Pilkada
Aman, Kepercayaan Diri Meningkat
A Tony Prasetiantono ;
Kepala
Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM, Yogyakarta
|
KOMPAS, 20 Februari 2017
Pemilihan kepala daerah serentak pekan lalu berlangsung
aman. Meski didahului sedikit dinamika, pilkada di 7 provinsi, 18 kota, dan
76 kabupaten terselenggara dengan sukses. Ada riak-riak kecil, tetapi tidak
signifikan. Ini bisa mengangkat kepercayaan diri para pelaku ekonomi untuk
segera mengakhiri masa tunggu (wait and
see) sebelum melaksanakan aksi bisnisnya. Ini sangat penting bagi
perekonomian 2017 yang masih dihinggapi ketidakpastian global.
Kita boleh dibilang lulus dari ujian karena pada hari-hari
ini sentimen positif perekonomian global kian mengarah ke Amerika Serikat
(AS). Data perekonomian AS terus membaik, terutama penyerapan tenaga kerja
(nonfarm payroll) Januari 2017 yang mencapai 227.000 orang, jauh melebihi
bulan-bulan sebelumnya. Akibatnya, dollar AS cenderung menguat terhadap semua
mata uang dunia. Indeks harga saham di New York juga mencatat rekor baru
20.620. Donald Trump menjadi presiden ketiga terbaik sepanjang sejarah AS
yang mampu menaikkan indeks harga saham dengan 3,8 persen sesudah John
Kennedy (4,3 persen) dan Lyndon Johnson (6 persen).
Pidato Kepala Bank Sentral AS, The Fed, Janet Yellen juga
meyakinkan pasar sehingga memantik terbangnya modal global ke New York.
Yellen bilang, statistik ekonomi AS meyakinkan, seperti inflasi yang sudah
mendekati target 2 persen sebagai cerminan antusiasme masyarakat untuk
berbelanja. Para ekonom yakin, inflasi yang terlalu rendah tidak baik karena
merepresentasikan hasrat berbelanja (propensity
to consume) yang lemah. Konsumen cenderung menunggu atau menunda belanja
di luar kebutuhan pokok. Penurunan gairah belanja berakibat buruk terhadap
perekonomian karena menurunkan jumlah barang dan jasa yang terjual sehingga
pertumbuhan ekonomi melambat.
Karena itu, misalnya di Jepang, rendahnya inflasi dan
bahkan deflasi dihindari. Seperti halnya AS, Jepang juga berusaha mendorong inflasi.
Di Jepang, inflasi yang aman sekitar 1 persen. Untuk mencapainya, Bank
Sentral Jepang (BOJ) bahkan memberlakukan kebijakan suku bunga negatif untuk
mendorong bank untuk menaikkan ekspansi kredit daripada menyimpan
likuiditasnya di bank sentral. Inflasi AS Desember 2016 sudah mencapai 2,1
persen, tetapi inflasi 2016 secara keseluruhan hanya 1,3 persen. Di Jepang,
inflasi hanya 0,2 persen meski sudah didorong suku bunga negatif.
Kondisi Indonesia
Di Indonesia, inflasi 2016 dapat ditekan menjadi 3,02
persen. Ini merupakan kombinasi lesunya daya beli (purchasing power), tidak
adanya kebijakan pemerintah menaikkan tarif (administered prices), dan
keberhasilan koordinasi tim pengendalian dan pemantauan inflasi daerah
(TPID). Jadi, sebenarnya, rendahnya inflasi pada 2016 dapat diinterpretasikan
ganda. Di satu pihak, inflasi rendah karena terbantu rendahnya harga
komoditas yang menyebabkan pemerintah tidak perlu menaikkan harga energi. Di
sisi lain, inflasi rendah bisa pula merupakan cerminan dari lemahnya daya
beli. Ini bisa dibuktikan dengan rendahnya pertumbuhan kredit bank yang cuma
7,8 persen, jauh dari target 12 persen.
Pada Januari 2017, inflasi melesat ke 0,97 persen,
terutama disebabkan oleh kenaikan bea pengurusan surat tanda nomor kendaraan
bermotor dan listrik (oleh pemerintah), tarif pulsa telepon seluler, harga
cabai rawit, dan harga bahan bakar minyak. Inflasi tahunan kini 3,49 persen.
Dengan demikian, dapat diprediksi bahwa inflasi 2017 bakal lebih tinggi
daripada 2016, mungkin akan berkisar 4,5 persen, tetapi bagi Indonesia, masih
merupakan level yang aman dan dapat ditoleransi.
Tekanan eksternal dari data perekonomian AS menginspirasi
The Fed untuk segera menaikkan suku bunga acuannya yang kini 0,75 persen. Ini
mestinya berdampak negatif terhadap rupiah dan indeks harga saham gabungan
(IHSG). Namun, faktanya tidak demikian. Rupiah masih berada di level yang
seusai dengan fundamentalnya pada Rp 13.336 per dollar AS, sedangkan IHSG
berada pada 5.350. Keduanya baik-baik saja.
Kesimpulan sementara, faktor pilkada serentak yang bisa
dibilang sukses memberi sentimen positif terhadap perekonomian Indonesia. Hal
ini secara instan terefleksikan pada variabel kurs rupiah dan IHSG yang tetap
stabil. Adapun variabel lain yang sifatnya jangka menengah dan panjang,
seperti investasi langsung (penanaman modal asing dan penanaman modal dalam
negeri), belum bisa kita deteksi pada saat ini.
Meski demikian, masih ada pekerjaan rumah. Pilkada DKI
Jakarta yang menjadi barometer terbesar karena menyangkut ibu kota yang
memiliki anggaran pemda Rp 70 triliun masih harus melalui babak kedua.
Anggaran tersebut sangat besar, ekuivalen dengan biaya pembangunan jalur
kereta api cepat Jakarta-Bandung; lebih dari dua kali lipat biaya
transportasi massal cepat (MRT) di Jakarta; tujuh kali lipat bandar udara
baru Yogyakarta di Kulon Progo; dan 10 kali lipat biaya Terminal 3 Bandar
Udara Soekarno-Hatta.
Adalah tanggung jawab kita bersama untuk membuat proses
pilkada berjalan dengan baik, lancar, dan aman. Bukan soal siapa kelak
pemenangnya, melainkan bagaimana proses itu berjalan. Para pelaku ekonomi
masih akan ada yang menambah waktu tunggunya sebelum melaksanakan rencana
bisnisnya. Para pelaku ekonomi dan bisnis pada dasarnya membutuhkan kepastian
dan kestabilan sosial politik. Kita pun wajib untuk memenuhinya agar tidak
kehilangan momentum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar