Kutipan
Samuel Mulia ;
Penulis Kolom PARODI Kompas Minggu
|
KOMPAS, 12 Februari 2017
Di suatu pagi
dengan hati yang kesal entah kenapa, saya membaca sebuah kutipan berbunyi
begini, "Sometime we need to be
hurt in order to grow. We must lose in order to gain". Membaca itu,
saya tambah kesal. Benarkah demikian?
Hidup tanpa formula
Saya termasuk
orang yang tidak mau memercayai kutipan, seberapa pun baik dan masuk akalnya
kutipan itu. Saya tak tahu kalau Anda dan dia yang membagi kutipan di atas.
Saya bisa mengatakan itu karena selama ini saya melihat secara nyata, tak
semua manusia memiliki perjalanan hidup yang sama.
Kalaupun
perjalanan hidup dua anak manusia itu sama, sama-sama menderita dengan
penderitaan yang tingkatan dan jenisnya sama, toh hasil akhirnya tak bisa
sama. Tidak samanya bukan karena yang satu memercayai kutipan dan yang satu
tidak, tetapi hasil akhir itu bukan berada di tangan manusia.
Ada kehendak
di luar manusia yang memiliki andil membuat hasil berbeda. Kutipan itu seperti
narkoba. Membangkitkan semangat, tetapi seringkali mengecewakan. Kutipan itu
saya percaya dibuat oleh seseorang yang telah mengalami sebuah peristiwa dan
memberikan pengalaman hidup kepada dirinya.
Yang keliru,
menurut saya, mereka menasihati orang lain dengan pengalaman hidup mereka
kepada saya yang tak memiliki perjalanan yang sama. Maka, seringkali saya
berpikir sebaiknya tak perlu membuat kutipan atau nasihat, yang perlu itu
membagi pengalaman.
Kutipan atau
nasihat itu buat saya cenderung menyimpulkan sebuah peristiwa akan berjalan
demikian, atau harus demikian. Membagi pengalaman tidak ada unsur
menyimpulkan. Itu mungkin, mengapa kutipan sebaik apa pun, selalu menjadikan
saya kesal dibuatnya.
Karena saya
berusaha memercayai bahwa kalau saya menyakini kutipan itu, saya akan
mendapatkan hasil yang sama. Tetapi sama sekali tidak demikian adanya. Paling
tidak kalau melihat hasil dari perjalanan hidup saya.
Waktu saya
menjalani operasi cangkok ginjal, saya berkenalan dengan begitu banyak pasien
yang sama penderitaannya. Penyebab penderitaan itu pun sebagian besar tak
berbeda. Apa hasil akhirnya? Yang satu hidup sampai tulisan ini dibuat, yang
satu meninggal dunia beberapa hari setelah operasi. Sekarang kalau saya
bertanya, yang mana yang menderita dan yang memperoleh kemenangan? Yang
meninggal atau yang hidup sampai sekarang?
Membuat formula
Jadi, benarkah
kalau kadang saya butuh menderita untuk bertumbuh? Mengapa saya harus
kehilangan untuk mendapatkan kemenangan? Mengapa saya butuh untuk menderita kalau
saya bisa tidak menderita? Mengapa perlu sampai kehilangan untuk menang,
sementara saya bisa tak perlu sampai kehilangan?
Memangnya
kalau tidak menderita, tidak kehilangan, saya menjadi tak bisa tumbuh dan
menang? Kalaupun bisa tumbuh dan menang, maka pertumbuhan dan kemenangan itu
tidak setokcer dibandingkan dengan yang menderita dan yang kehilangan?
Begitu?
Sejak kapan
ada yang membuat aturan main atau standar baku bahwa kalau menderita
pertumbuhan dan kemenangannya akan lebih dahsyat daripada yang tidak
menderita dan tidak kehilangan? Memang ada manusia yang sejujurnya mau
menderita? Kalau saya, sungguh tidak mau. Saya tak tahu kalau Anda.
Dulu saya
pernah termakan dengan sejuta kutipan yang positif. Saya ikuti. Hasilnya?
Lihat saja saya sekarang ini. Penderitaan saya tak membuat saya bertumbuh,
tapi mendatangkan kekesalan yang sangat. Kehilangan yang saya alami tak
memberi saya kemenangan apa pun, tetapi kekecewaan yang sangat.
Maka kemudian
saya memutuskan untuk tidak lagi memercayai kutipan. Saya tidak lagi
mengikuti akun seseorang di sosial media yang isinya kebanyakan berisi
kutipan doang. Pembebasan terhadap kutipan itu memberikan hasil bahwa
seyogianya saya ini lebih menghabiskan waktu untuk mengenal diri saya
sendiri. Pengenalan atas hal-hal apa saja yang telah diberikan Yang Maha
Kuasa sejak saya lahir sampai sekarang ini.
Baik soal
kemampuan intelektual, emosional, maupun spiritual. Sebab, perbedaan ketiga
kemampuan itu yang akan membedakan hasil dari sebuah perjalanan hidup. Bukan
kutipan alias perjalanan hidup orang lain yang akan memberi persamaan hasil.
Saya harus lebih memercayai diri saya sendiri ketimbang orang lain.
Belajar memercayai dan mencintai diri sendiri itu menghasilkan
sebuah standar hidup yang khas untuk diri kita sendiri. Saya harus belajar
menemukan dan memformulasikan standar itu dan hidup berdasarkan formula itu.
Kebahagiaan itu bisa diciptakan bukan karena saya mencintai formula hidup
orang lain, tetapi mencintai formula hidup diri sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar