Membangun
Desa secara Inklusif
Bambang Ismawan ; Pendiri dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Bina
Swadaya
|
KOMPAS, 31 Maret 2017
Permasalahan perdesaan lambat laun kian kompleks dan
berlapis-lapis. Kemiskinan, ketergantungan, ketertinggalan, sempitnya lahan
pertanian, rendahnya produktivitas, rendahnya kualitas sumber daya manusia,
dan pengangguran tak kentara kiranya sudah menjadi masalah khas perdesaan.
Permasalahan itu kemudian berkembang lagi dengan
ketunakismaan (landlessness), menajamnya ketimpangan, melemahnya kohesi sosial,
dan eskalasi ancaman bencana lingkungan. Bakal bertambah runyam jika,
misalnya, korupsi ikut merambah daerah perdesaan bersamaan dengan mengalirnya
sejumlah besar dana ke desa-desa.
Kemiskinan perdesaan itu sendiri tidaklah sesederhana
ungkapannya karena di dalamnya bisa tercakup gizi buruk; rumah tak layak
huni; kurangnya akses terhadap layanan pendidikan, kesehatan, air bersih, dan
sanitasi lingkungan.
Kompleksitas permasalahan perdesaan menjadikan tidak ada
satu pun pendekatan tunggal yang dapat diklaim sebagai solusi paling mujarab.
Kehadiran Dana Desa tak serta-merta mampu mengatasi berbagai permasalahan
perdesaan yang cenderung akumulatif, berkarat, dan telah berpuluh-puluh tahun
lamanya.
Pendekatan inklusif
Boleh jadi dibutuhkan waktu cukup panjang dan berbagai
pendekatan untuk diintegrasikan dan disinergikan guna mengatasi masalah
perdesaan dan mereformasi desa-desa kita. Salah satunya adalah pendekatan
inklusif. Pendekatan ini dapat dilaksanakan secara simultan dengan
pendekatan-pendekatan lainnya, termasuk di antaranya pendekatan teknologi dan
pendekatan kewirausahaan sosial.
Melalui pendekatan inklusif, seluruh anggota komunitas
desa, baik petani, nelayan, buruh tani, perajin, kaya, miskin, bahkan
kelompok difabel, terlebih kaum perempuan, diberikan peluang yang sama untuk
terlibat dan berpartisipasi dalam membangun desa, termasuk dalam pembangunan
sosial dan pemberdayaan kelompok rentan, melalui suatu proses yang
transparan, partisipatif, dan demokratis.
Proses itu dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa dikenal sebagai musyawarah desa. Para warga desa secara kolaboratif dan
kolektif menentukan nilai-nilai dan kebutuhan mereka sendiri serta
mengartikulasikan tujuan dari program-program yang dikehendaki beserta
cara-cara mencapainya.
Dengan pendekatan dan proses seperti itu, para warga dari
kelompok rentan, yang selain miskin mungkin juga kurang berpendidikan serta
kaum perempuan desa, akan merasa lebih ”dimanusiakan” dan dihargai sebagai
sesama warga desa yang ikut menentukan nasib desanya sendiri.
Partisipasi seluruh warga desa dengan didampingi dan
difasilitasi oleh para ahli dan pemerintah desa, serta pemerintahan pada
level di atasnya, akan mengawalisuatu proses pembangunan desa secara
inklusif.
Pendekatan tersebut hendaknya juga diutamakan dalam
pengelolaan Dana Desa untuk pembangunan desa yang sesuai dengan kebutuhan
warga, pemberdayaan masyarakat, penerapan teknologi tepat guna, upaya
konservasi lingkungan, mitigasi bencana lingkungan, dan pengembangan pranata
sosial-ekonomi desa, khususnya badan usaha milik desa (BUMDesa) dan koperasi
berbasis warga perdesaan serta kelompok-kelompok swadaya masyarakat.
UU No 6/2014 telah memberikan solusi bahwa desa bisa
mendirikan BUMDesa cukup melalui musyawarah dan dikukuhkan dengan peraturan
desa.
BUMDesa dan koperasi
Kelompok rentan perdesaan, khususnya petani kecil dan
buruh tani, sangat mungkin tidak memiliki akses untuk memberikan kontribusi
signifikan dalam penyertaan modal BUMDesa, sebagaimana kelompok elite desa
dan pemerintah desa.
Akan tetapi, setidaknya mereka akan dapat menerima manfaat
dalam bentuk harga produk dan rantai pasok yang lebih adil, biaya input dan
biaya pemasaran yang lebih ekonomis, serta program-program bantuan sosial
tertentu, bahkan tersedianya lapangan pekerjaan sejalan dengan berkembangnya
BUMDesa tersebut.
UU No 6/2014 secara implisit menghendaki BUMDesa hadir
sebagai lembaga kewirausahaan sosial perdesaan.
Selain itu, kelompok rentan perdesaan juga dapat membangun
wahana pemberdayaan dengan membentuk koperasi berbasis kelompok-kelompok
swadaya. Sebagai catatan, tentu saja koperasi ini tidak menafikan penyertaan
modal dari kelompok elite desa ataupun pemerintah desa.
Koperasi ini dapat menggarap bidang-bidang usaha
penyediaan bahan-bahan pokok dan layanan keuangan mikro, sedangkan BUMDesa
mengelola sumber daya alam, layanan umum, dan penyediaan sarana produksi
pertanian, serta penyaluran program-program bantuan dari pemerintah pusat,
provinsi, atau kabupaten.
Bukan itu saja, kelompok rentan perdesaan, tak terkecuali
perempuan, memiliki peluang untuk memperoleh pekerjaan dan meningkatkan
pendapatan dari proyek-proyek infrastruktur fisik perdesaan yang dilaksanakan
setiap tahun secara swakelola dan gotong royong.
Dengan demikian, akanterbangun suatu pola alokasi sumber
daya dan distribusi pendapatan yang adil, ketika kelompok elite desa akan
memperoleh tambahan pendapatan dari hasil ”urun” modalnya di BUMDesa,
sementara kelompok-kelompok rentan diberdayakan melalui koperasi, peluang
pekerjaan dari berkembangnya BUMDesa, dan dari pelaksanaan proyek-proyek
pembangunan infrastruktur fisik perdesaan.
Masih ada lagi manfaat lainnya, yakni terbukanya
peluang-peluang usaha dengan dana bergulir dan layanan keuangan mikro serta
program-program pemberdayaan masyarakat.
Sinergi antara BUMDesa yang berkarakter wirausaha sosial
dan koperasi berbasis warga desayang berkarakter wirausaha kolektif,
bersamaan dengan pemanfaatan Dana Desa secara efektif baik untuk pembangunan
desa maupun pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan inklusif, dan disokong
oleh pemerintahan desa dengan tata kelola yang baik, akan memberikan jaminan
terbebasnya desa-desa dari keterbelakangan dan kemiskinan serta terbangunnya
desa-desa yang maju, mandiri, dan sejahtera.
Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar