”Gross
Split” sebagai Alternatif
Junaidi Albab Setiawan ; Advokat dan Pengamat Hukum Migas
|
KOMPAS, 31 Maret 2017
Pola cost recovery (pengembalian biaya operasi) kepada
investor dalam kontrak pertambangan kembali mengemuka di tengah situasi
kesulitan pendanaan pembangunan yang sedang dihadapi negara. Untuk menghemat
pengeluaran, pemerintah tak ingin lagi mengobral cost recovery, tetapi tetap
berharap investasi di bidang minyak bumi terus meningkat. Salah satu cara,
menawarkan kontrak bagi hasil gross split melalui Peraturan Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 8 Tahun 2017 yang dinilai tidak
merepotkan dan membebani negara.
Di atas kertas, cost recovery yang tinggi akan berakibat
pada berkurangnya pendapatan negara seiring dengan berkurangnya bagian
negara. Sebaliknya, semakin kecil cost recovery ,semakin besar bagian negara.
Namun, hukum sebab-akibat itu ternyata tidak serta-merta berlaku, menekan
cost recovery di tengah situasi ketidakpastian harga minyak dunia justru
membuat investor semakin tidak tertarik berinvestasi dan produksi minyak
tetap menurun.
Dalam situasi sekarang, pemerintah harus berhati-hati
mengambil jalan tengah kepentingan negara sebagai penguasa migas berhadapan
dengan kepentingan investor. Tentu saja dengan tetap memperhitungkan sifat bisnis
minyak yang unik karena mahal, rumit, dan berjangka waktu lama. Semangatnya
bukan semata-mata memperkecil atau bahkan menghilangkan cost recovery,
melainkan harus lebih fokus pada pengendalian, efisiensi, dan pengawasan.
Operasi perminyakan Indonesia saat ini lebih banyak
memilih model hubungan kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC).
PSC adalah model kerja sama buah pemikiran bangsa Indonesia. Dulu, PSC secara
tegas dipilih sebagai pilihan model hubungan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1971 tentang Pertamina dan selanjutnya diatur lebih rinci dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 35 Tahun 1994.
PSC diatur dalam Pasal 6 Ayat 1 UU No 22/2001 tentang
Migas. Pasal ini mengatur bisnis hulu migas dilaksanakan dan dikendalikan
melalui kontrak bagi hasil atau kontrak lain yang paling menguntungkan
negara. Saat ini PSC masih dinilai sebagai model yang paling menguntungkan
karena negara terbebas dari risiko rugi di tahap eksplorasi dan eksploitasi.
Modal yang ditanggung oleh kontraktor dihitung sebagai biaya operasi yang
hanya dikembalikan jika kegiatan usaha hulu menghasilkan produksi komersial.
Migas adalah kekayaan alam yang langsung ”dikuasai” oleh
negara. Hak menguasai negara ini selanjutnya diimplementasikan melalui
mekanisme ”kuasa pertambangan”, di mana pemerintahlah yang bertindak sebagai
wakil negara. Dengan demikian, kontrak bagi hasil sejatinya adalah pertemuan
antara negara yang diwakili pemerintah berhadapan dengan perusahaan
(kontraktor kontrak kerja sama/K3S). Perusahaan hanyalah kontraktor negara
yang bekerja untuk negara.
Kontraktor wajib membawa modal dan teknologi serta
menanggung risiko operasi perminyakan dalam suatu wilayah kerja. Biaya
operasi yang digantikan termasuk biaya-biaya dalam kegiatan eksplorasi dan
kegiatan produksi. Biaya operasi minyak inilah yang menjadi salah satu
komponen yang akan menentukan besaran bagi hasil yang menjadi bagian negara
dan kontraktor. Artinya, ”pendapatan kotor” kontraktor minyak berasal dari
bagian bagi hasil yang diterima setiap pihak, ditambah biaya operasi sehingga
cost recovery merupakan konsekuensi logis sebagai kompensasi yang adil bagi
kontraktor karena telah mengambil risiko rugi di depan.
Kendalikan dan awasi
Cost recovery selama ini cenderung membengkak, contohnya
cost recovery kepada K3S tahun 2015 yang justru melebihi penerimaan negara,
mencapai 13,9 miliar dollar AS atau lebih tinggi dibandingkan dengan
penerimaan negara bukan pajak (PNBP) migas tahun sebelumnya yang 12,86 miliar
dollar AS.
Selain itu, temuan hasil pemeriksaan dengan tujuan
tertentu (PDTT) yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan
sumber kecurangan cost recovery terutama menyangkut investment cost recovery
dan interest cost recovery yang tak sesuai dengan persetujuan Satuan Kerja
Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) serta
biaya tunjangan ekspatriasi untuk tenaga kerja asing. Kontraktor
berkecenderungan ingin mengklaim semua pengeluaran sebagai cost recovery,
padahal tak semua item biaya bisa dimasukkan dalam kategori yang boleh
diganti. Selain itu, BPK menemukan adanya penggelembungan (mark-up) klaim
cost recovery yang ditagihkan ke negara.
Penggelembungan cost recovery tahunan ini menjadi modus
sejak lama dan belakangan justru mengalami kenaikan sejak 2014. Sebelum
periode tersebut, penggelembungan klaim cost recovery berada di bawah Rp 1
triliun, sebagaimana dilaporkan Indonesia Corruption Watch (ICW). ICW
mengungkap indikasi penyimpangan penerimaan minyak dalam negeri pada
2000-2007 mencapai Rp 40 triliun dari cost recovery (Kompas, 19/6/2008).
Pada tahun fiskal 2011 angka penggelembungan klaim
mencapai Rp 0,28 triliun, kemudian pada 2012 dan 2013 melonjak menjadi Rp
0,86 triliun dan Rp 0,99 triliun. Bahkan, pada 2014 menembus Rp 5,14 triliun
dan pada tahun fiskal 2015 tercatat Rp 3,89 triliun (Kompas, 12/5/2016).
Kontrak bagi hasil model cost recovery hanya perlu diawasi
agar tidak bocor. Mengingat dalam sistem ini K3S hanyalah kontraktor, maka
jika terdapat kebocoran, yang harus diawasi semestinya bukan hanya K3S,
melainkan juga pengawasnya, yakni SKK Migas dan Kementerian ESDM sebagai
pemegang otoritas serta DPR terkait fungsi dalam penganggaran, juga
kemungkinan adanya intervensi.
Mengapa demikian? Pemerintah melalui Peraturan Presiden No
9/2013 membentuk SKK Migas yang bertanggung jawab langsung kepada presiden
untuk menyelenggarakan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak. Cost recovery
hanya dapat dikembalikan kepada K3S setelah dapat persetujuan SKK Migas yang
memiliki otoritas untuk menilainya, sedangkan SKK Migas adalah satuan khusus
di bawah Kementerian ESDM. Sementara DPR bertanggung jawab berkaitan dengan
fungsi penganggaran (budgeting) dan pengawasan yang disandangnya. DPR harus
ketat mengawasi cost recovery agar tak mengganggu anggaran. Untuk itu perlu
kejelian, ketelitian, dan kejujuran dari pemegang otoritas dalam bisnis hulu
migas.
Alternatif ”gross split”
Untuk mengatasi permasalahan seputar cost recovery,
pemerintah menerbitkan Permen ESDM No 8/2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross
Split. Dalam sistem ini pembagian produksi gross (kotor) dilakukan tanpa
mekanisme pengembalian biaya operasi. Dengan sistem ini, risiko produksi
ditanggung sepenuhnya oleh kontraktor sehingga pemerintah tidak perlu
repot-repot dan tidak perlu membayar cost recovery. Pilihan itu dianggap oleh
pemerintah lebih praktis dan efisien. Keterlibatan pemerintah jauh berkurang,
efisien, serta mengurangi kerumitan audit, birokrasi, dan ”lobi-lobi”.
Namun, selain aspek praktis di atas, perlu dipertimbangkan
bahwa sistem ini akan berakibat pada kontrol negara terhadap produksi minyak
dan kontrol negara atas pengelolaan reservoir jadi berkurang. Efisiensi yang
diusung pemerintah akan berakibat rencana meningkatkan kegiatan eksplorasi
tiga kali lipat dalam waktu lima tahun ke depan terabaikan karena kontraktor
lebih fokus memperbesar produksi untuk penerimaan daripada berisiko
mengeluarkan biaya untuk eksplorasi.
Selain itu, EOR (enhance recovery) dan lapangan marginal
akan sulit dikembangkan karena membutuhkan biaya besar, sedangkan tingkat
keuntungan dari investasi (internal rate of return/IRR)-nya kecil sehingga
bertolak belakang dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang
menginginkan peningkatan produksi. Ditambah pengembangan SDM lokal akan
terhambat, transfer teknologi dan tingkat pemakaian komponen dalam negeri
(TKDN) akan sulit diimplementasikan (Andang Bachtiar, 2016).
Potensi terjadinya kebocoran juga cukup tinggi, mengingat
besaran bagi hasil antara bagian negara dan bagian kontraktor tidak sama pada
setiap wilayah kerja. Besaran bagi hasil ini bergantung pada negosiasi yang
mempertimbangkan komponen variabel berupa besarnya cadangan migas, lokasi,
kondisi dan kriteria, tingkat kesulitannya, serta jenis lapangan migas apakah
konvensional atau non-konvensional, dan komponen progresif yang terdiri dari
produksi dan harga minyak bumi. Besaran bagi hasil yang tertulis dalam Permen
No 8/2017—untuk minyak bagian negara 53 persen, kontraktor 47 persen, untuk
gas bagian negara 58 persen, kontraktor 42 persen—hanyalah patokan. Dalam
proses negosiasilah kemungkinan intervensi dan penyalahgunaan kewenangan akan
terjadi dan dampaknya berlangsung puluhan tahun sesuai dengan jangka waktu
kontrak. Selain itu, sistem ini tentu tak stabil karena mengikuti fluktuasi
harga dan besaran produksi.
K3S adalah badan usaha yang pada umumnya berpikir praktis
ekonomis untuk mengejar keuntungan. Badan usaha rela menanggung semua risiko
produksi serta tak mendapatkan cost recovery, tentu dengan syarat bebas dari
pengekangan berupa rumitnya persyaratan yang menghambat produksi. Maka,
mengubah sistem di tengah UU Migas Tahun 2001 sebagai aturan utama yang masih
labil dan situasi ketidakpastian harga minyak dunia adalah ide pragmatis yang
emosional. Kebocoran cost recovery bukanlah soal lemahnya sistem, melainkan
lebih disebabkan lemahnya pengawasan dan integritas oknum pelaksananya.
Kedaulatan energi
Mengingat begitu eratnya hubungan antara besaran cost
recovery dan APBN, maka menjaga komitmen moral para petugas pengendali dan
pengawas menjadi sangat menentukan. Temuan dan hasil audit BPK ataupun BPKP
mengindikasikan penyimpangan, penyalahgunaan, dan lemahnya pengawasan. Maka,
perbaikan semestinya lebih fokus pada pengendalian, pengawasan, dan mendorong
efisiensi. Namun, efisiensi harus tetap berlandaskan tujuan dan kepentingan
negara yang sudah diagendakan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Problem cost recovery adalah urusan praktis yang bisa
diatasi dengan jalan praktis pula. Jika angka-angka yang ditagihkan adalah semestinya sesuai
aturan, maka cost recovery akan berlaku wajar. Adapun sistem gross split bisa
saja ditawarkan sebagai alternatif, tetapi tidak untuk dipaksakan karena tak
ada jaminan gross split lebih menguntungkan ketimbang cost recovery.
Kebijakan ini tak akan bisa dirasakan dalam waktu dekat karena bisnis migas
bukan kegiatan instan. Revisi harus dilakukan secara berhati-hati dan
terutama untuk memelihara iklim investasi bisnis hulu minyak yang adil bagi
semua pihak. Selain pemerintah memperoleh hasil yang maksimal, di saat yang
sama industri migas harus tetap berlangsung baik dan memperoleh hasil dari
jerih payah yang menjadi haknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar