'Ruang
Gelap' Sekitar Aksi Bela Islam
Jazilul Fawaid ;
Anggota Fraksi PKB DPR RI; Koordinator
Nusantara Mengaji
|
KORAN SINDO, 01 Desember
2016
JUMAT, 2 Desember 2016, kita sama-sama mendapatkan kabar akan
diagendakan Aksi Superdamai 212 di sekitar Monas dan Bundaran HI. Berdasarkan
informasi yang saya dengar, massa aksi yang akan hadir diperkirakan mencapai
1 juta orang. Aksi ini merupakan kelanjutan dari gerakan 411 yang menuntut
proses hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Menjelang pelaksanaan aksi 212, beredar berbagai macam isu yang
membuat saya gundah dan publik juga resah. Informasi datang silih berganti
setiap detik, setiap menit, baik melalui media massa maupun media sosial.
Saya hendak menyebut beberapa contoh saja. Pertama, beberapa
waktu lalu ada isu makar yang akan dilakukan oleh para pengunjuk rasa dalam
Aksi Damai II atau bahkan III. Isu ini muncul dari pernyataan Kapolri yang
kemudian menjadi perbincangan luas di masyarakat.
Dalam menanggapi isu ini, Presiden Ke-6 RI Sulilo Bambang
Yudhoyono (2016) dalam artikelnya, Pulihkan Kedamaian dan Persatuan, juga menyinggung isu tersebut. Tak pelak
kita dibuat waswas dan cenderung khawatir jika hal itu benar adanya.
Kedua, kabar mengenai Presiden Jokowi melindungi Ahok dalam
proses hukum kasus penistaan agama. Isu ini kemudian secara tegas
diklarifikasi oleh Presiden Jokowi. Dalam berbagai kesempatan, Presiden
berkali-kali menjelaskan bahwa dirinya tidak akan mengintervensi hukum atas
kasus penistaan agama.
Ketiga, muncul kabar bahwa SBY membiayai aksi 411. Meskipun isu
ini sudah dibantah oleh SBY di berbagai tempat, tetap saja isu ini terus
berkembang di media sosial disertai dengan caci maki dan umpatan dari
berbagai kelompok yang pro dan kontra.
Isu-isu inilah yang saya sebut sebagai ”ruang gelap”. Pada
kondisi ini, sulit sekali memverifikasi kebenaran. Titik terang hanya bisa
ditemukan jika kita keluar dan meninggalkan ”ruang gelap” tersebut serta
memasuki ruang yang lebih terang. Pada kondisi ini kiranya sangat relevan
ungkapan SBY, ”in crucial thing unity”. Kita mesti
bersatu jika menghadapi sesuatu yang penting.
Mengedepankan
Sikap Tabayun
Akhir-akhir ini kita telah memasuki apa yang diramalkan oleh
Jean Couteau (2015) sebagai era ”tsunami informasi”. Informasi datang silih
berganti setiap detik, setiap menit. Jika dulu banyak yang mengatakan bahwa
orang pintar dan berwawasan adalah orang yang menguasai informasi, cara
pandang seperti itu hari ini telah bergeser secara frontal dan terbalik bahwa
manusia-manusia sekarang sudah terlampau dikuasai oleh informasi sehingga
mudah terombang-ambing dan diperlakukan sesuai tujuan informasi tersebut
dibuat.
Portal-portal berita yang tidak jelas pengelola dan rekam
jejaknya berseliweran menyajikan berita-berita yang cenderung konfrontatif
dan mengabaikan kevalidan berita. Alquran sudah sejak lama memberi semacam warning kepada kita agar tidak mudah
terombang-ambing kabar burung yang tidak jelas sumbernya.
Peringatan itu termaktub di surat
al-Hujurat ayat 6 yang berbunyi: ”Wahai
orang-orang beriman, jika datang seorang fasik kepadamu membawa berita, maka
tangguhkanlah (hingga kamu mengetahui kebenarannya) agar tidak menyebabkan
kaum berada dalam kebodohan sehingga kami menyesal terhadap apa yang kamu
lakukan.”
Kaitannya dengan persoalan penerimaan informasi dan kabar ini,
penting untuk dikemukakan dewasa ini. Yang pertama kali dilakukan adalah
bukan begitu saja percaya dengan informasi tersebut, memeriksa dan
memverifikasinya sehingga mendapatkan kevalidan yang akurat.
Cek dan ricek serta verifikasi yang mendalam itulah dalam
tradisi Islam dinamakan sebagai tabayun. Tabayun adalah metode yang digunakan untuk menelisik
lebih dalam, memintai keterangan, menggali informasi sampai kepada sumber
yang paling utama sehingga kita mendapat kebenaran yang bisa
dipertanggungjawabkan.
Jika tabayun benar-benar diterapkan, kita tidak akan mudah
terombang-ambing isu atau bahkan berita yang kita kenal dengan hoax. Isu dan
hoax belakangan ini menjadi alat yang sangat efektif untuk mengendalikan alam
pikiran manusia dan mengadu domba kita.
Ibnu Katsir (1988) dalam tafsirnya berpendapat bahwa tatkala
informasi tersebar dan tak ada proses tabayun, kita akan disetir oleh isu dan
secara bersamaan akan menerima dua kerugian. Pertama, terjerumus dalam jurang
kebodohan dan ketidaktahuan. Kedua, masuk ke dalam lubang penyesalan sebab
percaya kepada informasi yang tidak jelas sumbernya.
Di sanalah sesungguhnya tabayun
itu penting untuk dilakukan. Di hadapan timbunan informasi yang sama
sekali tidak terkendali seperti ini, sebagian orang menyebut hari ini sebagai
era revolusi digital atau revolusi komunikasi, yang wajib dilakukan adalah mawas
diri dan membentengi diri dengan yang paling utama dengan cara rajin-rajin
dalam ber-tabayun. Dari tabayun kita
bisa mendapatkan setitik kejelasan dan kejernihan persoalan.
Media sosial sudah sedemikian berkuasanya. Media sosial efektif
dalam menyebarkan berita. Media sosial juga efektif dalam memfragmentasi
kutub-kutub manusia yang akhirnya terbagi menjadi haters dan lovers. Yang terakhir di sebut ini
sesungguhnya yang sedang kita hadapi bersama.
Kita menjadi masyarakat yang mudah tersulut emosi karena kita
memiliki sedemikian keyakinan pada sesuatu: entah benda, entah sosok yang
sayangnya informasi tentang benda dan sosok tersebut kita dapatkan dari
informasi yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Begitulah
cara kerja alam bawah sadar haters dan lovers.
Dalam kondisi yang demikian ini, saya mengajak semuanya untuk
lebih dewasa dalam menyikapi kabar dan informasi. Kita harus menjadi bangsa
yang beradab dan memiliki cara-cara yang santun dalam menyelesaikan persoalan
dan problem yang menimpa. Mari kedepankan sikap tabayun sebelum menarik kesimpulan atau bahkan
bertindak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar