Menikmati
Api Membesar
AS Laksana ; Cerpenis dan Esais yang tinggal di Jakarta
|
JAWA
POS, 03
April 2017
JIKA apa yang sedang berlangsung di Jakarta mewakili
situasi Indonesia hari ini, mewakili mood sebagian besar warga negara,
tampaknya kita tidak membutuhkan serbuan atau campur tangan bangsa-bangsa
lain untuk kian sengsara pada waktu-waktu mendatang.
Pemilihan gubernur DKI harus berlangsung dua putaran.
Sebab, putaran pertama tidak menghasilkan pemenang dengan perolehan suara
lebih dari 50 persen. Sekarang, dengan dua pasangan kandidat saling
berhadapan, para pendukung dua kubu sedang sibuk berperang kata-kata, saling
menggempur dengan senjata kebencian, dan berlindung di balik tameng agama.
Kita tahu memang sulit menyingkirkan agama dari wilayah
politik. Saya pikir bahkan jauh lebih sulit jika dibandingkan dengan
membersihkan daki di punggung sendiri saat kita mandi. Bagaimanapun, harus
diakui bahwa pesan-pesan sosial dan politik muncul sangat kuat di dalam
teks-teks agama selain pesan-pesan untuk meningkatkan iman dan takwa.
Agama memberi tahu para bujangan, jika hendak menikah,
pilihlah pasangan yang cantik atau tampan agamanya, jangan memilih pasangan
karena dibutakan semata-mata oleh kecantikan atau ketampanan fisik. Teks-teks
agama mengajarkan bahwa iblis berseliweran di tengah-tengah kita dalam bentuk
jin dan manusia serta berupaya menyeret kaum beriman ke api neraka. Agama
juga meminta para pemeluknya waspada terhadap kaum lain; mereka adalah
orang-orang yang ingin menyesatkan kita dari jalan yang benar.
Saya tahu setiap agama mengajarkan kebenaran mutlak versi
masing-masing yang tak mungkin dikoreksi pihak lain. Tiap pemeluk agama, yang
mengimani surga dan neraka, akan meyakini bahwa hanya jalannya yang bisa
membawa orang ke taman firdaus atau tempat lain yang semacam itu.
Para pengikut Kristus mengimani bahwa Yesus adalah
satu-satunya jalan untuk sampai kepada Bapa, untuk memasuki kerajaan surga
dan menikmati kebahagiaan kekal di akhirat. Kaum muslim meyakini bahwa
satu-satunya agama yang dirahmati Allah adalah Islam dan merekalah para
penghuni surga kelak. Hindu juga menawarkan jalan yang akan membawa orang ke
swarga loka. Buddha mengajarkan jalan menuju kekosongan, nirwana. Bayi-bayi
Yahudi sejak lahir diberi tahu bahwa mereka adalah bangsa terpilih. Para
pengikut sekte Salamullah, saya yakin, mengimani bahwa Lia Aminuddin adalah
kebenaran dan satu-satunya jalan tol menuju kebahagiaan abadi.
Agama-agama besar pun bukan entitas-entitas tunggal. Dari
setiap agama muncul denominasi atau rumpun-rumpun yang lebih kecil dengan
keyakinan dan penghayatan yang lebih spesifik. Tiap rumpun juga akan meyakini
bahwa jalannyalah yang paling benar.
Tribalisme semacam itu, kita tahu, adalah salah satu
naluri paling kuat yang mengendalikan perilaku manusia. Ia melindungi kita
dan memberikan perasaan tenteram bahwa kita berada di jalan yang benar.
Namun, pada saat yang sama, ia bisa menghadirkan ancaman, terutama ketika
kita berada dalam situasi tidak menentu yang melumpuhkan nalar.
Jakarta sedang mengalaminya saat ini. Pemilihan kepala
daerah, sebuah prosedur dalam sistem demokrasi untuk mendapatkan kepala
administrasi pemerintahan, tiba-tiba berubah menjadi seolah-olah perjuangan
mencari pemimpin agama. Ini seperti kelanjutan saja dari pemilihan umum
presiden pada 2014.
Jargon-jargon keagamaan dihambur-hamburkan. Para demagog
berdiri di baris depan, memberi tahu kita apa yang harus dilakukan.
Orang-orang digerakkan untuk turun beramai-ramai melawan dajal, menghujat
kandidat yang dikonstruksi sebagai musuh agama, jika mungkin menyingkirkannya
sekalian ke neraka.
Para politikus jahat menyukai hal semacam itu. Mereka
menyukai apa saja yang menguntungkannya. Jika menggunakan agama, mereka akan
senang membungkus nafsu politik dan syahwat berkuasa dengan teks-teks agama,
memompa fanatisme, dan mengacaukan emosi publik dengan sentimen-sentimen
keagamaan.
Kita tahu bahwa agama adalah alat politik yang sangat
efektif untuk meraih dukungan massa. Ia tidak hanya manjur untuk menarik hati
orang-orang saleh, tetapi juga manjur untuk merayu para penelan pil koplo.
Tidak peduli bagaimana mereka menjalani kehidupan sehari-hari, para penelan
pil koplo adalah kaum yang juga mudah tersentuh ketika disodori isu-isu
agama.
Kita tidak bisa menganggap remeh para penelan pil koplo
ini. Pemilihan umum adalah urusan mendapatkan lebih banyak pemilih ketimbang
kandidat lain. Dalam keadaan berimbang, suara satu orang penelan pil koplo
sudah cukup untuk membuat perbedaan, apalagi lebih dari 20.
Jakarta sungguh menyedihkan. Baru sekali ini, dalam
pilkada, ada bentangan spanduk dan ceramah yang sampai mengancam tidak
menyalatkan jenazah. Lalu, kita diminta memaklumi bahwa itulah ekspresi
warga. Saya pikir itu sulit dimaklumi.
Ancaman seperti itu, entah diwujudkan entah tidak, sama
belaka daya rusaknya dengan rembesan air pada atap rumah kita. Mungkin semula
itu hanya rembesan kecil, tetapi air yang merembes pada atap itu lama-lama
akan mengakibatkan kerusakan pada langit-langit, memunculkan jamur,
melapukkan kusen-kusen, dan sebagainya.
Para politikus buruk tidak memedulikan hal itu. Mereka
menikmati api membesar dan perpecahan. Golongan semak-semak digerakkan untuk
berperang melawan sesamanya, melakukan apa saja untuk membenamkan pihak
lawan, dan meyakini bahwa mereka sedang berperang melawan musuh agama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar