Jakarta,
Pusat Peradaban Masyarakat Madani
Andreas Kristianto ; Penggiat Masyarakat Madani dan Keberagaman
di Surabaya
|
JAWA
POS, 04
April 2017
Konflik berbasis SARA belakangan sering terjadi. Dipicu
ucapan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terkait surah Al Maidah 51 yang
melahirkan demo 411, 212, dan 313. Itu merupakan contoh sederhana betapa
konflik di tanah air masih begitu mudah untuk disulut dan dikobarkan.
Distorsi akut yang ditandai dengan klaim-klaim kebenaran
atas kitab suci, eksklusivisme yang berlebihan, dan bahkan penindasan
terhadap perbedaan memperuncing adanya kesenjangan atau ketidaksesuaian
(discrepancy) nilai-nilai dasar agama yang rahmatan lil ’alamin dengan
aktualisasinya. Kalau discrepancy dibiarkan merongrong, ancaman ”jurang”
konflik lahir tanpa kendali.
Saya percaya Jakarta bukan hanya pusat ibu kota dan
jantung perekonomian, tetapi juga pusat peradaban negeri ini. Bicara soal
pusat peradaban tentu bicara tentang masyarakat madani. Masyarakat yang
tumbuh dan memiliki kesadaran etis serta tanggung jawab untuk memberlakukan
nilai-nilai peradaban yang bersumber dari ajaran-ajaran agama (Syafi’i Anwar,
1999:323).
Selain penerapan ajaran agama, konsep masyarakat madani
adalah menciptakan masyarakat yang adil (QS Al Baqarah 143), kuat dalam
penegakan hukum, dan tidak ada korupsi. Kiblatnya adalah menjadi agen
perubahan dan mampu mengatur diri sendiri (self-regulating); berdikari secara
ekonomi, politik, budaya, dan sosial.
Masyarakat Jakarta adalah simbol demokrasi Indonesia, yang
memiliki keteguhan wawasan etis dan moral dari setiap perilaku insan
politiknya.
Jiwa keadaban selalu lahir dari sikap tulus untuk
menghargai sesama. Nurcholish Madjid (Cak Nur), misalnya, mengatakan bahwa
masyarakat beradab sangat menjunjung tegaknya nilai-nilai hubungan sosial
yang luhur, tidak memaksakan kehendak untuk reputasi dan perebutan konstituen
politik kekuasaan.
Saya adalah seorang Nasrani, tetapi guru spiritualitas
saya justru banyak dari kalangan Islam. Ajaran Nabi Muhammad yang saya pelajari
dari buku-buku Gus Dur dan Cak Nur bukannya Muhammad yang memaksakan agama
untuk konversi keimanan. Sejak kecil saya mempelajari Islam yang selalu
menegakkan persaudaraan.
Problem bangsa yang mendaku negara beragama adalah faktor
truth claim secara berlebihan. Mengabsolutkan tafsir tekstual dengan
melepaskan konteks asbabun nuzul-nya sekaligus konteks riil keindonesiaan.
Yang terjadi adalah timbulnya klaim kebenaran yang tidak proporsional.
Padahal, Islam Nusantara adalah Islam yang mengajarkan untuk mencari titik
temu lewat dialog konstruktif dan berkesinambungan.
Pencarian titik temu sekarang dimungkinkan lewat berbagai
cara. Salah satunya adalah lewat pintu masuk etika. Lewat pintu ini, rasa
religiusitas umat beragama terdorong untuk tidak menonjolkan having
religion-nya.
Suri Teladan Nabi
Dalam hal toleransi, Nabi Muhammad memberikan teladan
inspiratif bagi para pengikutnya. Nabi pernah dikucilkan dan bahkan diusir
dari tanah tumpah darahnya, yaitu Makkah. Beliau harus hijrah ke Madinah
untuk beberapa lama dan kemudian kembali ke Makkah. Tidak ada langkah balas
dendam sama sekali dari Nabi. Orang-orang yang dulu mengusir Nabi juga tidak
dibenci. Nabi hanya berkata kepada mereka, ”Antum tulaqa (kamu sekalian
bebas).”
Nabi tidak berpolemik dan berdebat soal truth claim,
filosofi teologis, dan doktrin. Yang beliau lakukan adalah agree in
disagreement. Beliau tidak memaksakan agama kepada orang lain, tetapi sangat
menghormati eksistensi dan keberadaan agama-agama selain Islam (Amin
Abdullah, 1996:74).
Etika Islam sangat mengandung historisitas keteladanan
yang terpancar dari perilaku Muhammad. Etika yang menjunjung kemanusiaan dan
menepikan sekat-sekat teologis yang membuat ”tembok” kebencian dan prasangka.
Menurut perspektif Islam, konsepsi etika keberagaman, khususnya menyangkut
perbedaan agama, bersifat terbuka dan dialogis. Amin Abdullah mengatakan
bahwa panggilan untuk mencari titik temu (kalimatun sawa) adalah tipikal
model panggilan Alquran.
Jika ada hambatan atau anomali-anomali di sana-sini,
penyebab utamanya bukan inti ajaran Islam itu sendiri yang bersifat intoleran
dan eksklusif. Tetapi lebih banyak ditentukan situasi histori, ekonomi, dan
politik komunitas muslim di berbagai tempat. Kompetisi menguasai
sumber-sumber ekonomi, kekuasaan politik, dan hegemoni kekuasaan jauh lebih
dominan daripada substansi inti Islam. Sejatinya, bicara soal Islam adalah
bicara tentang perjuangan untuk kemuliaan peradaban (Munawar A.M., 1997).
Nabi kerap kali melakukan utang piutang dengan tetangga,
baik Yahudi di Makkah maupun di Madinah. Nabi juga menyuruh
sahabat-sahabatnya ”berdiri” ketika ada jenazah orang Yahudi yang diusung ke
pemakaman sebagai bentuk penghormatan. Dalam Islam terdapat aturan
bertetangga yang baik (huquq al jiwar) yang harus dipatuhi. (M. Tholchah
Hasan, 1997:79).
Menuju Masyarakat Madani
Sejatinya, kita pernah mengarungi sejarah konflik, baik di
zaman Nabi maupun di Indonesia itu sendiri, yang tentu konflik selalu
mencederai keberagaman dan semangat persaudaraan bangsa. Mulai konflik Timor
Timur, Situbondo, Ambon, hingga Poso yang semua melibatkan umat Islam dan
Kristen. Saya berkesimpulan, konflik yang terjadi di tanah air pada awalnya
lebih disebabkan faktor sosial ekonomi, yang dalam perkembangannya agama
dijadikan label atau simbol, bahkan komoditas politik, untuk memperkuat
solidaritas kelompok yang eksklusif. Sensitivitas agama dipakai untuk
menyulut emosi massa dan semua itu menyumbang dan memperbesar eskalasi
konflik itu sendiri.
Semua kelompok umat beragama hendaknya mengambil pelajaran
berharga dari konflik-konflik yang destruktif tersebut. Sikap eksklusif,
penafsiran parsial dan tidak proporsional, serta klaim-klaim kebenaran yang
berlebihan terhadap agama hendaknya ditinggalkan. Sebaliknya, sikap yang
inklusif, pluralistis, humanistis, dan toleran lebih dikedepankan dalam
membangun masyarakat madani.
Dengan mengutamakan semangat religio etik, bukan makna
literal teks, upaya penafsiran agama akan hidup secara kreatif dan
konstruktif untuk bagian peradaban kemanusiaan yang universal. Lalu, selain
itu, mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan
konservatisme dan anarkisme adalah tugas penggerak-penggerak civil society
yang tujuannya adalah membangun kultur sosial dan politik yang adil dan
manusiawi. Hanya dengan demikianlah, Jakarta menjadi pusat peradaban anak
bangsa. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar