NU
dan Semar
Ali Maschan Moesa ; Wakil Rais Syuriah PW NU Jatim;
Guru Besar Sosiologi UIN Sunan
Ampel Surabaya
|
JAWA
POS, 05
April 2017
KONON, Semar adalah anak kedua Sang Hyang Tunggal. Ketika
akan memilih siapa yang harus memimpin dunia, Dia menyelenggarakan sayembara.
Siapa yang mampu menelan bumi dan mengeluarkannya lagi, dialah yang berhak
memimpin dunia. Togog tidak mampu menelannya, bahkan mulutnya sampai robek.
Semar mampu menelannya, tetapi tidak mampu mengeluarkannya lagi. Walhasil,
Batara Guru-lah yang berhasil, tapi tetap ingin tinggal di kayangan untuk
memimpin dunia dengan segala arogansinya.
Semar, yang memiliki nama lain Batara Ismaya, rela harus
turun ke dunia ini untuk menjadi pengampunya dalam rangka hamemayu hayuning
bawana atau baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Semar, meski digambarkan
berwajah jelek, disegani. Juga, nasihatnya diikuti. Batara Guru sering
berbuat salah dalam memimpin, sedangkan Semar tidak. Sebab, Semar hidup
berbaur bersama manusia sehingga keputusannya selalu membumi.
Adalah Sunan Kalijaga yang menambah empat figur dalam
pewayangan. Dalam kitab Mahabharata, tidak akan ditemukan Semar, Gareng,
Petruk, dan Bagong. Semar dari kata Arab sammir yang berarti bergerak cepat.
Nala Gareng dari kata nala khairan yang berarti memperoleh kebaikan. Petruk
berasal dari kata fatruk yang memiliki arti tinggalkanlah. Lalu, Bagong
berasal dari kata bagha yang berarti kejelekan. Dalam konteks budaya itulah
NU menghargai local wisdom warisan Wali Sanga.
Sejarah membuktikan bahwa Sunan Ampel datang dari Campa
pada 1402 di Nusantara ini. Dalam hal ibadah, beliau tidak pernah menggunakan
kata salat, tetapi kata sembahyang seperti waktu leluhur kita masih beragama
Hindu/Buddha. Juga, sembahyangnya di langgar, bukan di masjid atau musala.
Ketika azan selesai dikumandangkan, para wali menggunakan istilah pujian
daripada kata doa. Apalagi, dalam aspek hukum, Imam Syafi’i mempunyai kaidah
al ‘adah muhakkamah (adat bisa dijadikan sumber untuk menetapkan hukum).
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa para wali dalam
berdakwah lebih mengutamakan metode “garam” daripada “gincu”. Maknanya,
mereka sengaja mendahulukan aspek isi daripada kulit atau wadah serta selalu
menghindari unsur pemaksaan terselubung. Tampaknya para wali juga menghindari
apa yang oleh S. Huntington disebut the class of civilization. Output dari
metode tersebut berhasil dengan baik. Buktinya, hampir 99 persen leluhur kita
akhirnya bisa menerima Islam secara sukarela tanpa setetes pun darah mengalir.
Sedangkan saat ini banyak pemimpin yang cenderung menggunakan metode “gincu”
daripada “garam”.
Mari kita perhatikan beberapa term berikut: negara Islam,
politik Islam, ekonomi Islam, asuransi Islam, bahkan ada kisah “radio Islam”
yang dibanting pemiliknya. Singkat cerita, ada seorang pulang haji yang
membeli “radio Islam” di Makkah. Di dalam kamar hotel di Makkah, gelombang
radio apa pun yang dia putar selalu memperdengarkan acara bertema tilawah
Alquran, al hadis, tausiah, dan salawat. Namun, ketika sampai di Indonesia,
setiap memutar gelombang radio, dia tidak menemukan acara keagamaan, kecuali
melulu lagu-lagu dangdut. Walhasil, dia marah, merasa tertipu oleh “radio
Islam” tersebut, lalu dengan sengaja membantingnya sampai hancur.
Pada Rajab 2017 ini NU genap berusia 94 tahun. Kita
ucapkan, “Selamat harlah NU, semoga mampu mengemban misi waratsatul anbiya’
(ahli waris para nabi).” Namun, NU harus memahami ulang esensi dari tujuan
pokok berdirinya. Sebenarnya aliansi para kiai NU itu terjalin sejak mereka
belajar agama di Makkah dan Madinah sekitar 1800-1900. Tercatat, KH Wahab
Hasbullah yang selalu menjadi pemimpin mereka. Hal itu bermula dari
berdirinya SI cabang Makkah pada 1911. Setelah pulang ke tanah air, beliau
mendirikan komunitas Nahdlatul Wathan, Nahdlatut Tujjar, dan Tashwirul Afkar.
Saat itu semangat mereka untuk mendirikan ormas santri sudah sangat mendesak,
tetapi beliau masih menunggu izin dari KH Hasyim Asy’ari dan hadratus syekh
juga sedang menunggu hasil Istikharah gurunya dari Bangkalan, yaitu Syaikhona
Kholil.
Alhamdulillah, hasil Istikharah yang diyakini sebagai izin
dan perkenan langsung dari Allah SWT didapatkan oleh beliau, yaitu surah
Thaha ayat 17-21. Beberapa hari kemudian, KH As’ad Syamsul Arifin membawa
sebuah “tasbih” dari Bangkalan ke Pesantren Tebuireng. Memang yang selalu
menjadi kurir antara Kiai Kholil dan Kiai Hasyim Asy’ari adalah kiai dari
Asembagus, Situbondo, tersebut. Para kiai sepuh menjelaskan, terdapat tiga
misi pokok dari Istikharah tersebut. Yaitu, kata ‘asha atau tongkat Nabi Musa
AS yang dimaknai nasionalisme Indonesia. Kedua, NU harus selalu membela para
fuqara’ dan mustadh’afin. Lalu, misi ketiga adalah spiritualisme agama.
“NKRI yang berdasar Pancasila dan UUD 1945 adalah upaya
final umat Islam untuk mendirikan sebuah negara.” Itulah narasi keputusan
Munas Alim Ulama NU di Pesantren Asembagus, Situbondo, pada 1983. Pada 1935,
dalam muktamar XI di Banjarmasin, awalnya NU memutuskan, kalau saatnya
merdeka, Indonesia harus menjadi darul Islam (negara Islam). Namun, ketika
palu akan diketokkan, Kiai Wahab Hasbullah angkat tangan, menanyakan dasar
Alquran dari keputusan tersebut. Lalu, para kiai menjawab surah Al Baqarah
208. Kemudian, Kiai Wahab bertanya lagi tentang khitab/ayat tersebut
ditujukan kepada siapa. Setelah menelaah lagi beberapa kitab tafsir Alquran,
ternyata para kiai mendapatkan keterangan bahwa sebab turunnya ayat (asbabun
nuzul) tersebut ditujukan kepada para ahli kitab, yaitu Abdullah bin Salam
dan kelompoknya. Di dalamnya dijelaskan, setelah masuk Islam, dia sowan
kepada Rasul SAW untuk memohon izin agar diperbolehkan sembahyang pada hari
Sabtu, bukan Jumat. Lalu, dalam sembahyang itu, mereka tidak membaca Alquran,
melainkan tetap membaca ayat-ayat dalam kitab Taurat.
Selanjutnya, NU membatalkan keputusan tentang darul Islam
dan memutuskan, kalau nanti sudah merdeka, Indonesia harus dikonstruksi
sebagaimana Nabi Muhammad SAW menata masyarakat Madinah (kitabah watsiqah),
yang terdiri atas 47 pasal. Jadi, NKRI dengan kebinekaannya sudah sesuai dengan
contoh nation-state dalam konteks ajaran Islam. Di sinilah NU mendasarkan
nasionalismenya tidak sekadar taklid kepada E. Renan dengan konsep what is a
nation? atau sekadar mengikuti pendapat Ben Anderson dengan imagined
community-nya. Tetapi, NU meyakini bahwa daru al shulh atau negara damai
adalah model nation-state yang sesuai dengan Alquran dan as sunnah sebagai
dasar pokok Islam.
Wallahu a’lam bis-sawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar