Merindukan
Keteladanan Etis Pemimpin
Paulinus Yan Olla ; Rohaniwan
Kongregasi MSF;
Lulusan Program Doktoral
Universitas Pontificio Istituto di Spiritualita Teresianum, Roma; Dosen
Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang
|
KOMPAS, 13 Maret 2017
Pernyataan Presiden Joko Widodo tentang Indonesia yang
mengalami "demokrasi kebablasan" telah menuai reaksi dari berbagai
kalangan, terutama dari pejabat negara dan petinggi parlemen ataupun parpol.
Alih-alih menjernihkan praktik demokrasi, ruang publik
malah semakin ditaburi suasana saling menyudutkan antarelite penguasa
(Kompas.com, 23/2/2017). Tanpa harus memberikan label "pengamat"
kepada Presiden atas pernyataannya, seperti dilakukan politisi tertentu,
praktik penyelewengan demokrasi memang terjadi. Indonesia telah dinobatkan
The Economist sebagai negara yang cacat demokrasinya (baca: flawed
democracy). Dalam perspektif etis pun, praktik demokrasi di negeri ini telah
lama mengabaikan keutamaan publik.
Hampir lima tahun silam, penulis dalam opini
"Membangun Keutamaan Publik" (Kompas, 3/9/2012) menegaskan perlunya
pembangunan keutamaan publik sebagai landasan bagi sebuah negara demokratis.
Keutamaan publik berbeda, sekaligus berkaitan dengan keutamaan pribadi.
Keutamaan pribadi berurusan dengan nilai-nilai seperti
integrasi diri, kejujuran, dan kemampuan mengontrol diri, sedangkan keutamaan
publik lebih menunjuk pada nilai-nilai publik yang perwujudannya berupa
pengorbanan kepentingan pribadi demi pembelaan kepentingan lebih besar sebuah
bangsa.
Wacana "demokrasi kebablasan" sejatinya
mengungkapkan situasi keterpurukan nilai-nilai publik yang telah diderita
secara akut bangsa ini. Di negeri ini makin jarang ditemukan pengorbanan
pribadi demi kepentingan- kepentingan bangsa yang lebih besar. Alih-alih
mengorbankan kepentingan pribadi, kepentingan-kepentingan bangsa dan seluruh
rakyat justru sering dibelenggu oleh kepentingan sektarian dan pemaksaannya
melalui mobilisasi kekuatan massa berbaju SARA (suku, agama, ras, dan
antargolongan).
Laporan Amnesty International seharusnya menyadarkan
banyak pihak untuk melihat betapa sentralnya keteladanan etis para pemimpin
dalam membendung atau memperluas konflik SARA.
Seperti diketahui, dalam laporan bertajuk "The State
of the World's Human Rights" yang dirilis di Paris, Perancis
(22/2/2017), Amnesty International telah menobatkan sejumlah kepala
negara/pemerintahan, seperti Trump, Duterte, Erdogan, dan Viktor Orban,
sebagai pemecah belah masyarakat melalui retorika dan agenda-agenda mereka yang
dianggap "beracun" (Kompas, 23/2/2017).
Abad kegeraman
Bryan Walsh mencoba menjelaskan bagaimana globalisasi
ekonomi bisa melahirkan para pemimpin otoriter-populis modern. Menurut dia, dunia kita sedang menjalani
suatu "abad kegeraman" (age of anger) yang bersumber pada suatu
sejarah panjang ketidakpuasan terhadap janji-janji ekonomi yang tak terwujud.
Ada jurang begitu dalam antara harapan-harapan pribadi dalam sanubari
terdalam dan kenyataan pahit yang dialami dalam realitas. Keterpecahan antara
kerinduan hati dan kenyataan itu menimbulkan rasa sakit hati, rasa terhina,
dan geram yang berbaur dalam sentimen penolakan/pemberontakan (ressentiment)
terhadap situasi yang dihadapi.
Dalam situasi demikian, muncul pemimpin-pemimpin otoriter
yang memanfaatkan sentimen-sentimen negatif dengan menempatkan diri sebagai
"pembela" para korban globalisasi kendati mereka mengabaikan nilai-
nilai etis publik ("How the Enlightenment Predicted Modern
Populism", Time, 20/2/2017).
Pemaparan di atas memperlihatkan betapa penting peran para
elite penguasa dalam merajut keutamaan publik. Namun, yang menyedihkan, baik
di tingkat internasional maupun di Tanah Air, ujaran kebencian, rasisme,
pelanggaran HAM, dan pengabaian berbagai nilai etis di ranah publik kini seakan
menjadi "bahasa" yang dianggap normal.
Sikap, keputusan, dan ujaran yang bersifat sektarian,
koruptif, manipulatif justru menjadi
"mode" yang laku dijual dalam perebutan kekuasaan ataupun dalam
pencapaian tujuan-tujuan sempit pribadi/kelompok. Padahal, dalam situasi
kegeraman, seperti telah diungkapkan, keterpurukan etis yang diteladankan
para pemimpin/elite penguasa mempunyai daya ledak yang bisa menghancurkan
seluruh bangsa.
Indonesia, seperti negara Asia lain, sebenarnya punya
tradisi panjang nilai-nilai budaya (budaya Timur) yang seharusnya melengkapi
demokrasinya. Ironisnya, ketika bangsa-bangsa Asia lain, seperti Singapura,
Korea Selatan, atau Jepang, mampu mengolah nilai-nilai ketimuran, seperti
budaya patriarkal, gotong royong, dan kekeluargaan, untuk menjadi bangsa
pemenang, Indonesia justru kehilangan jati dirinya melalui politisasi SARA di
bawah payung demokrasi.
Untuk membangun demokrasi, nilai-nilai etis publik tak
perlu diimpor dari negeri asing, jika para pemimpin di negeri ini tetap berpegang
pada Pancasila sebagai "jiwa bangsa" atau "kepribadian
bangsa," seperti diyakini Bung Karno. Demokrasi di Indonesia punya
"corak kepribadian kita" yang tidak perlu sama dengan corak
demokrasi yang dipergunakan bangsa lain secara teknis (Bung Karno, Pantjasila
Dasar Filsafat Negara, 1960: 112).
Di negeri yang sedang gamang menjalankan demokrasinya ini,
sebenarnya sangat dirindukan lahirnya pemimpin-negarawan yang tak memanipulasi "kegeraman" rakyat
demi kekuasaan sektarian. Kita justru lebih memerlukan pemimpin-pemimpin yang
mampu menjadi panutan rakyat dalam membangun etika publiknya. Hari-hari ini,
ketika demokrasi diselimuti "hawa kegeraman" yang menggerahkan jiwa
dan rawan mencabik keutuhan bangsa, kita merindukan hadirnya pemimpin-pemimpin
yang menjadi pemersatu dan keteladanannya menyejukkan hati. Sayangnya,
pemimpin yang demikian telah semakin jarang kita jumpai di negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar