Sekali
Lagi, Freeport
Aris Prasetyo ;
Wartawan Kompas
|
KOMPAS, 20 Februari 2017
Chappy Hakim mundur. Ini merupakan kali kedua secara
berturut-turut kursi Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, perusahaan
tambang asal Amerika Serikat yang beroperasi di Papua, ditinggalkan
pejabatnya. Sebelumnya, Maroef Sjamsoeddin mundur setelah peristiwa
"papa minta saham" pada akhir 2015. Mundurnya Chappy menjadi satu
kepingan kemelut investasi sektor tambang di Indonesia.
Sengkarut Freeport bermula saat Peraturan Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1 Tahun 2014 yang hanya membolehkan
ekspor konsentrat (mineral hasil pengolahan) sampai 11 Januari 2017. Freeport
yang mengekspor konsentrat tembaga rata-rata 500.000 ton setiap enam bulan
terganjal aturan itu.
Sebagai solusi, terbitlah Peraturan Pemerintah (PP) No
1/2017 yang berlaku sejak 11 Januari 2017. Dengan PP itu, Freeport tetap bisa
mengekspor konsentrat sampai lima tahun ke depan dengan syarat bersedia
mengubah status operasi dari kontrak karya (KK) menjadi izin usaha
pertambangan khusus (IUPK). Selain itu, mereka juga tetap dikenai kewajiban
membangun smelter,wajib divestasi saham sedikitnya 51 persen dalam masa 10
tahun ke depan, dan mengikuti ketentuan perpajakan yang berlaku (prevailing).
Ketentuan dalam IUPK-lah yang membuat Freeport berat hati.
Kalau soal smelter,mereka sudah menunjukkan komitmen. Namun, Freeport belum
bisa menerima kewajiban divestasi 51 persen dan skema perpajakan prevailing.
Seiring dengan buntunya perundingan mengenai syarat-syarat
tersebut, Freeport mengumumkan langkah-langkah pengurangan produksi, termasuk
kemungkinan pengurangan tenaga kerja. Bahkan, beberapa tenaga kerja asing
sudah dipulangkan.
Pemerintah kemudian bermurah hati dengan memberikan rekomendasi
ekspor konsentrat pada Jumat (17/2) dengan kuota 1,1 juta ton yang berlaku
selama setahun. Namun, tampaknya belum memuaskan Freeport dan menempuh jalur
hukum di Mahkamah Arbitrase Internasional.
Menariknya, Menteri ESDM Ignasius Jonan merespons dengan
pernyataan langkah arbitrase sebagai jalan yang lebih baik ketimbang
menggunakan isu pemecatan karyawan sebagai alat untuk menekan pemerintah.
Sebenarnya, sebagai pemilik sah sumber daya tambang, wajar
jika pemerintah mengatur investor dalam kondisi Indonesia sekarang tidak lagi
sama dengan kondisi pada saat KK ditandatangani untuk pertama kali 50 tahun
silam.
Memang, banyak kontribusi yang diberikan Freeport kepada
rakyat Papua ataupun Indonesia, tetapi Pemerintah Indonesia tidak bisa
menuruti segala kemauan investor. Prinsip yang harus dipegang semua pihak,
sumber daya alam Indonesia mutlak untuk kemakmuran rakyatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar