Bermain
dengan "Korek Api" Ekonomi
Ashoka Mody ;
Mantan
Kepala Urusan Jerman dan Irlandia di IMF;
Profesor Tamu untuk International
Economic Policy di Woodrow Wilson School of Public and International Affairs,
Princeton University
|
KOMPAS, 20 Februari 2017
Sekitar bulan-bulan ini pada tahun lalu, Dana Moneter
Internasional (IMF) mengeluarkan laporan tentang pertumbuhan produk domestik
bruto global yang mengecewakan, yakni 3,1 persen untuk tahun 2015.
IMF juga meyakinkan, pertumbuhan 2016 dan 2017 akan lebih
baik daripada tahun sebelumnya. Namun, ekspektasi pertumbuhan 2016 dan 2017
itu, seperti saya ungkapkan saat itu, tidak realistis. Pada 2016, PDB global
diperkirakan hanya tumbuh 3,1 persen, sedangkan pertumbuhan perdagangan dunia
melambat substansial, dari 2,7 persen menjadi hanya 1,9 persen. Angka-angka
itu menggambarkan ekonomi dunia yang sedang bermasalah.
Namun, lagi-lagi, IMF meramalkan pertumbuhan PDB global
akan membaik secara signifikan pada dua tahun ke depan dan perdagangan dunia
akan meningkat dua kali lipat. IMF banyak mengaitkan perbaikan ekonomi global
yang diharapkan terjadi, khususnya selama 2017 ini, dengan membaiknya
pertumbuhan PDB di AS. Optimisme terhadap ekonomi AS ini didasarkan indikator
kepercayaan bisnis dan kepercayaan konsumen yang positif serta kenaikan harga
saham mengantisipasi stimulus fiskal dan deregulasi yang akan diluncurkan
pemerintah.
Namun, antusiasme ini melupakan satu masalah lebih
mendasar yang kini tengah mengancam. Pemerintahan Presiden AS Donald Trump
sendiri, lewat kebijakannya untuk menarik diri dari perjanjian-perjanjian
dagang yang sudah disepakati AS, akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi.
Pukulan lebih besar juga akan dirasakan oleh perekonomian saat Pemerintah AS
mulai menghancurkan berbagai norma dan kelembagaan yang selama ini
mengendalikan pasar.
Lebih buruk lagi, Trump bahkan akan mengubah aturan main
justru saat ekonomi dunia telanjur rapuh: China tengah berjuang mengatasi
gelembung masif di sektor finansialnya dan Eropa seakan tak peduli terhadap
kekacauan yang terjadi di sektor perbankan di Italia.
Pada kenyataannya, perjanjian-perjanjian dagang
internasional, yang memang dipicu oleh kepentingan-kepentingan yang sangat
kuat, memang dirasa semakin intrusif. Sebagaimana dituduhkan oleh Bernie
Sanders- senator dari Vermont dan kandidat presiden dari Partai Demokrat pada
pemilu pendahuluan di AS-ketika menentang Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) yang
beranggotakan 12 negara: kesepakatan seperti itu cenderung melindungi
kepentingan perusahaan multinasional besar.
Ekonom Harvard, Dani Rodrik, melontarkan pendapat senada
dan dengan sangat tajam mengkritik sejumlah kolega ekonomnya karena mendukung
propaganda yang menggambarkan kesepakatan-kesepakatan dagang itu sebagai
"perjanjian-perjanjian perdagangan bebas". Kesepakatan-kesepakatan
dagang ini hanya akan menguntungkan segelintir pihak, sementara pada saat
yang sama menghancurkan penghidupan kelompok masyarakat yang rentan secara
ekonomi.
Lawan Trump dalam pilpres, Hillary Clinton, juga tak lagi
mendukung TPP sehingga keputusan Trump menarik diri dari TPP secara politik
tak terelakkan. Perubahan apa pun (termasuk yang diinginkan sekalipun), akan
selalu menuntut biaya transisi yang harus ditanggung dan biaya seperti itu berisiko
kian membengkak karena pemerintahan baru secara serampangan mengobrak-abrik
prinsip-prinsip mendasar dari ekonomi pasar.
Bermain api
Trump sedang "bermain api" ketika dia mengancam
memberlakukan tarif impor untuk "kembali membuat Amerika besar". Pengenaan
tarif akan memukul langsung para konsumen AS dan tindakan balasan dari
negara-negara lain sebagai reaksi defensif bisa berakibat fatal kian memukul
perdagangan global yang sudah terseok-seok, dan ini sama saja mencekik sumber
penting kemakmuran global.
Taktik intimidasi Trump terhadap perusahaan-perusahaan
secara individual bahkan lebih berbahaya lagi. Menurut The Wall Street
Journal, Trump menjadi tokoh yang paling membuat sibuk para produsen AS.
"Para anggota dewan mencoba mencari tahu siapa yang memiliki kenalan di
dalam pemerintahan yang baru itu," demikian disebutkan dalam artikel
tersebut "dan gugus tugas khusus dibentuk untuk mengawasi akun
Twitter-nya".
Perusahaan-perusahaan yang "tiba-tiba dihadapkan pada
suatu kekuatan baru yang sulit diprediksikan dalam kegiatan operasional
mereka" itu memaksa siapa pun yang berharap akan datangnya fajar baru
deregulasi harus berpikir dua kali. Campur tangan aktif semacam itu oleh
pemerintah dalam kegiatan operasional perusahaan jauh lebih mengganggu dibandingkan
segala macam regulasi yang ada.
Dalam esainya yang brilian, profesor hukum Harvard, Cass
Sunstein, mengingatkan, campur tangan Trump yang tak bisa diprediksikan dalam
urusan korporasi akan merusak ekonomi pasar itu sendiri. Lewat sikapnya yang
sewenang-wenang memilih perusahaan tertentu untuk melaksanakan
"perintah"-nya, Trump akan menghancurkan prinsip-prinsip mendasar
dari ekonomi pasar tentang keterbukaan dan fairness.
"Dalam sebuah dunia yang dikendalikan oleh kehendak
presiden," tulis Sunstein, "perusahaan-perusahaan dipaksa
menawarkan insentif yang tak masuk akal-untuk menjilat presiden dengan
berbagai cara, untuk bertindak strategis, dan membuat berbagai janji dan
ancaman bagi kepentingan mereka sendiri."
Fatamorgana kepercayaan ekonomi ini bisa saja berlanjut,
karena, seperti kata peraih Nobel Ekonomi Robert Shiller baru-baru ini, satu
ilusi akan menciptakan ilusi-ilusi lain. Sekuat-kuatnya "mantra"
pada akhirnya akan kehilangan daya.
Ancaman dari Italia
Saat ini pun, pasar keuangan mulai meyakini bahwa bank
sentral AS (Federal Reserve)-yang nyaris tak mengubah gambarannya mengenai
prospek ekonomi AS-akan butuh waktu lebih lama untuk menaikkan suku bunga
dibandingkan yang diperkirakan sebelumnya. Pertimbangannya karena pertumbuhan
ekonomi lebih lesu daripada yang diperkirakan semula.
Langkah-langkah kebijakan Trump yang proteksionis juga
akan menekan perdagangan dunia, mendorong inflasi domestik, dan memperkuat
nilai tukar dollar, menyebabkan industri ekspor AS menderita. Pada akhirnya,
dan dalam skala yang lebih besar, kebijakan-kebijakan Trump yang
sewenang-wenang akan menggerogoti lembaga-lembaga internasional dan aturan
yang menyangga ekonomi AS dan dunia selama ini, menyebabkan kerusakan masif
jangka panjang.
Dan, semua risiko ini muncul justru pada saat model
pertumbuhan China dan Eropa sendiri tengah bermasalah. China harus membiarkan
gelembung properti yang dipicu kredit di negaranya terus berlangsung, dan ini
membuat posisinya juga kian rentan terhadap pelarian modal. Di Eropa, tragedi
ekonomi dan sosial Yunani, meski tak lagi menyedot perhatian dunia, kian
memburuk.
Namun, ancaman paling nyata terhadap kondisi global adalah
perekonomian Italia yang nyaris tak tumbuh hampir selama satu generasi.
Pemerintah Italia yang dihadapkan pada tekanan fiskal serius tengah berjuang
untuk menyelamatkan perbankannya yang mengalami kebangkrutan, sementara pada
saat yang sama mereka juga harus menghadapi kekuatan tekanan politik populis.
Dalam situasi seperti ini, satu pantikan kecil korek api saja, apakah itu di
Roma, atau di tempat lain di Eropa, atau di Washington DC, bisa menyebabkan
kebakaran di seluruh dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar