Dahlan
dan Kriminalisasi Kebijakan
Augustinus Simanjutak ; Dosen Program Manajemen Bisnis FE
Universitas Kristen Petra
Surabaya
|
JAWA
POS, 06
April 2017
DUA kali sudah (Agustus 2015 dan 2016) Presiden Joko
Widodo (Jokowi) memberikan instruksi kepada kepolisian dan kejaksaan supaya
tidak melakukan kriminalisasi atas diskresi pejabat soal kebijakan
bisnis/ekonomi. Jangan sampai pejabat atau mantan pejabat yang berkreasi
progresif untuk membangun masyarakat dihantui ancaman atau teror pidana.
Sungguh ironis jika pejabat atau mantan pejabat yang
bermaksud menolong dan menyelamatkan warga dikriminalkan. Ketakutan pejabat
atas upaya kriminalisasi bisa membuat serapan anggaran instansi pemerintah
pusat dan daerah rendah.
Dulu pada 2015 publik sempat terkejut mendengar kejaksaan
menetapkan Tri Rismaharini sebagai tersangka dalam pengelolaan Pasar Turi.
Waktu itu memang masa kampanye pilkada di Surabaya. Saat itu sedang
panas-panasnya politik pilwali Surabaya.
Penyidik menjerat Risma dengan pasal 421 KUHP tentang
penyalahgunaan kekuasaan walau negara tidak dirugikan. Pelapor, yaitu PT Gala
Bumi Perkasa (kontraktor Pasar Turi), menilai Risma sewenang-wenang
membiarkan jalan dijadikan tempat penampungan sementara pedagang Pasar Turi.
Ternyata, bagi kepolisian, tuduhan yang terkesan mengadaada itu tidak cukup
bukti.
Akhirnya, kepolisian menerbitkan surat penghentian
penyidikan (SP3). Artinya, kesalahan prosedur langsung hendak dipidanakan
oleh pihak-pihak tertentu yang mungkin punya link dengan kekuatan politik
tertentu.
Kasus serupa dialami mantan Dirut PT Panca Wira Usaha
(PWU) Jatim Dahlan Iskan. Dahlan dituduh menyalahgunakan jabatan atau
wewenangnya sehingga menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau sebuah
korporasi. Menurut jaksa, mekanisme penjualan aset PT PWU tidak sesuai dengan
prosedur. Padahal, Dahlan sudah mendapat izin dari ketua DPRD dan gubernur
Jawa Timur waktu itu.
Anehnya, sejak awal, penyidik hanya memakai tiga alat
bukti sekunder sebagai dasar tuduhan. Yaitu, keterangan saksi, saksi ahli,
dan petunjuk. Sedangkan bukti primer berupa aliran uang atau bukti
permufakatan jahat tidak ada sama sekali selama proses pemeriksaan hingga
persidangan. Hukum Adalah Alat Kebenaran
Sungguh tidak adil jika pejabat pembuat terobosan demi
kepentingan umum dipidanakan. Tuduhan korupsi tanpa bukti primer itu sangat
jahat. Tuduhan adanya kerugian negara berdasar temuan Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) seharusnya tidak bisa serta-merta dijadikan
alat bukti untuk memidanakan pejabat/ mantan pejabat. Apalagi demi
kepentingan rakyat, tidak ada istilah rugi.
Proses hukum yang terkesan dipaksakan jelas merugikan sang
pejabat beserta keluarganya, terutama secara batin atau perasaan. Penegakan
hukum model demikian sudah tergolong pelanggaran hak asasi.
Masyarakat bisa menilai bahwa pejabat atau mantan pejabat
yang progresif plus antikorupsi sedang dizalimi lewat proses hukum yang
rancu. Penegakan hukum yang hanya berfokus pada unsur penyalahgunaan wewenang
(ranah hukum administrasi) memang berbahaya jika dijadikan celah untuk
membalas atau menjatuhkan pihak lain.
Akibatnya, aparat penegak hukum tidak lagi objektif dalam
menelisik ada tidaknya niat jahat (mens
rea) dalam perkara yang dituduhkan. Aparat hanya melihat kewenangan dan
prosedur yang dijalankan seseorang (paradigma formalisme). Padahal, pejabat
yang terpaksa melakukan diskresi demi kepentingan rakyat tidak pantas dituduh
penjahat. Hukum seharusnya mengabdi pada keadilan substansial, tidak sekadar
prosedural/formalitas.
Dikhawatirkan, aparat hukum (kejaksaan) belum independen
dalam menangani perkara karena terikat pasal 35 UU Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan. Sebab, pasal itu mewajibkan jaksa mendengar saran dari
badan-badan kekuasaan lainnya terkait dengan kasus tertentu (asas
oportunitas). Di sinilah penegakan hukum bisa dijadikan alat politik. Dalam
rezim pidana administrasi, pejabat yang secara substansial tak bersalah bisa
dikriminalkan.
Sementara itu, penjahat yang melakukan korupsi secara
sistematis bisa lolos hanya dengan dalih tidak ada unsur penyalahgunaan
wewenang (korupsi legal). Karena itu, jaksa seharusnya tidak hanya menekankan
unsur penyalahgunaan wewenang dalam pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi. Penindakan korupsi harus
berfokus pada objek kriminal (uang/ aset negara).
Itulah yang diterapkan KPK dalam menangkap basah para
koruptor, yakni menelusuri bukti-bukti aliran uang korupsi/suap kepada
pejabat yang dituduh melakukan korupsi. Jadi, kalau suatu prosedur yang lazim
(kebiasaan) terpaksa dilanggar (secara progresif) oleh pejabat demi inovasi
dan kreativitas kebijakan serta menguntungkan rakyat, dia sungguh tidak patut
dituduh korupsi. Jaksa tidak boleh menggeser parameter korupsi dari karakter
hukum pidana (menelisik aliran uang/aset) ke parameter hukum administrasi
yang objeknya hanya wewenang.
Jadi, jika pejabat/mantan pejabat menerobos aturan secara
positif, atau bahkan melakukan mismanajemen tapi tidak menguntungkan diri
atau orang lain, dia tidak patut dijadikan tersangka. Penetapan seseorang
sebagai tersangka atau terdakwa harus cermat. Yaitu, ada korban (baik warga
maupun negara), tidak bernuansa politis, berasas ratio-principle (merupakan
upaya terakhir), dan didukung masyarakat ( public support).
Asasnya, suatu perbuatan (kebijakan) tidak patut
dinyatakan salah jika maksud (niat) perbuatan itu tidak salah. Tanpa syarat
itu, penegakan hukum bisa menjadi teror bagi pejabat/mantan pejabat yang
berpikiran progresif dan antisuap. Hukum seharusnya menuntun penegak hukum
pada kebenaran, bukan jadi alat pembunuhan karakter seseorang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar