Penyelesaian
Sengketa Pilkada di MK
Saiful Anam ; Ketua Komite Hukum Mata Garuda Institute;
Praktisi dan Akademisi Hukum Tata Negara; Kandidat Doktor Ilmu Hukum Tata
Negara Universitas Indonesia
|
KOMPAS, 30 Maret 2017
Sebanyak 101 daerah yang terdiri dari 7 provinsi, 18 kota,
dan 76 kabupaten telah menggelar pemilihan kepala daerah serentak gelombang
kedua pada Rabu, 15 Februari 2017. Pilkada serentak tahun ini merupakan yang
kedua kalinya setelah gelombang pertama dilaksanakan pada 9 Desember 2015
oleh Komisi Pemilihan Umum.
Komisi Pemilihan Umum telah menjadwalkan mengumumkan
rekapitulasi, penetapan, dan pengumuman hasil penghitungan pilkada serentak
tahun 2017 tingkat kabupaten/kota untuk pemilihan bupati dan wakil bupati
atau wali kota dan wakil wali kota adalah pada 22 Februari hingga 24 Februari
2017. Sementara rekapitulasi, penetapan, dan pengumuman hasil penghitungan
suara tingkat provinsi untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur
dilaksanakan pada 25 Februari hingga 27 Februari 2017.
Atas pelaksanaan pilkada serentak tersebut, pasti terdapat
pihak-pihak yang merasa tidak puas terhadap hasil yang ditetapkan Komisi
Pemilihan Umum. Ketidakpuasan tersebut tentu dilandasi oleh berbagai macam
kecurangan, seperti politik uang, jual beli suara, intimidasi, pengerahan
massa, serta manipulasi suara dan hasil suara, baik yang terjadi sebelum
pemilihan, pada saat pemilihan, maupun setelah pemilihan berlangsung.
Terhadap pihak-pihak yang merasa tidak puas atas
rekapitulasi, penetapan, dan pengumuman hasil penghitungan suara, baik pada
tingkat kabupaten/kota maupun tingkat provinsi, terdapat sarana yang dapat
ditempuh, yakni melalui permohonan perselisihan hasil pemilihan gubernur,
bupati, dan wali kota kepada Mahkamah Konstitusi terhitung paling lama 3 x 24
(tiga kali dua puluh empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara
hasil pemilihan, baik oleh KPU provinsi maupun KPU kabupaten/kota.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga telah menyusun jadwal
pengajuan permohonan sengketa pilkada untuk pasangan calon bupati dan wakil
bupati atau wali kota dan wakil wali kota adalah pada 22 Februari hingga 28
Februari 2017, sedangkan untuk pasangan calon gubernur dan wakil gubernur
pada 27 Februari 2017 hingga 1 Maret 2017.
Tantangan
Selain syarat formal sebagaimana tersebut di atas, yakni
pengajuan gugatan paling lama 3 x 24 jam sejak diumumkan penetapan perolehan
suara hasil pemilihan oleh KPU setempat, juga ada syarat selisih perolehan
suara antara pemohon dan pasangan lainnya paling banyak 0,5 persen sampai 2
persen sebagaimana diatur dalam Pasal 158 Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun
2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Pasal 158 UU No 8/2015 menjadi tantangan sendiri bagi
pemohon yang akan memilih jalur sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi,
mengingat dengan berdasar pada permohonan gugatan perselisihan hasil
pemilihan pilkada pada tahun 2015, Mahkamah Konstitusi hanya menerima tujuh
dari 147 permohonan sengketa pilkada dengan pertimbangan konsisten menerapkan
Pasal 158 UU No 8/2015 dalam memeriksa dan mengadili syarat formal pengajuan
sengketa hasil pilkada ke Mahkamah Konstitusi.
Adapun alasan Mahkamah Konstitusi konsisten menggunakan
Pasal 158 UU No 8/2015 sebagai dasar pijakan di antaranya sebagai berikut.
Pertama, pilkada berdasarkan UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota
bukan merupakan rezim pemilu. Perbedaan tersebut bukan hanya dari segi
istilah, melainkan juga meliputi perbedaan konsepsi yang menimbulkan
perbedaan konsekuensi hukum.
Ketika pilkada sebagai rezim pemilu, Mahkamah Konstitusi
memiliki keleluasaan melaksanakan kewenangan konstitusinya, yakni tunduk pada
ketentuan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Atas dasar itulah, putusan Mahkamah Konstitusi pada masa
lalu dalam perkara perselisihan hasil pilkada tidak hanya meliputi
perselisihan hasil, tetapi juga mencakup pelanggaran dalam proses pemilihan
untuk mencapai hasil yang dikenal dengan pelanggaran bersifat terstruktur,
sistematis, dan masif.
Kedua, telah terdapat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
51/PUU-XIII/2015 berkaitan dengan tafsir konstitusional atas Pasal 158 UU No
8/2015. Melalui putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan
konstitusional dan menolak permohonan uji materi terhadap Pasal 158 UU No
8/2015 disebabkan merupakan kebijakan hukum terbuka oleh pembentuk
undang-undang (open legal policy) sehingga Mahkamah Konstitusi menganggap
tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Ketiga, demi kepastian hukum, Mahkamah Konstitusi harus
tunduk pada ketentuan yang secara expressis verbis digariskan dalam
Undang-Undang Pilkada. Dengan melaksanakan Pasal 158 UU Pilkada dan aturan
turunannya secara konsisten, Mahkamah Konstitusi turut ambil bagian dalam
upaya mendorong agar lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses pilkada berperan
dan berfungsi secara optimal sesuai dengan proporsi kewenangan di tiap-tiap
tingkatan.
Peluang
Apabila melihat perbedaan selisih hasil yang diperoleh
pasangan calon dengan pasangan calon lainnya, baik di media cetak maupun
media elektronik, menurut penulis, banyak pilkada yang tidak akan berlanjut
pada gugatan di Mahkamah Konstitusi mengingat persentase selisih suara yang
sangat jauh di atas 2 persen.
Hal ini tentu akan mengakibatkan adanya penurunan jumlah
gugatan sengketa hasil pilkada di Mahkamah Konstitusi.
Namun, yang pasti, terhadap pasangan calon yang persentase
selisih perolehan suaranya sesuai dengan Pasal 158 UU No 8/2015, bukan tidak
mungkin mereka berpeluang untuk memenangi sengketa atau Mahkamah Konstitusi
mengabulkan permohonan perselisihan hasil pilkada yang diajukan oleh pasangan
calon.
Hal itu tentunya jika didukung oleh argumentasi dan
bukti-bukti yang memadai berkaitan dengan kedudukan hukum, obyek permohonan,
dan pokok permohonan yang dimohonkan.
Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi juga diharapkan tidak
mengabaikan tuntutan keadilan substantif, yakni dengan tetap memeriksa secara
menyeluruh perkara yang telah memenuhi persyaratan tenggang waktu, kedudukan
hukum, obyek permohonan, dan jumlah persentase selisih perolehan suara antara
pemohon, termohon, dan pihak terkait lainnya.
Dengan adanya sarana hukum yang baik dalam hal ini melalui
permohonan perselisihan hasil pilkada kepada Mahkamah Konstitusi, diharapkan
pelaksanaan demokrasi di daerah menjadi semakin kondusif dan jauh dari segala
bentuk kerusuhan dan main hakim sendiri. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar