Kebijakan
Baru Pertanahan
Bambang Kesowo ; Pengajar Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum
UGM
|
KOMPAS, 30 Maret 2017
Pemerintah dan DPR saat ini sedang bersiap membahas
Rancangan Undang-Undang Pertanahan. Artinya, sedang dipersiapkan kebijakan
baru di bidang pertanahan.
Siapa yang berprakarsa, tidak lagi penting. Kabarnya,
selain keinginan ”menyempurnakan” Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA),
beberapa konsepsi baru tampaknya dimasukkan ke dalamnya. Latar belakang dan
tujuannya sudah barang tentu baik. Secara akademik pasti sudah melalui kajian
mendalam. Oleh karena itu, kita mesti berprasangka ada ”gereget” yang positif
di belakang itu semua. Bagian mana yang memerlukan perhatian?
Substansi dan arah kebijakan
Aspek teknik dan perumusan RUU pastilah ada. Begitu pula
aspek ideologi, politik, dan pemerintahan yang terkait di dalamnya. Kalaupun
jadi bahan perdebatan, mudah-mudahan tak sampai menjadi gegeran. Namun,
aspek-aspek itu bukan obyek utama tulisan ini. Justru kewaspadaan terhadap
kemungkinan timbulnya masalah yang menyertai beberapa substansi dan arah
kebijakan baru di dalamnyalah yang akan dibahas dalam tulisan ini. Semua itu
karena lingkup dan dampaknya yang pasti akan memberikan pengaruh, yang tidak
akan sederhana terhadap penyelenggaraan administrasi pemerintahan dan
pembangunan.
Satu di antara beberapa substansi dan arah kebijakan baru
itu rasa-rasanya malah akan menguji aspek yang lebih luas: cita berkehidupan
berbangsa dan bernegara. Substansi dan arah kebijakan baru apa atau yang mana
sajakah yang perlu kita cermati?
Pertama, perubahan jenis hak atas tanah. Semula dalam UU
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) 1960, dikenal beberapa
jenis hak, seperti hak milik, hak pakai, hak guna bangunan (HGB), dan hak
guna usaha (HGU). Dalam konsepsi baru ini, jenis hak itu disederhanakan
menjadi hanya terdiri dari hak milik dan hak pakai. Idenya, HGB dan HGU akan
menjadi hak pakai untuk bangunan dan hak pakai untuk usaha.
Kedua, introduksi (mungkin tepatnya formalisasi pengakuan)
masyarakat (hukum) adat dan penguasaannya atas tanah ulayat. Sebagai
pelaksana hak menguasai tanah negara, pemerintah dapat menetapkan berdasarkan
syarat tertentu, keberadaan masyarakat (hukum) adat tertentu, di wilayah tertentu,
dan menetapkan bidang tanah tertentu sebagai hak adat (ulayat) yang dikuasai
masyarakat hukum adat dimaksud.
Ketiga, pencabutan (bagian) hak atas tanah yang dinyatakan
sebagai ”telantar”, yang oleh pemerintah akan disediakan antara lain sebagai
(dijadikan) obyek kebijakan reforma agraria (dalam RUU didefinisikan sebagai
penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, atau pemanfaatan
tanah yang berkeadilan disertai penataan akses untuk kemakmuran rakyat
Indonesia. Singkatnya: dibagikan kepada rakyat).
Ketiga contoh tadi pastilah menggambarkan tekad politik
pertanahan yang baru. Selain keinginan untuk lebih menampilkan cita
kesejahteraan dan menyederhanakan administrasi pertanahan, introduksinya
agaknya juga dimaksudkan untuk merefleksikan keinginan mewujudkan pengaturan
yang berbasis tatanan sosial yang dahulu dikenal dalam masyarakat adat.
Namun, sebaik-baik konsepsi dan tujuannya, yang tidak kalah penting adalah
kesiapan elaborasi kebijakan baru tersebut, pranata dan implementasinya. Yang
banyak diharapkan tentunya pelaksanaan yang mulus dan sejauh mungkin tidak
menimbulkan persoalan baru, tidak menyebabkan kegaduhan, bahkan tidak
menimbulkan kesulitan baru utamanya bagi rakyat dan dunia usaha.
Justru di tiga bagian itulah diperlukan kewaspadaan! Salah
satu sebabnya sejauh ini memang belum jelas benar bagaimana kira-kira
elaborasi konsepsi tadi, berikut operasionalisasinya. Ambil contoh soal
penyederhanaan jenis hak atas tanah. Demi kepastian hukum, pastilah akan
diperlukan yang namanya penyesuaian atau proses perubahan atau transformasi
dari HGU dan HGB menjadi hak pakai tadi. Bukan saja diperlukan perlakuan dan
jangka waktu transisi, melainkan juga proses administrasi yang akan
berlangsung.
Berapa banyak HGU dan HGB yang harus dikonversi berikut
penyelesaian sertifikat haknya? Kesiapan aspek administrasi ini sebaiknya
tidak dipandang enteng, apalagi disepelekan. Bukankah masih begitu banyak
bukti penguasaan atau pemilikan tanah yang sampai sekarang pun masih sangat
banyak yang belum terselesaikan proses dan sertifikasinya?
Bagi dunia usaha yang berbasis pemanfaatan lahan, masalah
itu menjadi sangat penting. Bagi kalangan dunia usaha, proses penyelesaian
hak atas tanah untuk usaha yang ada saat ini pun masih banyak yang belum tuntas
meski sudah bertahun-tahun diurus. Bagi dunia usaha, soal penyesuaian/
transformasi kebijakan baru tersebut akan menjadi proses baru yang tidak
mudah, baik dari sisi waktu, tenaga, maupun biaya.
Bilamana di kalangan pelaku usaha yang sudah ada saja dirasakan
tidak sederhananya menyelesaikan permasalahan pertanahan ini, bagaimana
pemerintah akan berhasil meyakinkan calon investor yang demikian dielu-elu
untuk masuk ke Indonesia? Masalah dana dan teknologi bisa diupayakan. Namun,
jika menyangkut persoalan yang erat kaitannya dengan aspek kepastian,
termasuk hak atas tanah/lahan, bisa-bisa mereka berpikir ulang dua kali atau
lebih.
Adalah biasa dalam pelaksanaan perubahan jenis hak tadi
diakomodasi teknik lama yang plastis sifatnya, baik secara hukum maupun
politik. Bentuknya biasanya berupa sisipan ketentuan bahwa HGU atau HGB yang
selama ini sudah ada akan tetap diakui. Namun, cara pandang ini membawa
konsekuensi hadirnya duplikasi dan kondisi ini jelas tak baik dalam
pembangunan sebuah sistem. Atau mungkin juga diberi transisi bagi
penyesuaiannya, katakanlah tiga tahun atau lima tahun atau lebih. Dari segi
teknis perundang-undangan, yang terakhir ini tampak seperti jalan keluar.
Namun, bagi negara, pendekatan ini akan sangat menuntut kerja keras aparat pertanahan
nasional. Mereka harus menyelesaikan penyesuaian ini di tengah masih
menumpuknya kerja penyertifikatan tanah yang telah ada selama ini.
Berlarut-larutnya penyelesaian persoalan ini secara
politis juga tak akan menguntungkan bagi pemenuhan janji politik untuk
melakukan redistribusi tanah ataupun akomodasi kepada masyarakat (hukum) adat
pada umumnya. Situasi yang ditimbulkan pun pasti akan menghadirkan kesan
negatif di kalangan calon investor yang kini justru sangat diharapkan.
Beberapa ketidakjelasan
Dalam kaitannya dengan janji politik redistribusi tanah,
kebijakan yang baru itu pun belum pula memberikan kejelasan setidaknya dua
hal. Pertama, bagaimana syarat dan kondisi rakyat yang berhak menerima
”pembagian” tanah. Kedua, tanah mana yang akan dibagikan dan bagaimana
memperolehnya. Reforma agraria memang baru sebatas arah pokok.
Keberhasilannya akan sangat ditentukan ketepatan konsep dan kehati-hatian
tindak dalam mengelolanya. Tak terwujudnya program redistribusi tanah yang
semasa UUPA dulu dibungkus dengan istilah land reform menunjukkan betapa isu
redistribusi tanah berkaitan erat dengan aspek sosial, budaya, dan politik.
Bagi masyarakat Indonesia yang sedari awal hidup dengan
corak agraris, tanah adalah soal sedumuk bathuk, senyari bumi…. Soal tanah
sangat lekat dalam kehidupan mereka. Karena itu, tidaklah berlebihan
menyatakan, sekali lagi, bahwa kesiapan konsepsi dan elaborasinya serta
tersosialisasinya dengan baik di kalangan rakyat akan menentukan keberhasilan
kebijakan. Sangat penting dihindarkan kesan bahwa redistribusi tanah yang
dijanjikan semasa pemilihan presiden sekadar soal teknis bagi-bagi tanah.
Di tengah belum terselesaikannya perbedaan di antara
kementerian tentang batas peta tanah yang mereka kuasai/kelola, perlu
diwaspadai munculnya persoalan yang berawal dari keresahan dunia usaha tadi.
Terutama mereka yang berusaha dengan basis pemanfaatan lahan. Saat ini
berkembang kekhawatiran bahwa ujung-ujungnya pemerintah akan mengambil jalan
paling mudah, yaitu ”berburu” tanah di lahan yang sudah diberikan dengan hak
pengusahaan. Kekhawatiran mereka bagai kian tersulut ketika dalam kebijakan
baru tersebut juga diintroduksi lembaga pencabutan hak atas tanah yang
dinilai ”telantar”.
Berkembang dugaan akan berlangsungnya mekanisme penilaian
terhadap lahan usaha hutan tanaman industri atau perkebunan yang karena
tahapan usahanya belum sampai pada jadwal pemanfaatan bagian lahan atau
karena sesuatu kondisi tertentu (penyerobotan atau belum terselesaikannya
penetapan tanda batas/peta dan karena itu belum dapat diselesaikannya
sertifikat hak atas tanah), lantas dinyatakan ”menelantarkan” lahan. Hal ini
dinilai merisaukan. Dunia usaha menggambarkannya sebagai sesuatu yang akan
mengganggu strategi/rencana usaha dan dalam jangka panjang kepastian usaha.
Masih dalam kaitannya dengan kekhawatiran tadi, adalah
perwujudan janji penghormatan terhadap nilai-nilai adat yang akan dikukuhkan
sebagai mendasari hukum pertanahan nasional. Introduksi kebijakan penyerahan
pengelolaan tanah ulayat atau penyerahan tanah ”untuk dikelola sebagai tanah
ulayat” kepada masyarakat (hukum) adat dengan cepat menyulut kekhawatiran
tersebut. Idealisme yang diusung dan tujuannya, sekali lagi, jelas baik.
Namun, dalam kaitannya dengan semua kekhawatiran tadi layak juga ditimbang
bahwa apabila pemerintah tidak akan mudah memperoleh lahan yang saat ini
dikuasai/dikelola (dan masih dipertikaikan) berbagai kementerian untuk
diberikan sebagai tanah ulayat, pemerintah juga akan mengambil cara pintas.
Membagikan bidang tanah tertentu (termasuk hutan) kepada
rakyat atau diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat (hukum) adat pastilah
tidak menjadi masalah jika itu berlangsung atas tanah yang masih dikuasai
negara. Namun, pasti lain lagi soalnya jika tanah yang akan menjadi obyek redistribusi
ataupun dijadikan tanah ulayat adalah bagian tanah negara yang sudah
”dialokasikan sebagai/ bagi kegiatan usaha dan sudah diserahkan konsesinya”
kepada badan usaha. Apa pun situasi dan alasannya, jika di kemudian hari ada
penilaian bahwa bagian tertentu dari tanah tersebut ”telah tidak dimanfaatkan
dengan semestinya atau secara sepantasnya” dan dengan demikian diklasifikasi
sebagai telantar atau telah ditelantarkan, maka bagian tanah itulah yang
ditebak akan dijadikan obyek bagi pelaksanaan janji politik tadi. Dari
sinilah awal berkembangnya kekhawatiran pelaku usaha.
Kewaspadaan terhadap situasi yang tak menguntungkan ini
sebaiknya ditimbang dengan matang dan tak disepelekan, mengingat kementerian
yang membidangi masalah kehutanan sendiri juga belum memiliki peta hutan yang
sahih. Belum lagi benturannya dengan peta yang dimiliki instansi lain. Pada
saat yang sama, kondisi tadi juga memerlukan perhatian ketika Badan Restorasi
Gambut cepat atau lambat juga akan melakukan kerja berdasarkan peta gambut
yang diklaimnya, terutama di daerah Kalimantan.
Tak kalah penting antisipasi filosofis, ideologi, dan
politik terhadap kehadiran kebijakan berkenaan dengan introduksi masyarakat
(hukum) adat meski di dalamnya juga disertakan niat ”tetap dan sejauh masih
seiring dengan semangat NKRI”. Di satu sisi, penyelenggaraan negara RI memang
mesti berlangsung dengan selalu menghormati tatanan kehidupan masyarakat yang
telah ada sebelum terbentuknya negara RI, dengan keaslian susunannya,
termasuk segala aturan tak tertulis yang berlaku dan melandasi kehidupan
mereka. Sebagai nilai, hal itu harus dihormati dan sejauh mungkin bahkan
dicerminkan atau dijelmakan dalam segala pranata baru bagi negara. Namun, di
pihak lain juga perlu dicermati berkembangnya anggapan, di tengah cita dan
upaya mewujudkan sebuah negara modern, berlangsung pula ”tarikan mundur”
karena kita sendiri sekarang ini memunculkan kembali masyarakat (hukum) adat
sebagai entitas baru.
Perlu kearifan dan antisipasi cermat untuk terlaksana dan
terwujudnya kebijakan baru itu. Sebaliknya, ketidaksiapan dalam mengelaborasi
dan menindaklanjuti bisa membuat kebijakan teronggok atau tersendat atau
malah tidak dapat dilaksanakan. Di depan mata bangsa ini terpampang jelas
tantangan kesenjangan, kemiskinan, dan penyediaan kesempatan kerja yang tidak
ringan. Ketika tekad dan segala kemampuan yang dimiliki sedang difokuskan
untuk membuat program guna mengatasi, termasuk meningkatkan sumber daya
pembiayaan pembangunan, akan menjadi sangat repot jika kita masih harus berkutat
dengan kebijakan baru yang tidak dapat berjalan atau bahkan menjadi jerat
yang mengikat kaki dan tangan kita dalam gerak perekonomian nasional. Bahkan,
memunculkan masalah baru di bidang administrasi pertanahan, sosial, budaya,
politik, bahkan dalam bidang keamanan dan ketertiban. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar