Menagih
Janji Desa Adat
R Yando Zakaria ; Praktisi
Antropologi;
Mantan Tenaga Ahli Pansus RUU
Desa DPR
|
KOMPAS, 13 Maret 2017
Memastikan penerapan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
dapat berjalan di seantero negeri, khususnya dalam hal mempersiapkan
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam
mengoperasionalisasikan pengakuan hak-hak masyarakat adat untuk dapat
ditetapkan menjadi desa adat." Begitu salah satu janji politik duet
Jokowi-Kalla dalam Nawacita. Bagaimana wujudnya kini?
UU Desa memperkenalkan dua jenis desa, "desa"
dan "desa adat". Jika desa terbentuk lebih berdasarkan
ukuran-ukuran demografis dan administratif, desa adat terbentuk atas dasar
sejarah dan hak asal-usulnya. Hadirnya nomenklatur desa adat dalam sistem
pemerintahan di Indonesia adalah upaya mewujudkan mandat UUD 1945 Pasal 18B
Ayat (2) yang memang mengakui hak masyarakat adat cq desa (Jawa dan Bali),
nagari (Minangkabau), gampong (Aceh), dan ratusan sebutan lain di seantero
negeri.
Meski sejak awal kemerdekaan sudah diakui, alih-alih
menerjemahkannya ke dalam peraturan perundang-undangan yang lebih
operasional, yang terjadi pada masa berikutnya justru pengingkaran dan/atau
pelanggaran terhadapnya. Situasi mulai berubah sejak Mahkamah Konstitusi
melalui suatu keputusannya merumuskan kriteria dan kondisionalitas yang harus
dipenuhi.
Menurut versi UU Desa, suatu masyarakat hukum adat dapat
ditetapkan menjadi desa adat jika (a) kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak tradisionalnya masih hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis,
maupun yang bersifat fungsional; (b) kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan (c)
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut catatan Epistema Institute (2016), setidaknya saat
ini ada 133 desa adat yang telah ditetapkan pemda setempat. Desa adat itu
tersebar di Kabupaten Siak dan Rokan Hilir, Riau, serta Kabupaten Jayapura, Papua.
Namun, belum satu pun yang bisa diregistrasi oleh Kemendagri. Mengapa?
Menurut UU Desa, desa adat ditetapkan melalui peraturan
daerah (perda) kabupaten/kota. Selain itu, penyelenggaraan desa adat di suatu
provinsi diatur pula melalui perda provinsi. Namun, menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015, menyimpang dari UU Desa, penetapan desa adat
diatur melalui peraturan menteri dalam negeri.
Perlu pengaturan khusus
Masalah muncul karena aturan peralihan mengatakan
perubahan status desa pasca penetapan UU Desa harus dilakukan dalam dua tahun
setelah UU Desa diberlakukan. Padahal, peraturan menteri yang dimaksud baru
saja muncul awal tahun ini setelah UU Desa berjalan tiga tahun. Selesaikah
persoalan dengan terbitnya Permendagri Nomor 1 Tahun 2017 tentang Penataan
Desa? Tidak! Penyusun permendagri ini dapat dikatakan keliru dalam
menafsirkan amanat Pasal 7 Ayat (1) UU Desa, khususnya berkaitan dengan kata
"dapat melakukan", yang ditafsir sebagai "memiliki
inisiatif".
"Dapat melakukan" sejatinya merupakan kewenangan
bagi setiap unit pemerintahan, mulai tingkat pusat hingga desa dalam proses
penataan desa dengan peran dan fungsi yang berbeda satu sama lain. Bukan
peran dan fungsi yang sama seperti yang ada dalam kebijakan saat ini.
Merujuk pada Pasal 3 UU Desa (asas pengaturan desa),
seharusnya "prakarsa masyarakat desa" itu menjadi dasar bagi
proses- proses penataan desa yang akan berlangsung. Kalaupun ada inisiatif
yang datang dari kalangan di luar masyarakat desa, kekecualian itu hanya
diberikan kepada pemerintah (pusat) sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU
Desa. Pengecualian itu juga diberikan secara selektif, berkaitan dengan upaya
yang bersifat khusus dan strategis bagi kepentingan nasional.
Dengan kata lain, Permendagri No 1/2017 ini melakukan
"pengaturan yang berlebih". Menurut UU Desa, peran para pihak dalam
penataan desa dapat dibeda-bedakan. Masing-masing adalah pihak yang mengambil
inisiatif, pihak yang melakukan penetapan, pihak yang melakukan evaluasi, dan
pihak yang melakukan pencatatan/registrasi. Inisiatif penetapan desa (adat)
tentu saja harus dari masyarakat desa itu sendiri, melalui musyawarah desa,
karena penataan desa termasuk hal yang bersifat strategis.
Di lapangan, karakter desa adat berbeda-beda. Oleh karena
itu, yang paling mendesak untuk diatur lebih lanjut adalah kriteria-kriteria
dasar yang dijadikan ukuran untuk penetapan dan pembentukan desa adat
sebagaimana diatur pada Pasal 97 dan Pasal 98 UU Desa. Hal ini belum
terelaborasi dalam kebijakan yang lebih rendah/operasional.
Tiga kendala
Betapapun, suka atau tidak suka, logika penataan desa adat
harus dimulai dengan penetapan desa adat untuk pertama kalinya. Tanpa itu,
logika pembentukan, perubahan status, ataupun penghapusan, menjadi tidak
jalan.
Perlu dicatat, dalam Permendagri No 1/2017 persyaratan
pembentukan (pemerintahan) desa adat diberlakukan sama dengan pembentukan
desa. Padahal, sebagaimana diatur pada Pasal 98 Ayat (2) UU Desa, proses
pembentukan desa adat tidaklah sama dengan proses pembentukan pemerintahan
desa adat. Alhasil, niat membayar utang konstitusional pada masyarakat adat
yang tertunda 70 tahun tak segera terlaksana.
Ringkasnya ada tiga kelompok penghalang mengapa desa adat
belum juga ada yang diregistrasi. Selain soal adanya kendala kelengkapan
kebijakan, masalah lain adalah soal kemauan politik, baik pemerintah pusat
maupun pemda, serta persoalan yang terkait dengan ada-tidaknya kapasitas
pemerintah, terutama di tingkat daerah dan komunitas yang bersangkutan.
Kekosongan kebijakan turunan tentang desa adat lebih dari
tiga tahun boleh jadi bukti ketidaktulusan negara dalam implementasi
pengakuan hak-hak konstitusional "susunan asli" itu. Ketidaktulusan
ini memang sudah dicurigai sejak lama (Simarmata, 2006).
Dalam konteks penerapan UU Desa sebagai salah satu jalan
untuk melakukan pengakuan hak- hak masyarakat (hukum) adat ini,
ketidaktulusan ini semakin nyata dengan hadirnya tafsir sepihak dari
pemerintah yang beranggapan masa transisi untuk menetapkan keberadaan desa
adat itu telah berakhir pada 15 Januari 2015.
Tafsir itu telah memakan korban. Di Bali, misalnya, karena
kurangnya waktu untuk bermusyawarah guna menerapkan amanat Pasal 6 dan
Penjelasannya, timbul ketegangan antara pihak yang pro desa adat dan yang
menolaknya. Hal yang sama terjadi di Sumatera Barat. Di beberapa kabupaten di
Riau, proses legislasi untuk penetapan desa adat yang sudah sampai pada tahap
paripurna akhirnya dihentikan karena tenggat penetapan desa adat terlampaui.
Pengalaman tidak termanfaatkannya peluang pengakuan hak
masyarakat (hukum) adat setempat atas penetapan hutan adat; kebijakan tentang
pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat; dan juga kebijakan
tentang "pemerintahan desa" yang ramah tradisi lokal yang sejatinya
telah dimulai sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang lalu, sepertinya akan berulang.
Maka, ketiga masalah ini harus segera diatasi Presiden
Jokowi, jika tidak ingin dikatakan sebagai presiden yang tidak serius dengan
janji kampanyenya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar