Proporsionalitas
Kursi Parpol di DPR
Heroik Mutaqin Pratama ; Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan
Demokrasi (Perludem)
|
KOMPAS, 29 Maret 2017
Menambah jumlah kursi DPR menjadi salah satu wacana yang
mencuat dalam RUU Pemilu. Fraksi Partai Gerindra, misalnya, mengusulkan
penambahan 10 kursi dari 560 menjadi 570. Sementara Fraksi Partai Kebangkitan
Bangsa mengusulkan 619 kursi.
Munculnya daerah pemekaran baru dan tidak setaranya antara
jumlah anggota DPR dan jumlah penduduk menjadi dua alasan yang
melatarbelakangi munculnya wacana ini.
Akar pangkat tiga
Rein Tageepara dalam teorinya, the cube root of
population,menawarkan rumus matematis akar pangkat tiga dari jumlah penduduk
dalam menentukan jumlah kursi DPR.
Jika merujuk pada formula hitung ini, maka dari
237.556.363 jumlah penduduk di Indonesia hasil sensus tahun 2010, seharusnya
terdapat 619 kursi DPR, bukan 560 kursi.
Meski demikian, rumus akar pangkat tiga bukanlah
satu-satunya tolok ukur utama untuk menentukan jumlah kursi anggota
legislatif di suatu negara. Terdapat banyak faktor di luar angka matematis
yang menjadi indikator tertentu, seperti konteks sejarah, besarnya negara,
geografis, jumlah wilayah administrasi, ataupun konsensus tertentu pembuat
undang-undang.
Hal itu bisa dibuktikan dari banyaknya negara yang jumlah
kursi dengan jumlah penduduknya tidak sesuai dengan akar pangkat tiga.
Berdasar studi yang dilakukan The Ace Electoral Knowledge
Network (www.aceproject.org), dari 111 negara, hanya Norwegia yang jumlah
penduduk dan jumlah kursi DPR sesuai dengan akar pangkat tiga. Selebihnya ada
yang kurang dan ada juga yang melebihi hasil akar pangkat tiga.
India, misalnya, jika menggunakan rumus akar pangkat tiga
dari 1.169.850.000 jumlah penduduk di India, maka seharusnya kursi lok sbha
atau DPR di India 1.054 bukan 552.
Begitu pula Amerika Serikat. Seharusnya terdapat 552 kursi
di house of representatives,bukan 435. Akan tetapi, berdasarkan konstitusi AS
1911, penentuan jumlah kursi ditetapkan berdasarkan fixed seat.Mengubah
jumlah kursi DPR di AS harus melalui amandemen konstitusi.
Pada sisi lain, terdapat pula kursi DPR yang jumlahnya
melebihi hasil akar pangkat tiga. Jerman, misalnya, akar pangkat tiga dari
82.002.000 penduduk di Jerman adalah 434 kursi. Realitasnya Jerman
mengalokasikan kursi DPR 622.
Italia pun demikian. Jika dihitung menggunakan rumus
Tageepara, seharusnya jumlah kursi DPR di Italia sebanyak 392, bukan 630
kursi, sehingga terdapat 238 kursi DPR berlebih di Italia.
Realokasi kursi
Di tengah banyak negara memiliki caranya masing-masing
selain akar pangkat tiga. Dalam konteks Indonesia, menambah jumlah kursi DPR
sesuai akar pangkat tiga tidaklah relevan. Itu akan menambah beban anggaran
negara yang tentunya berseberangan dengan semangat efisiensi dan efektivitas.
Jauh dari itu, proporsionalitas alokasi kursi DPR ke provinsi sendiri masih
belum terjamin.
Pada Pemilu 2014 alokasi kursi ke provinsi serta
batasan-batasan daerah pemilihan sudah ditentukan dalam UU No 8/2012. Di
bawah mekanisme fixed seat ini, distribusi jumlah kursi DPR ke masing-masing
provinsi tidak setara dengan jumlah penduduk di provinsi. Padahal,
proporsionalitas jumlah kursi ke provinsi menjadi suatu keniscayaan dalam
sistem pemilu proporsional.
Alhasil terdapat beberapa daerah yang mengalami jumlah
kursi berlebih atau over representated dan terdapat juga provinsi yang
kekurangan kursi alias under representated. Hal ini berdasarkan hasil hitung
ulang yang dilakukan oleh Perludem dengan menggunakan formula kuota hare atau
yang lebih dikenal dengan bilangan pembagi pemilih, serta basis data
kependudukan sensus di tahun 2010. Terdapat delapan provinsi yang kekurangan
kursi dan sembilan provinsi memperoleh kursi berlebih, sedangkan sisanya
setara antara jumlah penduduk dan kursi.
Sebagai contoh Provinsi Kepulauan Riau dengan jumlah
penduduk 1.685.698 berhak memperoleh empat kursi DPR. Tetapi, UU No 8/2012
hanya mengalokasikan tiga kursi. Implikasinya satu kursi DPR di Provinsi
Kepulauan Riau setara dengan 561.899 jumlah penduduk di Kepri. Padahal,
rata-rata nasional satu kursi DPR hanya 405.335 penduduk. Berbeda dengan
Kalimantan Selatan yang memperoleh kursi berlebih.
Dari 3.626.119 penduduk di Kalimantan Selatan, seharusnya
Kalsel memperoleh delapan kursi DPR. Akan tetapi, UU Pemilu Legislatif
menetapkan 11 kursi yang berarti satu kursi DPR di Kalsel untuk 329.647
penduduk.
Dari sinilah kemudian realokasi kursi DPR ke provinsi
secara proporsional berdasarkan one person, one vote, one value jauh lebih
utama dibandingkan dengan menambah jumlah kursi.
Selain menjaga kesetaraan representasi antar-provinsi,
penataan ulang jumlah kursi dapat mempermudah kerja anggota DPR yang selama
ini memiliki cakupan wilayah dapil luas dan jumlah konstituen yang banyak.
Jika diredistribusi ulang, dapat meningkatkan kedekatan wakil rakyat dengan
rakyatnya.
Dari kursi berlebih
Lalu, bagaimana dengan daerah pemekaran baru? Provinsi
Kalimantan Utara dapat memperoleh kursi dari provinsi yang memperoleh kursi
berlebih. Begitu pula dengan WNI di luar negeri yang selama ini kursinya
digabung dengan DKI Jakarta. Padahal, persoalan dan kebutuhan WNI di luar
negeri tidaklah sama dengan dalam negeri. Sudah sepatutnya dialokasikan kursi
khusus dapil luar negeri.
Adapun mekanisme untuk menata ulang kursi ini sebaiknya
jumlah kursi di setiap dapil tidak lagi menjadi lampiran UU, tetapi
diserahkan ke KPU dan UU untuk mengatur prinsip pengalokasian dan
pembentukannya seperti kesetaraan penduduk, integralitas, dan kohesivitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar