Merampingkan
Regulasi
Saldi Isra ; Profesor
Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum
Universitas Andalas
|
KOMPAS, 13 Maret 2017
Agenda bidang hukum menjadi salah satu catatan kritis
sejumlah kalangan terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla. Catatan kritis itu hadir karena setelah lebih dari dua
tahun berada di panggung kekuasaan, pemerintah hanya fokus pada agenda di
bidang politik dan bidang ekonomi sehingga terasa mengabaikan agenda lain,
termasuk agenda di bidang hukum.
Merespons berbagai kritik tersebut, memasuki tahun ketiga
berkuasa, terutama bulan-bulan terakhir 2016, pemerintah mulai menunjukkan
perhatian terhadap agenda bidang hukum. Sekalipun belum terhadap semua sisi
bidang hukum, Presiden Jokowi memulai dengan pembenahan persoalan regulasi.
Bagi Jokowi, pembenahan regulasi diperlukan karena percepatan pembangunan,
terutama di bidang ekonomi, sering sekali terkendala sengkarut regulasi yang
tidak harmonis, tidak sinkron, dan saling tumpang tindih. Ujung-ujungnya,
regulasi yang demikian menghadirkan ketidakpastian hukum.
Sebagai bentuk konkret pembenahan ini, upaya melakukan
reformasi regulasi menjadi program prioritas pemerintah sepanjang 2017. Tak
tanggung-tanggung, semua kementerian/lembaga harus memberikan perhatian utama
pada pembenahan regulasi. Untuk memastikan program ini berjalan, Presiden
memberi arahan kepada Kantor Staf Presiden, Kantor Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Bappenas, serta Kementerian Hukum dan HAM menjadi
leading sector dalam agenda reformasi regulasi.
Bahkan, sebelum ketiga lembaga tersebut melakukan langkah
konkret, sebagai bagian dari upaya reformasi regulasi, Kementerian Dalam
Negeri telah membatalkan 3.000-an regulasi, khususnya produk hukum daerah.
Melacak substansi yang ada, pembatalan produk hukum ini masih terbatas pada
regulasi investasi, retribusi, pelayanan birokrasi dan perizinan. Pilihan itu
tak terlepas dari keinginan pemerintah bahwa regulasi termasuk produk hukum di
daerah harus membantu agenda bidang ekonomi.
Setelah melihat gerak pemerintah guna membenahi (baca:
reformasi) regulasi, pertanyaan mendasar yang harus diajukan: bagaimana
langkah mendasar yang mesti dilakukan agar upaya merampingkan regulasi
dilakukan lebih sistemik? Pertanyaan ini menjadi sangat mendasar karena
keluhan terhadap regulasi yang tidak terkendali (overregulated) bukan hanya persoalan kekinian saja dan bukan
hanya masalah yang terjadi di Indonesia.
Bukan undang-undang
Bilamana jumlah regulasi yang tak terkendali jadi
persoalan utama yang harus diselesaikan, langkah pertama yang harus dilakukan
adalah menemukan bentuk dan sumber regulasi yang menyebabkan overregulated.
Tanpa mendeteksi secara benar bentuk dan sumber itu, upaya perampingan
regulasi potensial merusak bangunan negara hukum kita. Misalnya, langkah
Kemendagri membatalkan sekitar 3.000 produk hukum daerah beberapa waktu lalu
belum tentu berdampak positif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Dalam banyak kesempatan, Presiden kerap mengeluhkan ihwal
jumlah undang-undang. Misalnya, pada acara dialog "Membangun Ekonomi
Indonesia yang Berdaya Saing", di Balai Kartini (30/3/2016), Jokowi
menyatakan, DPR tidak usahlah memproduksi UU terlalu banyak. Bagi Jokowi,
sepanjang kualitasnya betul-betul baik, tiga atau lima UU cukup dalam satu
tahun. Pernyataan ihwal jumlah UU kembali diangkat Jokowi saat bertemu dengan
sejumlah kalangan hukum di Istana Negara (22/9/2016).
Dalam batas penalaran yang wajar, mengeluhkan banyaknya
jumlah UU sebagai penyebab regulasi tak terkendali tidaklah tepat. Apabila
harus mengatakan secara jujur, UU yang dihasilkan setiap tahun sangat sedikit
ketimbang jumlah yang mestinya diperlukan. Paling tidak, menggunakan
kebutuhan dalam satu tahun berdasarkan program legislasi nasional, jumlah UU
yang dihasilkan jauh dari memadai. Tambah lagi, apabila dibaca konstitusi,
masih banyak UU untuk menjalankan amanat UUD 1945 yang belum dibentuk.
Apabila dibandingkan dengan negara-negara lain, jumlah UU
yang dihasilkan Indonesia setiap tahun sangat sedikit. Sebagai contoh, Jepang
dengan bentangan wilayah dan penduduk yang lebih kecil dibandingkan dengan
Indonesia, satu tahun menghasilkan tak kurang dari 100 UU, baik UU yang sama
sekali baru maupun hasil revisi. Begitu pula Belanda, dengan wilayah dan
penduduk yang berbeda jauh dengan Indonesia, satu tahun negara Kincir Angin
itu menghasilkan UU dengan jumlah lebih kurang sama dengan Jepang.
Sebagai produk hukum yang merupakan hasil kerja bersama
antara presiden dan DPR (juga DPD kalau menyangkut Pasal 22D UUD 1945),
jumlah UU yang dihasilkan dalam satu tahun bukanlah masalah dalam isu
overregulated. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, presiden dan DPR sangat
tidak produktif membuat UU. Masalah mendasarnya, UU yang dihasilkan
seolah-olah tak terkait dengan UU lain. Padahal, dengan menggunakan
pendekatan sistem, tak mungkin pengesahan suatu UU sama sekali tak berkaitan
dengan UU yang lain.
Salah satu contoh, UU No 23/2014 sebagai pengganti UU No
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah berhenti begitu pengesahan. Padahal,
sebagai UU yang terkait dengan banyak UU lain (sektoral) dalam
penyelenggaraan hubungan pusat dan daerah, tak mungkin perubahan UU No
32/2004 menjadi UU No 23/2014 tak berimplikasi pada revisi UU lainnya. Pengalaman
Jepang, ketika dilakukan reformasi mendasar terhadap UU desentralisasi tahun
2000, perubahan diikuti dengan merevisi tak kurang dari 750 UU lainnya.
Dengan demikian, jumlah UU yang dihasilkan tak begitu
relevan dikambinghitamkan dalam membahas overregulated. Masalah sesungguhnya,
sejumlah UU memicu persoalan serius, terutama ketidakpastian hukum lebih pada
ketidakseriusan dalam melakukan harmonisasi dan sinkronisasi dengan UU lain.
Pada titik ini, menghilangkan egosektoral kementerian/lembaga dalam
menentukan substansi UU menjadi keniscayaan. Selain itu, pembahasan di DPR
juga harus dilakukan lintas komisi. Selama egosektoral dan pembahasan di DPR
tidak diperbaiki, kehadiran UU yang tidak harmonis dan tidak sinkron sulit
dihindari.
Sumber masalah
Dengan terbatasnya jumlah regulasi dalam bentuk UU yang
dihasilkan, sumbangan terbesar overregulated
jelas berasal dari peraturan perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya di
bawah UU. Jika dirujuk Pasal 7 Ayat (1) UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (UU No 12/2011), overregulated kemungkinannya berasal dari
peraturan pemerintah (PP) dan peraturan presiden (perpres).
Sebagaimana diatur dalam Pasal 12 dan 13 UU No 12/ 2011,
materi PP adalah untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya. Sementara itu,
perpres berisi materi yang diperintahkan oleh UU, materi untuk melaksanakan
PP, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
Apabila dibaca materi muatan kedua regulasi ini, secara kuantitatif
penyelenggaraan pemerintahan akan bertumpu pada PP dan perpres. Tambah lagi,
merujuk pengaturan Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945, sebagai pemegang kekuasaan
eksekutif tertinggi, presiden berwenang menetapkan PP untuk menjalankan UU
sebagaimana mestinya.
Ternyata, dalam praktik sumber overregulated tidak berasal
dari kedua PP dan perpres. Berdasarkan catatan Nasir Djamil, anggota Komisi
III DPR, dalam rentang 2000 hingga pengujung 2015, pemerintah telah
menerbitkan 12.471 regulasi. Dari jumlah tersebut, regulasi yang paling banyak
adalah peraturan setingkat menteri, yakni 8.311. Urutan selanjutnya,
peraturan pemerintah dengan jumlah 2.446 regulasi.
Secara hukum, ruang untuk pembentukan regulasi berupa
peraturan menteri didasarkan Pasal 8 UU No 12/2011. Meski dalam ketentuan tersebut
tidak hanya ruang untuk membentuk peraturan menteri, bagi pembantu presiden,
dasar hukum pembentukan peraturan perundang- undangan telah menghadirkan
jumlah regulasi sangat dominan, yaitu dua pertiga (67 persen) dari semua
jumlah produk hukum yang dibentuk jajaran eksekutif sepanjang 2000-2015.
Padahal, secara konstitusional, dari jajaran eksekutif, menteri hanya
pembantu presiden yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Sebagai produk yang diakui eksistensinya dan memiliki
kekuatan mengikat, overregulated yang disebabkan oleh membeludaknya jumlah
peraturan menteri tidak hanya karena pembentukannya diperintahkan oleh
peraturan yang lebih tinggi, tetapi juga karena kewenangan yang dimiliki
menteri dan/atau kementerian.
Dengan kuasa membentuk peraturan yang begitu terbuka,
materi muatan peraturan menteri sangat mungkin begitu "liar" karena
mengabaikan asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Ujung-ujungnya,
kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan semakin sulit didapatkan.
Salah satu penyebab munculnya ketidakpastian hukum, pembentukan peraturan
menteri tidak melalui proses harmonisasi sebagaimana layaknya tahap
pembentukan PP dan perpres. Karena itu, baik secara vertikal maupun
horizontal, secara substantif, peraturan menteri sangat mungkin menghadirkan
regulasi yang tidak harmonis dan tidak sinkron dengan jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan yang lain, termasuk bertentangan dengan UU.
Jalan keluar
Merujuk sumber masalah utama overregulated, langkah
perbaikan dan perampingan regulasi harus diarahkan pada peraturan menteri.
Keniscayaan tersebut tidak hanya disebabkan kemungkinan munculnya peraturan
menteri menabrak banyak regulasi lain, tetapi juga mengabaikan wewenang
presiden. Dengan ruang membentuk regulasi yang diatur dalam Pasal 8 UU No
12/2011, materi peraturan menteri sangat mungkin menegasikan wewenang
presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Agar peraturan menteri tidak semakin menimbulkan sumber
sengkarut ranah regulasi, langkah mendasar harus dilakukan. Pertama,
mempersempit ruang untuk membentuk peraturan menteri. Cara yang paling
sederhana adalah menghilangkan frasa "dibentuk berdasarkan
kewenangan" sebagaimana termaktub dalam Pasal 8 Ayat (2) UU No 12/2011.
Dengan menghilangkan, peraturan menteri atau peraturan lainnya hanya dapat
dibentuk sepanjang mendapat perintah atau delegasi secara langsung dari
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Sekiranya upaya mempersempit itu dilakukan, peraturan
menteri tidak akan pernah dibentuk sepanjang dan selama tidak mendapat
delegasi dari peraturan yang lebih tinggi. Artinya, kemungkinan untuk
membentuk peraturan menteri hanya bisa dilakukan jikalau mendapat perintah
langsung dari undang-undang, PP, dan perpres. Dengan demikian, ketiga produk
peraturan perundang-undangan tersebut menjadi mekanisme kontrol dan pembatas
untuk membentuk peraturan menteri.
Kedua, sekalipun dibuka ruang berdasarkan delegasi UU, PP,
dan perpres dalam membentuk peraturan menteri, ruang tersebut harus diikuti
dengan kewajiban: setiap rancangan peraturan menteri harus mengikuti proses
harmonisasi di kementerian hukum dan hak asasi manusia. Dengan kewajiban itu,
kemungkinan adanya peraturan menteri yang tidak harmonis dan bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat diminimalkan.
Berdasarkan penjelasan di atas, langkah merampingkan
legislasi dengan cara membatalkan peraturan perundang-undangan yang telah
berlaku tidak akan mampu mengatasi segala macam sengkarut overregulated. Perlu disadari, upaya
pembatalan hanya akan sedikit membantu menyelesaikan masalah dan itu pun
dilakukan di hilir. Hulu dari persoalan overregulated,
pembentukan peraturan menteri yang nyaris tak terkendali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar