekuensi yang paling mungkin, jika KPK tetap menolak memenuhi
permintaan DPR (panitia angket), pimpinan KPK tidak akan terpilih kembali
jika mengikuti proses seleksi pada periode kepemimpinan berikutnya.
Jika akibat
hak angket ini relasi KPK dan DPR kembali menghangat, relatif tidak ada
solusi hukum yang tersedia. Secara politik, seharusnya partai-partai,
termasuk presiden dan partai koalisinya, dapat lebih menegaskan komitmennya
pada agenda pemberantasan korupsi. Namun, dalam hak angket, komitmen tersebut
tidak tampak muncul. Sementara membawa sengketa KPK dan DPR ini ke hadapan
Mahkamah Konstitusi, walaupun mungkin secara teori, relatif tertolak dalam
praktik.
Sejauh ini,
putusan MK dalam perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) selalu
membatasi subjectum litis dan objectum litis hanya pada organ dan kewenangan
konstitusi. Dampaknya, KPK yang keberadaan dan kewenangannya tidak diatur UUD
1945 dianggap tidak mempunyai legal standing untuk bersengketa di hadapan
meja merah Mahkamah.
Apa pun,
seandainya musuh bersama negara ini adalah koruptor, rambu perjalanan bangsa
ini seharusnya adalah melarang pelemahan KPK. Namun, agaknya angkot angket
membaca agenda perjalanan yang lain sehingga menubruk rambu pemberantasan
korupsi dan mengangkut angket DPR. Pertanyaannya, apa yang sebenarnya dibela
dan dilindungi, atau lebih tepatnya, siapa dan mengapa? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar