Bukan
Kepentingan Publik
Bivitri Susanti ; Pengajar Sekolah Tinggi Hukum
Indonesia Jentera; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara Wilayah Jakarta Raya
|
KOMPAS, 05 Mei 2017
Disahkannya
penggunaan hak angket DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi, Jumat
(28/4), sangat kontroversial. Bukan hanya karena keributan yang terjadi
lantaran keputusan tidak diambil secara demokratis. Akan tetapi, secara
substansi penggunaan hak angket ini juga terlihat sangat diwarnai kepentingan
DPR untuk melindungi anggota-anggotanya dari jerat hukum.
Hak angket ini
dilakukan terhadap Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan
dipicu oleh penolakan KPK atas permintaan Komisi III DPR untuk menyerahkan
rekaman pemeriksaan Miryam S Haryani, anggota DPR dari Partai Hanura, setelah
rapat dengar pendapat DPR dengan KPK pada 17-18 April 2017. Pemeriksaan itu
terkait penyebutan nama-nama anggota Komisi III DPR yang-menurut penyidik
KPK-menekan Miryam agar mencabut keterangannya dalam kasus KTP elektronik
(KTP-el).
Hak angket dan politik
Secara
undang-undang, hak angket memang dimiliki oleh DPR untuk melaksanakan fungsi
pengawasan lembaga legislatif. Hak angket DPR merupakan hak DPR untuk
melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang serta
kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang
diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Hak angket diatur
dalam Pasal 70 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU
MD3). Bersama dengan hak angket, tersedia pula hak bertanya atau interpelasi
dan hak menyatakan pendapat.
Kita bisa
berdebat soal "pelaksanaan suatu undang-undang serta kebijakan
pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas
pada kehidupan bermasyarakat". Penafsiran atas suatu pasal memang bisa
dibahas panjang lebar, tetapi penting untuk melihat konsep dan tujuan hak
angket ini serta penerapannya pada kasus KTP-el untuk menilai ketepatan
penggunaannya.
Perbedaan
besar antara hak angket dan kerja-kerja lain dalam fungsi pengawasan DPR
sehari-hari terletak pada kekuatan memaksa yang dimiliki dalam pelaksanaan
hak angket. Berbeda dengan rapat-rapat biasa dalam rangka fungsi pengawasan
DPR, dalam hak angket, DPR bisa memaksa lembaga yang diperiksa menyerahkan
dokumen dan memaksa saksi-saksi untuk hadir.
Perbedaan
kedua terletak pada opini publik yang terbentuk. Hak angket secara politik
dapat membentuk opini masyarakat karena skala kerjanya yang besar. Keluarannya
biasanya berupa kesimpulan dan rekomendasi. Misalnya hak angket Bank Century
pada 2010 yang berakhir dengan voting untuk menyatakan dana talangan Bank
Century menyimpang. Perlu dicatat, sebagian besar rekomendasi hak angket Bank
Century tidak terlalu efektif apabila dibandingkan dengan "drama"
dan ongkos pelaksanaan hak angket itu sendiri.
Penting untuk
digarisbawahi, hak ini tidak termasuk dalam rangkaian proses peradilan (pro
justitia). Tujuan utama hak angket memang biasanya untuk memberi tekanan
politik. Hak DPR untuk menyelidiki, dan bisa diikuti dengan menyatakan
pendapat, dibutuhkan oleh lembaga legislatif mana pun dengan pijakan dasar
perannya sebagai lembaga yang mewakili rakyat. Dalam sistem parlementer,
biasa dikenal dengan nama "parliamentary questioning". Sementara
dalam sistem presidensial, kita bisa melihatnya pada "house
inquiry" di AS sewaktu Menteri Luar Negeri Hillary Clinton dicecar
pertanyaan karena serangan di Benghazi 2012.
Masalahnya,
garis pembatas antara mengawasi dan mendorong kepentingan politik DPR sangat
tipis sehingga ukurannya harus kasuistis. Dalam kasus KTP-el ini, yang perlu
dijadikan batu uji adalah kepentingan langsung DPR dalam kasus ini dan
dampaknya bagi proses penegakan hukum.
Mengacaukan proses penegakan hukum
Anggota DPR
punya kepentingan langsung yang sangat kuat dalam kasus KTP-el. Sudah banyak
nama anggota yang disebut dalam sidang pengadilan, sebab alokasi anggaran
proyek KTP-el tentu saja membutuhkan persetujuan DPR. Kepentingan langsung
ini bahkan tak bisa ditutupi dalam naskah pengajuan hak angket yang dibahas
dalam rapat paripurna 28 April lalu. Tertulis jelas dalam naskah tersebut,
DPR secara khusus menyoroti "persoalan pencabutan BAP oleh Sdri Miryam S
Haryani dalam persidangan kasus E-KTP karena dugaan mendapat tekanan dari 6
(enam) anggota Komisi III DPR RI.. hal tersebut menjadi polemik di masyarakat
dan menempatkan DPR RI dalam sorotan sebagai lembaga yang tidak pro terhadap
program pemberantasan korupsi".
Terlihat jelas
kepentingan DPR untuk melindungi lembaganya meski langkah ini justru semakin
menurunkan wibawa DPR di mata publik. Konflik kepentingan DPR sangat jelas
sehingga permintaan ini sebenarnya sudah melanggar etik.
Naskah
pengajuan hak angket memang menuliskan pula hal-hal lainnya, seperti dugaan
konflik internal di tubuh KPK dan tata kelola informasi publik. Namun,
bukankah hal-hal tersebut dapat diurai dan dijelaskan dalam rapat dengar
pendapat biasa dan tidak memerlukan hak angket? Seperti dijelaskan di atas,
memang salah satu pembeda terpenting hak angket adalah kekuatannya untuk
memaksa dan menekan. Indikasi kepentingan ini juga bisa kita lihat dari
rangkaian peristiwa yang mendahuluinya. Diungkapkan dalam "Diskusi Satu
Meja" yang diulas juga oleh harian Kompas (Selasa, 25 April 2017),
hal-hal tersebut sudah disetujui untuk ditindaklanjuti oleh KPK dalam rapat
dengar pendapat 17-18 April 2017. Pada saat itu, KPK hanya menolak menyetujui
poin keempat, yaitu untuk membuka rekaman pemeriksaan Miryam S Haryani.
Alasannya, rekaman itu sudah merupakan bagian dari proses penegakan hukum.
Memang,
permintaan rekaman pemeriksaan dalam proses penyidikan sebenarnya dapat
mengacaukan proses penegakan hukum. Jika proses penyidikan dapat dibuka
dengan mudah, apalagi oleh lembaga politik, langkah-langkah maupun
argumentasi hukum yang sedang disiapkan oleh lembaga penegak hukum terbaca
dengan jelas. Akibatnya, bisa ada langkah-langkah hukum sampingan, seperti
pencemaran nama baik, yang akan membuyarkan fokus penegak hukum pada kasus
utamanya. Bahkan, bisa jadi ada langkah menyembunyikan ataupun mencelakakan
pihak-pihak yang dianggap bisa membahayakan posisi aktor tertentu. Harus
diingat, kasus KTP-el ini melibatkan banyak aktor politik kelas kakap dan
aktor pendukung modal di belakangnya.
Karena itulah,
bahkan dalam UU tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU No 14/2008)
dinyatakan bahwa informasi yang dapat menghambat proses penegakan hukum
dikecualikan sebagai informasi yang bisa diakses oleh publik. Informasi
semacam ini hanya dapat dibuka oleh penegak hukum semata-mata untuk tujuan
penegakan hukum. Jika mau dibuka, ruang pengadilanlah tempatnya. Salah satu
acuannya adalah rekaman pemeriksaan terkait kasus "Cicak-Buaya"
yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi. Jelas, ruang sidang DPR bukan
tempatnya.
Tidak hanya
dari segi substansi, dari segi prosedur pun keputusan dalam rapat paripurna
tersebut sesungguhnya tidak sah karena tidak sesuai dengan prosedur
pengambilan keputusan di DPR. Pimpinan DPR kelihatannya tidak paham bahwa
pimpinan DPR bukanlah jabatan pimpinan serupa direktur ataupun jabatan
struktural lainnya dalam hal pengambilan keputusan. Pimpinan DPR adalah juru
bicara (speaker of the house) dan pemimpin sidang. Pimpinan DPR bertugas
memandu jalannya sidang agar ada kesepakatan, sedangkan pengambil keputusan
adalah seluruh anggota DPR.
Maka,
sepanjang masih ada anggota yang tidak setuju, keputusan tidak bisa diambil.
Pengambilan keputusan harus diambil dengan kuorum dan dengan kesepakatan
anggota. Tiga fraksi bahkan keluar dari ruang sidang karena keputusan yang
diambil secara terburu-buru tersebut. Dengan demikian, keputusan ini tidak
sah. Anggota dan fraksi yang tidak setuju semestinya melayangkan protes untuk
membatalkan keputusan ini, bahkan bisa mengambil langkah hukum.
KPK tak perlu jawab
Apabila DPR
tak mengacuhkan pertanyaan-pertanyaan konstituennya dan tetap jalan terus
untuk menggunakan hak angket, KPK sesungguhnya punya hak untuk tidak
memberikan dokumen dan menjawab pertanyaan DPR jika terkait dengan penegakan
hukum. Argumentasi yang digunakan KPK sebelumnya mengenai informasi yang
sudah terkait proses penegakan hukum sudah sangat jelas dan tegas. Dalam
negara hukum, bagaimanapun, tekanan politik tidak boleh mengacaukan proses
penegakan hukum.
Penggunaan hak
angket ini terlihat sangat diwarnai oleh DPR yang merasa terusik dengan
penolakan KPK untuk memberikan dokumen yang diminta. Jika model-model tekanan
seperti ini dibiarkan, niscaya pembongkaran kasus yang melibatkan politisi
tidak akan pernah terungkap. Padahal, kita paham, banyak sekali korupsi yang
dilakukan oleh politisi karena keputusan mengenai penggunaan anggaran negara
memang harus dilakukan oleh lembaga politik.
Sekali lagi
publik berada di belakang KPK. Lembaga perwakilan yang menghambat
pemberantasan korupsi telah mengkhianati aspirasi warga dan tidak perlu
didukung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar