Radikalisme
dan Politik Identitas
Fathorrahman Ghufron ; Wakil Katib Syuriyah PWNU dan
Pengurus LPPM Universitas NU
(UNU) Yogyakarta;
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga
|
KOMPAS, 05 Mei 2017
Dalam berbagai
literatur disebutkan bahwa radikalisme adalah suatu paham yang menginginkan
sebuah perubahan atau pembaruan dengan cara drastis hingga ke titik paling
akar. Bahkan, untuk mencapainya melibatkan banyak cara hingga yang paling
ekstrem: kekerasan baik simbolik maupun fisik.
Secara
sosiologis, setidaknya ada tiga gejala yang dapat ditengarai dari paham
radikalisme, yaitu, pertama, merespons terhadap kondisi sosial-politik maupun
ekonomi-yang sedang berlangsung dalam bentuk penolakan dan perlawanan.
Terutama aspek ide dan kelembagaan yang dianggap bertentangan dengan
keyakinannya. Kedua, dari penolakan berlanjut kepada pemaksaan kehendak untuk
mengubah keadaan secara mendasar ke arah tatanan lain yang sesuai dengan cara
pandang dan ciri berpikir yang berafiliasi kepada nilai-nilai tertentu,
semisal agama maupun ideologi lainnya.
Ketiga,
menguatkan sendi-sendi keyakinan tentang kebenaran ideologi yang diyakininya
lebih unggul daripada yang lain. Pada gilirannya, sikap truth claim ini
memuncak pada sikap penafian dan penegasian sistem lain. Untuk mendorong upaya
ini, ada pelibatan massa yang dilabelisasi atas nama rakyat atau umat yang
diekspresikan secara emosional-agresif. (Endang Turmudi, Islam dan
Radikalisme di Indonesia. ed (2005). Terlebih ketika era demokrasi memberikan
kebebasan siapa pun untuk mengekspresikan pemikirannya, ketiga gejala ini
yang dimainkan penggerak paham radikalisme kian dapat panggung selebrasinya.
Jebakan radikalisme
Ketika
pemerintah ingin menekan dan mengadang paham radikalisme yang kian tumbuh di
berbagai lembaga pendidikan, kelompok masyarakat, bahkan lingkungan
pemerintah, seolah tak menemukan taringnya. Sebab, apa pun yang diserukan
pemerintah akan terbentur ketentuan lain yang berhubungan dengan aspek HAM.
Ketika setiap orang dan kelompok sudah menemukan ruang eksperimentasi untuk
menggerakkan corak ideologinya, pada titik ini paham radikalisme mulai
dimainkan sebagai kartu truf oleh para aktor.
Dalam konteks
ini, merujuk pada hasil penelitian disertasi Haedar Nashir, Islam Syariat:
Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (2007), ada beberapa kelompok
yang selalu getol melakukan perubahan secara radikal dengan cara
menginstrumentalisasi keyakinannya.
Pertama,
kelompok revivalis yang tampil dengan ciri legal-formal yang menuntut
perubahan sistem hukum yang sesuai tata aturan dan tuntunan hukum agama.
Kedua, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri doktriner dengan cara
memahami dan mempraktikkan agama serba mutlak dan kaku. Ketiga, kelompok
revivalis yang tampil dengan ciri militan dan ditunjukkan melalui sikap
keagamaan bersemangat tinggi hingga berhaluan keras. Bahkan, kelompok ini tak
segan melakukan penolakan frontal terhadap Pancasila sebagai dasar negara
Indonesia dan bersikukuh ingin menjadikan syariah sebagai penggantinya.
Dalam kaitan
ini, paham radikalisme yang diinstrumentalisasi dalam berbagai bentuk dan
maksud oleh kelompok-kelompok revivalis dilatari oleh beberapa persepsi dan
alasan, seperti ketidakadilan yang dialami rakyat, korupsi yang menggurita,
krisis ekonomi-politik, dan kesenjangan kaya-miskin. Dalam anggapan mereka,
ini terjadi karena sistem negara Indonesia yang terlalu berkiblat kepada
demokrasi dan "memberhalakan" Pancasila. Oleh karena itu, kelompok
ini mengajukan syariah sebagai satu-satunya pandangan dunia (world view) yang harus dijadikan sebagai
landasan konstitusi maupun dasar negaranya.
Apa yang kita
saksikan dalam beberapa bulan ini, di mana pintu masuk paham radikalisme yang
digerakkan kelompok revivalis melalui momentum Pilkada DKI, menjadi bukti
betapa mereka ingin mereaktualisasi paham radikalisme. Bahkan, gerakan massa
yang dilabelisasi dengan 411, 212, 313, dan semacamnya menjadi sebuah
rejuvenasi radikalisme yang memanfaatkan pergerakan massa yang disulut dengan
semangat populisme.
Dengan
melibatkan berbagai aktor, baik di kalangan politisi, agamawan, pengusaha,
dan tokoh masyarakat lainnya, paham radikalisme kian ditasbihkan sebagai
satu-satunya cara untuk melakukan perubahan Indonesia yang lebih baik.
Berbagai adagium agama diserukan dalam altar pergerakannya untuk memicu emosi
publik-terutama sekelompok orang yang berafiliasi dengan pergerakan ini.
Meskipun dalam
amatan sementara, gerak radikalisme yang diekspresikan oleh kelompok
revivalis ini tidak berhubungan dengan perilaku terorisme, bahkan mungkin
juga tidak ada niatan dalam benak mereka untuk memperlebar paham radikalisme
menjadi aksi terorisme.
Namun,
sesungguhnya paham radikalisme yang selalu digerakkan dalam berbagai
momentum, apalagi dalam sesi pergerakannya terselip agenda politik kekuasaan
tertentu, maka tidak menutup kemungkinan akan dimanfaatkan pihak-pihak lain,
terutama kelompok ekstrem yang keberadaannya masih kecil, tetapi suaranya
sangat berisik (noisy minority), untuk menjadikan gerakan radikalisme sebagai
jebakan untuk membuat kegaduhan yang bisa memicu konflik horizontal.
Sebab, ketika
radikalisme selalu dijadikan sebagai wadah pergerakan untuk melakukan
perlawanan terhadap pemerintah, sementara barisan mereka dilingkupi oleh
ambisi kekuasaan, bukan tidak mungkin segala cara hingga yang paling ekstrem
akan dilakukan. Bahkan, sebagaimana terbaca oleh banyak kalangan, radikalisme
yang dikanalisasi dalam berbagai aksi yang berjilid-jilid menyelipkan faktor
produksi (mode of production) kekerasan-baik secara simbolik maupun
fisik-untuk menekan dan mengintimidasi siapa pun yang dianggap berseberangan.
Islamisasi radikalisme
Dengan
menggunakan adagium agama, kekerasan yang diselipkan dalam berbagai
dimensinya bekerja secara sistematis untuk mencapai sebuah kekuasaan yang
diimpikan. Hasilnya, kemenangan pilkada pun sudah diperoleh dan dirayakan
sebagai syukuran politik yang diakui sebagai "berkah Tuhan". Apa
yang terjadi di Jakarta, yang menjadi episentrumen kekuasaan nasional, kian
memberi gambaran sosial yang cukup memprihatinkan. Bahwa di negara kita
radikalisme yang dijadikan sebagai politik identitas sudah sedemikian
complicated dalam menggunakan agama sebagai bayang-bayang pergerakan
sosialnya.
Dengan kata
lain, meminjam istilah Olivier Roy dalam tulisan "Who Are the New
Jihadis?", banyak kelompok revivalis yang menggunakan modus islamisasi
radikalisme (islamisation of radicalism) sebagai cara meraih kekuasaan dan
merebut pengaruh sosial di kalangan masyarakat.
Mereka
menggunakan label "islamisasi" untuk memaksakan kehendak radikalnya
untuk melakukan perlawanan kepada siapa pun yang dianggap tak sejalan dengan
agenda politiknya. Bahkan, adagium "syariatisasi" semakin nyaring
disuarakan agar dijadikan sebagai bangunan konstitusi yang selama ini sudah
disepakati mengacu kepada UUD 1945. Ada pula kelompok lain yang sudah lama
mensistematisasi gerak perlawanan untuk mengganti sistem negara kita kepada
model "khilafah" yang turut memanfaatkan momentum ini.
Dalam kondisi
ini, bila banyak pihak yang menggunakan pola islamisasi terhadap paham
radikalisme yang berkelindan dengan kekuasaan, bukan tak mungkin melahirkan
benih-benih ekstremisme yang lebih masif dan sistematis yang dapat beriringan
dengan terorisme. Sebab, merujuk pada pemikiran Olivier Roy dalam tulisan
tersebut "terrorism does not arise from radicalisation of Islam, but
from the Islamisation of radicalisme".
Mengantisipasi
potret buram paham radikalisme yang secara intensif diresonansikan melalui
momentum Pilkada Jakarta, dan tidak mustahil pula paham radikalisme akan
dijadikan sebagai mekanisme sosial untuk menggerakkan politik identitas atas
nama agama secara frontal, maka pemerintah harus membuat langkah prevensi in
optima forma yang dituangkan dalam regulasi dan peraturan pilkada yang tegas
agar bangunan demokrasi kita tidak semakin dicemari oleh pihak-pihak yang
berpikiran politik sumbu pendek-meminjam istilah Buya Syafii Maarif.
Langkah ini
penting dilakukan, merujuk pada pandangan Sri Yanuarti (peneliti senior
LIPI), agar di berbagai daerah tidak mereplikasi model politik identitas buta
sebagaimana yang terjadi di Jakarta. Sebab, bila politik identitas yang
menggunakan paham radikalisme sebagai modus kapitalisasi isu-isu agama yang
dilakukan di berbagai daerah, maka sendi kehidupan berbangsa dan bernegara
kita lama-lama akan goyah.
Oleh karena itu,
yang perlu direfleksikan secara jernih oleh kita, masih tegakah kita ingin
menggadaikan NKRI yang selama ini sudah dibaluti oleh Pancasila dan UUD 1945
dengan paham radikalisme yang menggunakan corak islamisasi sebagai politik
identitas untuk memperebutkan kekuasaan? Wallahu
a'lam bish shawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar